Mohon tunggu...
Hilda Amalia
Hilda Amalia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I'am a cute and simple woman.. Love Allah... :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias Cinta Kala Senja

30 Juni 2013   21:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:12 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanya bisa memandangi lautan luas yang ada di hadapanku. Aku hanya bisa menatap penuh harap ke angkasa yang membisu melihat tingkahku. Jemariku seakan tak henti-hentinya menulis di atas pasir nan putih, menulis namanya yang indah, yang hingga sampai saat ini aku belum bisa bertemu dengannya. “Ayah…” Oh… Sungguh kata yang indah, kata yang hanya bisa kudendangkan bersama deburan ombak pantai, kata yang hanya bisa kuucapkan dikala dinginnya malam menusuk pilu dan menerawangi kerinduan yang membuncah di dalam sukmaku. Aku terduduk lesu sambil menatap ombak yang berlarian. Sekali lagi aku hanya bisa menatap kosong kearah laut ini. Matahari mulai bersembunyi kedalam pelukan malam, akan tetapi aku masih belum jua bisa melihat perahu Ayahku.

“Nak?? Tidakkah kau bosan menatapi laut ini sepanjang hari?” Tanya ibuku sambil memelukku dari belakang dengan penuh cinta.

“Aku kangen ayah bu...”

“Ayahmu pasti akan pulang Yolanda” Ibu mencoba menghiburku dengan ucapan yang sama

“Mana buktinya bu? Hingga sekarang ayah masih belum kembali? Apakah ibu tidak mengkhawatirkan ayah yang telah sekian lama belum jua kembali?” ratapku sambil memukulkan tanganku sendiri pada pasir yang menjadi saksi akan kesedihanku.

“Tentu saja ibu khawatir nak, hanya saja...”

“Hanya saja apa bu? Ibu hanya bisa berkata bahwa ayah akan pulang! Ayah akan pulang! Tapi ibu sendiri malah tidak merasa khawatir sedikitpun pada ayah” aku menangis tersedu.

“Dari mana kau tahu bahwa ibu tidak mengkhawatirkan ayah? Bahkan manusia sehebat apapun takkan pernah bisa meraba masuk kedalam hati ibu”

“Lalu? Mengapa ibu bertingkah seperti itu?” Tanyaku dengan nada yang parau.

“Anakku, ibu bersifat seperti ini bukan karena ibu tidak mengkhawatirkan ayahmu, akan tetapi karena ibu mempercayai ayahmu. Kau tau anakku jikalau dua insan yang saling mencintai bersatu dalam ikatan yang suci, bersiaplah untuk menjalani lika-liku hidup ini secara bersama-sama. Dan kau tau anakku, apa kunci untuk menjaga kemurnian cinta?”

“Aku tak tau, Apa itu bu?”

“Kuncinya adalah Cinta, Setia, dan Percaya” Jawab ibuku sambil menatap dalam kedua bola mataku. Kemudian ibuku menangis.

Aku memeluk tubuhnya yang kini kian renta kupandangi wajahnya sekali lagi, “Masih cantik” Ungkapku dalam hati, hanya saja garis-garis di wajahnya membedakannya kini dengan ketika beliau masih muda dulu.

“Anakku… Ada seorang pria yang datang untuk menikahi ibu beberapa minggu yang lalu, padahal pria itu tahu bahwa ibu masih menjadi istri ayahmu. Mungkin karena pria itu mengira bahwa ayahmu telah tiada, maka ia melamar ibu. Akan tetapi, ibu menolaknya karena ibu masih mencintai ayahmu dan mencoba berusaha untuk setia pada satu hati. Meskipun terkadang ibu selalu berprasangka buruk akan keadaan ayahmu yang sudah beberapa tahun tiada kabarnya. Maka, ibu mencoba menguatkan diri dan terus percaya padanya. Nak, suatu hari kau akan mengerti bahwa buah dari kepercayaan adalah kebahagiaan”

Ibu berbicara panjang lebar kepadaku. Dan aku merasa tenang mendengarnya. Kukecup pipinya yang basah oleh airmata kerinduan. Ya, kerinduan yang mendalam akan satu sosok yang sama denganku, pria yang membanting tulang demi kehidupan kami, “Ayah”.

“Seandainya jika pasir ini adalah kertas dan air laut adalah tinta penanya, maka akan kutulis beribu-ribu kata cinta dan kerinduanku yang mendalam pada sosok ayahku yang berada di samudera luas sana” Batinku dalam hati.

Dan kamipun berjalan pulang.

Pagi yang cerah datang meyambut hariku yang kini menjadi lebih baik. Angin pagi membelai lembut jiwaku yang selama ini kosong, iringan kicau burung mendendangkan irama merdu dan menenangkan hatiku yang beberapa minggu lalu hampa. Biasanya, katika pagi menjelang aku berlari melintasi waktu bersama harapanku di bibir pantai. Akan tetapi sekarang, sepertinya ibukulah yang mencontek kebiasaanku itu. Wajahnya yang tua memandang luas kearah lautan biru, bibirnya bertasbih memohon dan berdoa supaya sang suami bisa kembali menemani hari-harinya yang kelam jika tanpanya. Hari demi hari, ibu melakukan hal itu bahkan yang lebih buruknya, ibu mulai pulang pada sepertiga malam disaat biasanya ibu bermunajat dan menangis penuh pengharapan. Aku merasa bersalah pada ibuku, karena perkataankulah ibu menjadi gila rindu pada ayah.

“Ibu…?” tanyaku sambil menghampiri tubuhnya yang kian menggelap karena tempaan sinar matahari. Ibuku tak bergeming dengan suaraku, beliau masih saja menatap kosong kearah ombak yang melambai.

“Bu, maafkan Yolanda. Karena Yolanda, ibu jadi berlarut-larut dalam kesedihan pada ayah” ungkapku sambil menghirup angin laut yang hangat.

“Kau tidak bersalah anakku. Tak ada yang harus disalahkan dan untuk disalahkan. Biarkan semua ini berjalan bersama waktu, seperti ombak yang kian menari bersama buih-buih juga pasir dilautan, sesering apapun ibu menangis dan sekuat apapun ibu mencoba menahan rasa rindu ini. Pada akhirnya ibu akan pasrah jua. Tapi, rasa percaya ini takkan pernah luntur meski waktu menyiksa ibu untuk melupakannya”

Sekali lagi aku mendekap tubuhnya yang renta. Ibuku kini tersenyum, tidak menangis seperti beberapa minggu yang lalu.

“Bu, mari kita jual jaring-jaring ikan yang sudah kita buat bersama di pasar. Bukankan sudah 2 bulan kita tidak berjualan?”

“Baiklah nak, ayo kita berangkat” Sambil membersihkan pakaiannya dari butiran pasir.

Sampai dipasar, kami menjajakan jaring ikan kami kepada para nelayan yang biasanya mempersiapkan peralatan untuk melaut sebelum senja tiba. Dan ini adalah kesempatan baik untukku dan ibuku menjualnya. Hasil yang kami dapat tidak sebanding dengan proses pembuatan jaring itu sendiri. Tapi, kami mencoba terus bersyukur akan semua ini. Waktu telah menunjukan pukul empat sore dan ini adalah saatnya bagi aku dan ibu mencari telur penyu di bibir pantai untuk dibiakkan. Sampai dibibir pantai, aku melihat perahu yang berlayar kearah kami berdiri, sambil melambaikan tangan nelayan di atas perahu itu memanggil namaku dengan keras.

“Yolanda!!! Hoy Yolanda!!!”

“Ayah… Ayah!!!” Teriakku dengan keras sambil melambaikan tangan kearahnya. Ibuku melakukan hal yang sama denganku, tapi tak berteriak sepertiku. Ibu hanya melambai dan menahan air mata keluar dari kedua matanya. Setelah sampai, ayah lalu memeluk dan mencium kening kami berdua dengan rasa cinta. Karena sudah 3 tahun lamanya ayah pergi melaut tanpa kabar berita.

“Ayah, kemana saja?” Tanyaku langsung tanpa menanyakan keadaannya

“Ayah mencari nafkah di laut, Yolanda” Jawab ayahku sambil menguyek-nguyek kepalaku dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kemudian ayah menyuruhku untuk membawa hasil tangkapan ke rumah, dengan senang hati aku lakukan. Aku membiarkan ayah dan ibu berdua untuk melepas kerinduan di pantai ini.

“Istriku, apa dirimu merindukanku?”

“Tentu saja iya. Klo kau?”

“Begitu pula aku, aku amat sangat merindukanmu.Lihatlah langit senja ini kasihku sungguh indah sekali” Ayah berkata dengan nada yang lembut sambil memegang erat tangan ibuku seakan tak mau kehilangan lagi.

“Wahai istriku, biarkanlah langit senja di pantai ini menjadi saksi kedua bagi kita setelahNya. Izinkanlah kukatakan kepadamu bahwa aku beruntung memiliki bidadari seindah dirimu di dunia ini” Ungkap ayahku sambil mengindra warna angkasa yang menjadi pelangi dimatanya.Kemudian ibu semakin mempererat genggaman tangan ayah. Hingga senja hilang menuntun malam.

*By : Hilda Amalia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun