Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Blokir Situs dan Hak untuk Meretas

21 Agustus 2015   12:30 Diperbarui: 21 Agustus 2015   12:30 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi (sumber: 4.bp.blogspot.com)"][/caption]

Tahun 1998 perusahaan mainan Lego merilis robot Mindstorms yang dilengkapi mesin mini. Robot dilengkapi berbagai sensor dan bisa bergerak sendiri. Pasar menyambut antusias dan penjualannya tinggi. Tak hanya anak-anak dan remaja yang beli, tapi juga penghobi robotik. Tiga minggu kemudian, beberapa komunitas bikin masalah. Mereka meretas mesin Mindstroms, melakukan reversed engineering dan memprogram ulang sensor, motor dan perangkat kontrol. Mindstorms jadi jauh lebih atraktif. 'Dengan lugunya', komunitas ini mendatangi Lego dan menunjukkan hasil hack atau retasan mereka. Tujuannya adalah memberi masukan agar Lego bisa mengembangkan Mindstorms yang lebih atraktif seperti hasil retasan.

Melihat robot kebanggaan mereka diretas, Lego marah besar dan berencana menuntut kelompok peretas ini secara hukum. Mindstorms tidak dijual untuk dimodifikasi, apalagi diretas. Niatnya adalah menjual robot sebagai end-product, dan konsumen tidak usah 'keminter', apalagi meretas. Faktanya, konsumen Lego ternyata lebih pintar daripada para insinyur robotik Lego. Tapi beberapa petinggi Lego rupanya dapat ilham: kenapa tidak dibiarkan saja para peretas ini mengembangkan inovasi dan kreativitas yang justru bisa meningkatkan nilai produk?

Alih-alih menuntut, pada Mindstorms berikutnya Lego menuliskan kalimat ini di kotak kemasan: Right to Hack! Silakan Diretas.

Sejak saat ini robot Mindstorms bebas untuk diretas, dioprek, diprogram ulang, dll. Bahkan Lego menyediakan laman khusus bagi konsumen untuk mengkreasikan Mindstorm-nya sendiri. Mindstorm saat ini jadi salah satu produk andalan Lego yang produknya dirilis berdasarkan masukan dari konsumen.

REMIX CULTURE

Secara alamiah, manusia pasti akan selalu mencoba menerabas batas yang ditentukan oleh otoritas untuk meningkatkan nilai dan menerima manfaat maksimal bagi pribadi maupun komunitasnya. Dalam bahasa industri, consumer telah berubah menjadi prosumer. Konsumen sekarang tak lagi jadi pihak penerima pasif produk dan jasa. Tak sebatas ingin menilai dan menyuarakan pendapat, mereka juga ingin meningkatkan nilai produk/jasa itu sendiri. Salah satu caranya adalah meretas. Bagi kelompok ini, peretasan bisa bermotif beragam: keingintahuan, berinovasi, pengakuan, kecintaan atau motif ekonomi karena ingin dapat hasil maksimal dengan biaya minimal. Semuanya adalah motif-motif alamiah manusia.

Apa sih yang sekarang tidak diretas? Mulai iPod sampai tas Hermes, dari Playstation sampai sandal Crocs. Tentu ini merugikan inovator dan produsen. Secara hukum dan moral, ia juga tak bisa dibenarkan. Tapi mampukah otoritas dan industri menghadapi peretasan yang merupakan motif alamiah ini semata-mata lewat pendekatan hukum?

Tidak. Lego sudah membuktikannya. Dalam dunia yang terbuka dan terhubung seperti sekarang, kejeniusan serta kreativitas kolektif dan ledakan ilmu pengetahuan yang dilakukan secara kolaboratif oleh setiap orang di muka planet ini tidak lagi bisa dibendung. 100 situs boleh saja diblokir hari ini, tapi di internet tersedia jutaan proxy yang bisa dipakai gratis untuk bypass. 1.000 nama situs diblokir, tinggal ganti nama domain yang harganya cuma $10/tahun. Akhirnya otoritas dan industri hanya main kucing-tikus dengan para peretas. Persoalannya, si tikus jauh lebih banyak, lebih pandai dan lebih bekerjasama dibanding si kucing. Sialnya lagi, ekosistemnya lebih mendukung si tikus menang. Di Kemeterian Kominfo sana duduk segerombolan orang yang dibayar oleh pajak rakyat dan tugasnya memelototi dan mencatat nama-nama situs yang akan diblokir. Dan mereka tahu mereka pasti kalah dalam pertarungan panjang dan tak seimbang ini. Mau sampai kapan?

Alih-alih diberangus, 'kejahatan' yang satu ini mesti dirangkul dan dijadikan produktif. Microsoft menyadari ini. Sudah bosan menjerit-jerit Windows dibajak belasan tahun. Akhirnya 2015 Windows 10 dirilis gratis. Apakah Microsoft akan rugi karena Windows 10 gratis? Jelas tidak. Karena mereka hadir dengan model bisnis baru yang diandalkan lewat jumlah user, data mining dan (akan hadir) periklanan.

20 Agustus kemarin pemerintah mengumumkan memblokir 22 situs yang menyebarluaskan kopi film, terutama dalam negeri, secara ilegal. Tujuannya adalah melindungi hak kekayaan intelektual. Baiklah, bisa kita terima. Tapi sampai kapan itu bisa tegak dalam dunia internet yang hacker-friendly?

Sampai kapan industri film atau musik ingin melawan konsumennya sendiri? Sampai kapan industri sanggup membayar pengacara bertarif tinggi untuk melumpuhkan satu demi satu pembajak atau peretas yang mati satu tumbuh sejuta? Jawabannya adalah tidak. Mereka tidak akan bisa dan tak akan sanggup melawan konsumen dan peretas dalam pertarungan panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun