Setiap manusia pernah berada di titik paling rendah dalam hidup. Hingga tak ada lagi yang bisa ia harapkan kecuali satu, memohon kekuatan kepada yang maha kuasa, Allah!
Realita hidup menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya dan sedihnya tak ada seorangpun yang mengerti keadaan kita, termasuk orang terdekat dalam hidup.
Jangankan menguatkan, sekedar bertanya saja enggan.
Semua orang beralih profesi menjadi komentator yang paling pedas terhadap hidup orang lain, namun alpa dan kagok dalam menjalani hidupnya sendiri.
Seolah layak mengomentari hidup orang lain dan merasa paling paham detail hidup orang lain, padahal sedikitpun tidak.
Sendirian, babak belur kita dihajar realita hidup dan bagian paling menyakitkannya adalah ketika orang yang paling kita sayangi menyoraki pertunjukan ini.
Jatuh, sejatuh jatuhnya! Di titik paling rendah!
Sudah bersimbah darah, berderai air mata pula, namun harus tetap bangkit menjalani hidup seperti biasa seolah tak ada apa-apa!
Lalu, kepada siapa harus berpaling dibatas ketidaktahuan diri ini? Kalau bukan kepada Allah, Dzat yang selalu kita nomer duakan tatkala dalam kondisi lapang.
Tak ada bahu untuk bersandar, namun sajadah teramat lapang untuk bersujud!
Tak ada tangan untuk menguatkan, namun langit teramat luas untuk kita menengadahkan tangan sendiri!
Maka menangislah, menundukkah! Keluarkan segala kepahitan itu hingga bibir tak mampu berucap, hanya air mata yang tak henti-hentinya.
Di situlah, titik puncaknya, ketika kita bersimpuh tak berdaya mengakui bahwa kita adalah selemah-lemahnya makhluk yang tak mampu berbuat apa-apa kecuali dengan pertolongan-Nya.
Maka berserahlah, pasrahkan apapun itu, tanamkan dalam diri bahwa selagi Allah bersamaku, aku akan baik-baik saja.