Mohon tunggu...
hikmah
hikmah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - الف ليلة وليلة

Setiap kali air mata terjatuh, aku memilih memungutinya dengan haru, untuk kudaur ulang menjadi serangkaian aksara yang mampu kau baca. Dan apabila kau merasakan getir saat membaca tulisanku, bisa jadi, tulisan itu lahir dari air mata paling pilu yang pernah kujatuhkan!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ke Manakah Harus Berpaling, di Batas Ketidaktahuan Diri?

23 Maret 2021   10:14 Diperbarui: 23 Maret 2021   11:57 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap manusia pernah berada di titik paling rendah dalam hidup. Hingga tak ada lagi yang bisa ia harapkan kecuali satu, memohon kekuatan kepada yang maha kuasa, Allah!

Realita hidup menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya dan sedihnya tak ada seorangpun yang mengerti keadaan kita, termasuk orang terdekat dalam hidup.
Jangankan menguatkan, sekedar bertanya saja enggan.
Semua orang beralih profesi menjadi komentator yang paling pedas terhadap hidup orang lain, namun alpa dan kagok dalam menjalani hidupnya sendiri.
Seolah layak mengomentari hidup orang lain dan merasa paling paham detail hidup orang lain, padahal sedikitpun tidak.

Sendirian, babak belur kita dihajar realita hidup dan bagian paling menyakitkannya adalah ketika orang yang paling kita sayangi menyoraki pertunjukan ini.
Jatuh, sejatuh jatuhnya! Di titik paling rendah!
Sudah bersimbah darah, berderai air mata pula, namun harus tetap bangkit menjalani hidup seperti biasa seolah tak ada apa-apa!

Lalu, kepada siapa harus berpaling dibatas ketidaktahuan diri ini? Kalau bukan kepada Allah, Dzat yang selalu kita nomer duakan tatkala dalam kondisi lapang.
Tak ada bahu untuk bersandar, namun sajadah teramat lapang untuk bersujud!
Tak ada tangan untuk menguatkan, namun langit teramat luas untuk kita menengadahkan tangan sendiri!
Maka menangislah, menundukkah! Keluarkan segala kepahitan itu hingga bibir tak mampu berucap, hanya air mata yang tak henti-hentinya.

Di situlah, titik puncaknya, ketika kita bersimpuh tak berdaya mengakui bahwa kita adalah selemah-lemahnya makhluk yang tak mampu berbuat apa-apa kecuali dengan pertolongan-Nya.
Maka berserahlah, pasrahkan apapun itu, tanamkan dalam diri bahwa selagi Allah bersamaku, aku akan baik-baik saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun