Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arus Balik

11 November 2021   07:54 Diperbarui: 11 November 2021   08:00 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir September lalu, kendati berakhiran "ber", sebagai tanda bulan penghujan, hawa masih berasa menyengat: panas dan kering. Ini adalah masa keempat, wanci kapat, dalam sistem pranata mangsa. 

Transisi dari kemarau ke penghujan,  terjadi di bulan ini. Transisi dengan udara membara ini ditambahi  suasana "amuk".   Hawa panas setiap tanggal 30 September,  G30 S PKI, yang belakangan ini ditambahi tensinya dengan adu jotos postingan di arena medsos.

Di akhir September ini pula, kami kembali melakukan perjalanan. Blora, Cepu dan sekitarnya adalah tujuan kali ini. Blora dikenal sebagai kota kelahiran Pram--Pramoedya Ananta Toer--dan juga titik mula cerita dalam buku Jalan Pos Daendels dikisahkan. Blora bagi Pram tak sekadar ingatan awal kehidupan bocah. Blora sudah menjadi inspirasi karya-karyanya. 

Dari kenangan bocahnya ini, selain kisah sejarah dalam Jalan Pos, Pram juga merangkai  cerita-cerita singkat, terhimpun dalam kumpulan cerpen: Cerita dari Blora.  Tentu saja ada karya Pram yang lain, Arus Balik, dengan latar sejarah kedatangan Portugis dan Spanyol, yang menjadi sajian utama bagaimana wilayah pantai utara dituturkan dalam bentuk roman.

Setelah melalui rute-rute tol, kami akhirnya keluar di Bojonegoro. Merayapi jalan mendatar dengan banyak kelokan, mobil diterpa kemilau fajar yang menyingsing. Dari sisi kiri dan  kanan kaca jendela mobil, tampak larik sinar mentari melewati celah dedaunan pohon jati. Acapkali jalan terhambat iringan truk besar pengangkut kayu. Memaksa kami melakukan beberapa manuver.

Merayapi bumi, menyinggahi aneka wilayah. Beberapa kota sudah kami kunjungi, terutama area Jawa Tengah dan Jawa Timur. Undangan dari pemerintah kota dan daerah kami terima, demi merapihkan persoalan-persoalan tata kelola data. Dan tentu saja, setiap perjalanan dari wilayah ke wilayah, perjalanan di bumi,  tak bisa dilepaskan dari kewajiban mengambil hikmah. 

Termaktub dalam  Quran suci, aqal manusia tumbuh dengan membaca peristiwa di bumi. Peristiwa terentang dalam sejarah, dari era lalu hingga kini. Sejarah dibaca lewat artefak di setiap tempat. Artefak-artefak yang tersusun pada kisah yang dilisankan atau dituliskan, juga berupa sisa peninggalan bangunan maupun perkakas. Artefak dapat juga berupa bentang alam yang terpapar  di hadapan.

Blora, Cepu, Bojonegoro hingga ke Ngawi, Madiun dan Mojokerto di Jawa Timur adalah rangkaian wilayah pegunungan kapur yang dikenal dengan nama Kendeng. Sebenarnya wilayah Semarang Timur dan Salatiga menjadi bagiannya. Pegunungan Kendeng yang berada di tengah Pulau Jawa lalu  ke bagian utara merupakan penyangga utama. Penyangga dalam pengertian, ia menjadi pemasok utama mata air-mata air yang mengaliri sungai-sungai besar dan kecil.  Ia menjadi hulu bagi anak-anak sungai terpanjang di Jawa: Bengawan Solo. Juga menjadi hulu bagi Kali Lusi dan Kali Brantas.


Di wilayah ini pula,  andai cermat membaca sejarah, adalah penyangga kota-kota utama di pantai utara, terutama sebelum dan menjelang masa arus balik. Yakni sebelum dan menjelang arus bangsa utara yang bergelombang mendatangi wilayah-wilayah pelabuhan-pelabuhan utara Pulau Jawa: Jepara, Demak, Cirebon, Tuban, Pemalang sampai Sunda Kelapa dan Banten.  Di masa itu, sebelum gelombang bangsa utara datang, pelabuhan-pelabuhan utara dipenuhi kapal-kapal (jung) jawa yang berbobot besar. Jung yang melayari samudera raya hingga ke wilayah Malaka, Madagaskar dan Pantai Timur dan Selatan Afrika, pantai Brazil di Amerika, Teluk Persia dan Laut Merah.


Sebelum abad 17  antara Pulau Jawa dengan Gunung Muria terpisah laut. Gunung Muria dipisahkan sebuah selat dan dinamakan Selat Muria, sehingga kota-kota pantura yang sekarang bernama Jepara, Kudus, dan Pati terpisah dari pulau utama, dan berada di Pulau Muria. Dari gambaran dan catatatan tertulis, kita tahu di masa Walisongo, Masjid Demak berada persis tidak jauh dari pinggir Pantai Selat Muria. Sebuah pusat Kerajaan, dan juga menjadi  pusat lembaga dakwah yang didirikan Walisongo yang saat itu berorientasi kelautan, negeri maritim.


Kerajaan Demak mewarisi kejayaan maritim Majapahit, dengan jung-jung jawanya yang besar dan berat. Jung-jung yang dibuat dari kayu jati dengan bobot rata-rata mencapai 400 ton dan mampu menampung seribu orang dalam satu kapal. Jung-jung besar ini pula, yang di era Majapahit melakukan serangan ke Samudra Pasai di sekitar tahun 1390-an. Jung-jung angkatan perang Majapahit ini dilengkapi cetbang, semacam meriam kecil versi Jawa. Jung-jung ini pula, yang kemudian di masa-masa perdagangan laut, menjadi armada-armada dagang yang bisa menampung muatan 600 ton lebih.  Selain armada lautnya, Kerajaan Majapahit dan kadipaten-kadipaten sekitar Tuban dan di Pulau Muria terkenal dengan pasukan gajahnya. Gajah-gajah yang dilatih sebagai pasukan tempur ini juga difungsikan sebabai alat angkut untuk gelondongan besar kayu-kayu jati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun