Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Sektor Energi Indonesia dari Aspek Politik, Ekonomi, Lingkungan, dan Kesehatan (Seri 2)

23 Mei 2019   19:17 Diperbarui: 23 Mei 2019   19:44 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri
dokpri

Perusahaan Listrik Negara (2018) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi besaran cadangan batu bara adalah perkembangan harga batu bara. Penurunan harga jual batu bara akan mengurangi keekonomian suatu wilayah eksplorasi karena penurunan harga jual pada tingkat tertentu dapat membuat biaya produksi lebih besar daripada pendapatan dari penjualan batu bara.

Dengan demikian, potensi penambangan batu bara yang awalnya tergolong sebagai cadangan tidak bisa dikategorikan sebagai cadangan, tetapi kembali berstatus sebagai sumber daya terukur atau terunjuk. Jika jumlah cadangan batu bara tidak mengalami penambahan, maka dengan mengasumsikan tingkat produksi batu bara sebesar 400 juta ton per tahun setelah tahun 2019, cadangan batu bara di Indonesia diestimasikan akan habis pada tahun 2086.

Energi Terbarukan Sebagai Solusi: Pisau Bermata Dua

Tidak dapat dimungkiri bahwa sumber energi terbarukan seperti air, angin, surya, panas bumi, dan biogas merupakan alternatif yang ramah lingkungan dari sumber energi konvensional seperti batu bara. Sebagai respon atas isu lingkungan seperti perubahan iklim yang kini marak diperbincangkan, tidak mengeherankan apabila negara di berbagai belahan dunia mulai meletakkan sumber energi terbarukan sebagai salah satu prioritas utama dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Pada tahun 2016 lalu, sebanyak 174 negara dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian Paris berisi kesepakatan untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global maksimal di angka dua derajat celcius.

Kesepakatan ini diraih melalui pengurangan energi beremisi karbon sebesar lebih dari 70%, yang hanya dapat dicapai melalui penggunaan energi terbarukan secara masal (UNFCCC, 2017). Tren mengenai kesadaran akan "rusakanya bumi pertiwi" agaknya juga mulai dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia.


Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) mengedepankan kerangka kerja Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dengan tujuan untuk mengarahkan pembangunan Indonesia kepada keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kementerian PPN/ Bappenas, 2019).

Salah satu permasalahan klasik dari penggunaan bahan bakar fosil adalah emisi gas buang. Salah satu emisi gas buang yang paling banyak dihasilkan adalah CO2 (karbon dioksida). Data dari Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC) menunjukkan bahwa pada tahun 2014, jumlah gas karbon dioksida yang dihasilkan dunia sudah menembus angka 9,8 miliar metrik ton per tahun.

dokpri
dokpri

Penyumbang terbesar karbon dioksida adalah, tidak lain dan tidak bukan, bahan bakar fosil. Pada tahun yang sama, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) juga mengeluarkan laporan mengenai emisi karbon dioksida. Hasil temuan mereka menyebutkan bahwa 25% dari gas buang yang dihasilkan berasal dari sektor produksi energi listrik dan panas. Selain listrik, sektor lain yang menghasilkan emisi adalah transportasi dengan kisaran 14% dari total emisi gas buang.

dokpri
dokpri

Data yang sama dari IPCC juga menunjukkan bahwa batubara merupakan penyumbang terbesar dalam produksi emisi gas buang. Untuk setiap megawatt jam listrik yang diproduksi dengan batubara, akan dihasilkan lebih dari 400 kg gas emisi CO2. Tidak hanya batubara, namun minyak bumi mentah, dan bahan bakar kendaraan juga menghasilkan emisi karbon dioksida. Baik bahan bakar diesel, non-diesel, bahkan bahan bakar pesawat, menghasilkan emisi CO2 di kisaran 200 kg, untuk setiap megawatt jam tenaga yang diproduksi. Kadar CO2 yang berlebih dapat menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri adalah kondisi ketika panas dari matahari terperangkap di bumi karena tingginya konsentrasi CO2. hal ini apabila terus terjadi akan menyebabkan kenaikan suhu bumi dalam skala global, dan menuntun kita menuju pemanasan global (NASA, 2019).

Sumber daya terbarukan dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas CO2 karena sumber energi terbaharui seperti panel surya, angin, dan hydropower menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Dengan menggunakan sumber energi terbarukan untuk pemenuhan sektor energi listrik dan transportasi, jumlah gas emisi dapat dikurangi dan memperkecil efek rumah kaca, yang merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming.

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun