Mohon tunggu...
Hilmi LasmiyatiMiladiana
Hilmi LasmiyatiMiladiana Mohon Tunggu... Guru - Laksmi Purwandita

Guru bahasa Indonesia Penulis belasan antologi bersama Penulis antologi puisi solo DARI NOL HINGGA ANANTA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kang Dadang Pasti Pulang

2 Mei 2020   23:02 Diperbarui: 3 Mei 2020   12:10 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tadi saya lupa ngasih amplopnya. Ini dari kelurahan untuk keluarga terdampak Corona." Tangan Bu RT mengulurkan sepucuk amplop.

Aku tak bisa berkata-kata. Mataku berlinang. Hatiku sungguh haru. Kudekap erat amplop itu ke dada. Wajah Bu RT kelihatan kaget. Ia terlihat ingin mendekatiku namun tertahan ingat aturan sosial distancing.

Bu RT hanya memandangku dengan sorot iba lalu menyatukan kedua telapaknya di depan dada. 

Aku masih tergugu kala Bu RT melangkah menjauhi teras rumah. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengasih.

Dengan tangan dan bahu penuh dengan jemuran aku masuk ke dalam rumah. Dede sedang menempel gambar dengan cangkang telur. Cangkang telur dari telur rebus lauk nasi kotak tadi. Nampaknya ia punya ide mengganti tugas kolase kacang hijau dengan kulit telur. Dede begitu khusu dengan pekerjaannya.

Aku masuk ke kamar. Menaruh baju kering di dalam keranjang lalu duduk di atas kasur. Aku penasaran berapa isi amplop dari kelurahan. Tanganku segera mengambil amplop dari dalam saku. Merobek tepiannya dan menemukan lima lembar Soekarno Hatta. Alhamdulillah ....

Adzan Ashar berkumandang. Aku kembali rukuk dan sujud dengan syahdu. Air mataku terus menerus turun. Wajah kang Dadang terbayang jelas. Ya Rabb mohon selamatkan akang. Kembalikan akang ke rumah....

"Mah, lihat ini bagus kan?" Dede menerobos masuk kamar memperlihatkan hasil kolasenya. Aku terhenyak sejenak lalu menatap gemintang matanya. 

"Sini mamah lihat...." Aku menggenggam kolase gambar bus dengan wajah sopir yang sedang tersenyum. Aku tak bisa menahan tangisku. Kupeluk erat Dede, kubelai rambut hitamnya. Mulutku terbata mengucap, "Mamah rindu ayah!" Dede ikut terisak air matanya membasahi mukena.

***

Selepas Ashar, aku habiskan waktu untuk menyetrika baju. Sedang Dede kembali sibuk menyusun balok-baloknya. Rumah begitu sunyi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun