Mohon tunggu...
Hikmat Nur Hakim
Hikmat Nur Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Food, Footbal and Politics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan dalam Hubungan Intim Perspektif Feminis: Studi Kasus Pembunuhan Pasangan di Kota Bogor

20 Desember 2023   22:31 Diperbarui: 21 Desember 2023   10:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada Sabtu, 2 Desember 2023 di Jalan Semeru Kota Bogor di sebuah ruko kosong ditemukan jasad seorang perempuan dengan kondisi luka dan berdarah. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ia merupakan seorang perempuan yang bernama Fitria Wulandari yang dibunuh oleh pacarnya sendiri, Rahmat Agil Septiansyah alias Alung (20). Saat ditemukan, terdapat beberapa luka di bagian tubuh korban dan korban diduga tewas karena dibekap mulutnya dan dicekik lehernya selama menit oleh pelaku. Motif Alung membunuh pacarnya karena menolak untuk putus hubungan. Sebelum pembunuhan terjadi, pelaku dan korban sempat bertengkar. 

Padahal, sebelumnya Alung merupakan pelaku pemukulan terhadap remaja bermana Rafik. Alung memukul dan menganiaya Rafik karena cemburu dan diduga memiliki hubungan dengan pacarnya, Fitria Wulandari. Alung dilaporkan ke Polsek Bogor Barat, dan karena menjadi pelaku penganiayaan tersangka pun sempat ditahan di polsek selama 28 hari. Karena korban mencabut laporan dan kedua pihak berdamai, Alung pun dibebaskan dari penjara Polsek Bogor Barat. Namun, baru 3 hari setelah dibebaskan Alung bertemu kembali dengan pacarnya lalu membunuhnya (Permana, 2023)

Kasus tersebut termasuk ke dalam kekerasan dalam hubungan intim (Intimate Partner Violence) merupakan pola perilaku penyerangan dan pemaksaan yang dapat mencakup cedera fisik, pelecehan psikologis, pelecehan seksual, pengasingan secara progresif, penguntitan, perampasan, intimidasi, dan pemaksaan reproduksi. Jenis-jenis perilaku ini dilakukan oleh seseorang yang sedang, pernah, atau ingin terlibat dalam hubungan intim atau berpacaran baik orang dewasa atau remaja, dan bertujuan untuk membangun kendali atas salah satu pasangan atas pasangan lainnya. Hal ini dapat terjadi antara pasangan berbeda jenis atau sesama jenis dan dapat dialami oleh pria dan perempuan di individu orang tanpa memandang usia, status ekonomi, ras, agama, etnis, orientasi seksual, atau latar belakang pendidikan. Individu yang pernah menjadi korban kekerasan dalam hubungan intim dapat mengalami konsekuensi seumur hidup, termasuk trauma emosional, gangguan fisik jangka panjang, masalah kesehatan kronis, dan bahkan kematian (ACOG, 2012). 

Kekerasan dalam hubungan intim merupakan masalah besar yang menjadi masalah kesehatan masyarakat global dan termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia. Data dari WHO menunjukan bahwa lebih dari seperempat perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah berpacaran pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intimnya setidaknya sekali dalam hidupnya (sejak usia 15 tahun) dan secara global, sebanyak 38% dari semua pembunuhan terhadap perempuan dilakukan oleh pasangan intim (WHO, 2021).

Di sisi yang lain, di Indonesia pada tahun 2022 data dari Komnas Perempuan melaporkan terdapat 3.950 kasus kekerasan dalam hubungan intim yang dilaporkan dan naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya (Komnas Perempuan, 2023). Namun, prevalensi kekerasan dalam hubungan intim di Indonesia diperkirakan kurang dari 1% berdasarkan kasus-kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Kemungkinan besar prevalensi kekerasan dalam hubungan intim secara keseluruhan di Indonesia tidak dilaporkan. Alasan yang mungkin untuk tidak melaporkan kekerasan dalam hubungan intim di Indonesia karena rasa malu, ketidaksetaraan gender pada suatu hubungan, takut akan pembalasan, keadaan ekonomi, dan persepsi bahwa bantuan mungkin tidak tersedia (Iskandar, Braun, & Katz, 2014).

Dari data fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan untuk dijawab dalam tulisan ini, yaitu bagaimana faktor sosial-budaya dan faktor struktural berkontribusi terhadap terjadinya kekerasan dalam hubungan intim kepada perempuan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan perspektif feminis. 

Perspektif feminis akan memfokuskan pandangannya pada budaya dan sistem patriarki sebagai sumber jawabannya. Patriarki menjadi penyebab adanya status subordinat yang dialami perempuan, yang menyamakan maskulinitas dengan kekuasaan dan perempuan dengan ketidakberdayaan. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan disosialisasikan untuk membentuk kepribadian dianggap maskulin bagi laki-laki dan apa yang dianggap feminin bagi perempuan. Sebagai contoh, maskulinitas didefinisikan sebagai sesuatu yang cerdas dan kuat; di sisi lain, feminitas didefinisikan sebagai sesuatu yang pasif dan penurut. Kemudian, peran sosial ditetapkan berdasarkan karakteristik kepribadian gender. Dengan demikian, perempuan diberi peran yang sama seperti hewan - bereproduksi dan melayani di dalam rumah. Sementara itu, laki-laki diberi dan ditempatkan berfungsi produktif, sebagai pencari nafkah di ruang publik (Palulungan, Kordi K, & Ramli, 2020). Laki-laki dipandang sebagai superior dan perempuan dipandang sebagai inferior dibawah masyarakat patriarki ini. Dengan memperhatikan semua sosialisasi yang dialami perempuan, mudah untuk melihat bagaimana perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya di bawah patriarki jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. 

Teori feminis berpandangan bahwa pembentukan gender dan sosialisasi masyarakat terkait peran gender tertentu, khususnya dalam konteks patriarki, menjadi penyebab ketidakseimbangan kekuasaan yang mempengaruhi kekerasan dalam hubungan intim. Ini terjadi karena maskulinitas sering diartikan dalam konteks kekerasan, sementara feminitas diartikan dengan sifat yang lebih pasif. (DeKeseredy & Schwartz, 2011). Semua hal ini menunjukkan bahwa pendekatan feminis melihat kekerasan dalam hubungan intim muncul dari keyakinan bahwa masyarakat kita mengharuskan laki-laki memiliki kemampuan dan berhak untuk mengontrol pasangan intimnya karena ketidaksetaraan gender yang diakibatkan oleh patriarki. 

Dengan budaya patriarki yang disosialisasikan terus menerus oleh masyarakat membuat patriarki menjadi budaya yang tertanam di dalam masyarakat Indonesia. Dengan begitu, secara struktural budaya patriarki terus ada di dalam masyarakat yang menyebabkan patriarki  dan menciptakan posisi perempuan dan laki-laki yang tidak setara sebagai pemicu adanya kekerasan dalam hubungan intim terhadap perempuan. Dari kasus Alung yang membunuh pacarnya karena menolak untuk putus hubungan. Dengan adanya penolakan dari pacarnya, Alung secara tidak langsung merasa bahwa dia sebagai laki-laki memiliki kemampuan dan berhak untuk mengontrol pacarnya. Namun, karena tidak mampu mengontrol pacarnya, Alung yang merasa ia lebih superior dan lebih berkuasa dari pacarnya pun melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian pacarnya. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh WHO (2021) bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam hubungan intim adalah perilaku laki-laki yang mengontrol perempuan. 

WHO (2021) telah mengeluarkan kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi kekerasan dalam hubungan intim. Pertama, Penguatan keterampilan hubungan untuk membantu individu dan pasangan untuk membangun hubungan yang sehat dan bebas dari kekerasan. Kedua, pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap sumber daya dan kesempatan, sehingga mereka dapat mandiri dan memiliki kontrol atas kehidupan mereka. Ketiga, layanan yang terjamin untuk melindungi korban kekerasan dalam hubungan intim, seperti layanan hukum, kesehatan, dan sosial. Lalu, Pengurangan kemiskinan untuk mengurangi faktor risiko terjadinya kekerasan dalam hubungan intim. Selain itu, pemerintah dan masyarakat harus  ikut serta dalam menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menghormati hak-hak perempuan agar terjadi transformasi sikap, kepercayaan, dan norma untuk mempromosikan pemahaman bahwa kekerasan adalah masalah serius dan meninggalkan budaya patriarki. Terakhir, Pencegahan pelecehan terhadap anak dan remaja untuk melindungi anak dan remaja dari kekerasan di seluruh lingkungan masyarakat.

Dengan demikian, kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang sangat besar dan belum terselesaikan yang masih sering terjadi di sekitar kita. Teori feminis menawarkan kerangka kerja yang penting untuk memahami dinamika kekerasan dalam hubungan intim yang kompleks. Dengan mengenali peran struktur dari budaya patriarki dan ketidakseimbangan kekuasaan, pendekatan feminis memberikan pandangan kritis untuk mengembangkan strategi pencegahan, intervensi dan kebijakan yang efektif yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun