Mohon tunggu...
Hikmatiar Harahap
Hikmatiar Harahap Mohon Tunggu... Univ. al-Azhar Medan

Belajar, Belajar & Mendengar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siyasah: Membedah RKUHP Pasal 218 dan 219

5 Oktober 2025   20:38 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:38 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan Alquran surah Ali 'Imran [3]: ayat 104, termuat kaidah ushul fiqh:

"Memerintahkan menuju kebaikan dan melarang melakukan kemungkaran adalah tindakan wajib".

Dalam kaidah tersebut, ada bentuk penekanan wajib yang harus dilakukan oleh sekelompok orang bahwa kebaikan harus ditegakkan, sementara kemungkaran harus dilenyapkan. Sangat dibutuhkan peran masyarakat, pendidik, mahasiswa, buruh dan elemen-elemen lainnya, sebagai kolektif yang memiliki tanggung jawab atas keterlibatannya dalam membangun bangsa-negara dari sisi kritik yang mencerdaskan, memajukan, terlebih mampu memberikan solusi selangkah demi selangkah untuk perbaikan demi tercapainya kemakmuran serta keadilan. Kritik bagian dari tegaknya kebaikan, sementara penghinaan bentuk kezaliman kepada sesama. Pasal penghinaan presiden yang mengarah selain dari protes, kritik atau pernyataan sikap, merupakan ranah yang boleh dan sah dilakukan, lain halnya dalam bentuk cacian, makian dengan kata-kata yang mengumbar kebenciaan bahkan sengaja menebar fitnah dan hoaks serta sejenisnya, tentu bagian dari pelanggaran hukum. Kapasitas politik Islam dalam merespon pasal penghinaan terhadap presiden merupakan bentuk kemungkaran yang harus dihindari dan dijauhkan. Berdasarkan kaidah tersebut status hukum bagi sekelompok oknum yang melakukan penghinaan terhadap presiden merupakan tindakan yang dilarang karena bagian dari pada terwujudnya kemungkaran. Ditegaskan politik Islam mendukung dengan adanya pasal penghinaan terhadap presiden yang terdapat dalam RKUHP dengan beberapa pertimbangan, antaranya: Pertama, dalam politik Islam, bahwa kewajiban untuk mentaati pemimpin, seperti ungkapan Ibn Taymiyyah "60 tahun dibawah penguasa zalim, lebih baik dari pada semalam tanpa penguasa". Kedua, politik Islam menekankan bahwa kritik merupakan jalan yang baik dalam mengingatkan penguasa yang menyimpang, penguasa akan mendengarkan dan dapat belajar dari kesalahan terkait kebijakan. Ketiga, politik Islam memastikan agar tidak ada pasal karet sebagai sarana untuk membungkam kritik, sehingga perlindungan hukum sama di depan hukum agar terhindar dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Keempat, kritik disalurkan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga memberikan manfaat untuk kebersamaan.

*Nilai Maqshid Syari'ah dalam Pasal Penghinaan*

Unsur utama konsep maqshid syari'ah berupaya mewujudkan dampak dan nilai kemaslahatan yang harus digapai serta berupaya menghindari keburukan agar dilepas. Dalam hal ini, pandangan al-Syatibi yang merupakan tokoh utama yang mempopulerkan maqshid syari'ah yang dikutip dari Akmal Bashori bahwa maqshid syari'ah adalah kemaslahatan manusia, yang bertitik tolak dari bahwa semua kewajiban (taklifi) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia. Tak satu pun hukum Allah dalam pandangannya yang tidak mempunyai tujuan. Karenanya, inti dari maqshid syari'ah mewujudkan kemaslahatan manusia. Merujuk pendapat Jasser Auda maqshid syari'ah merupakan kumpulan-kumpulan maksud Ilahi dan konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam. Lebih lanjut, beliau mengungkapkan dengan istilah klasifikasi tradisional yang dikenal dalam maqashid antara lain: daruriyyat, hajiyat dan tahsiniyat. Selanjutnya, maqshid syari'ah dalam merespon RKUHP terkait pasal Penghinaan sudah seharusnya tetap mempertahankan keberadaan pasal tersebut untuk memastikan bahwa melindungi kepala negera merupakan bentuk kemaslahatan dan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat dalam mengkritisi kebijakan serta kepastian hukum harus terpenuhi. Perlu dipahami bahwa kehadiran RKUHP bukan sekedar mengisi atau mengganti RKUHP warisan Belanda dengan RKUHP baru warna Indonesia melainkan untuk mencapai keadilan serta penyesuaian kebutuhan terhadap perkembangan hukum di Indonesia yang lebih manusiawi. Momentum kehadiran RKUHP baru merupakan semangat dalam memperbaiki semua sisi kebutuhan hukum di Indonesia termasuk dalam aspek nilai kemanusiaan, untuk itu maqshid syari'ah menekankan pentingnya melindungi diri yang merupakan hak dan dasar yang melekat dalam diri setiap manusia. Dengan adanya, RKUHP pasal penghinaan tentu berada dalam lingkup yang sangat krusial dan tepat di posisi atau dilevel daruriyyat (kebutuhan mendesak).

Pada level yang daruriyyat terdapat lima (5) kebutuhan dasar yang wajib dilindungi seperti yang ditegaskan oleh as-Syatibi berupa hifzu ad-diin, hifzu an-nafs, hifzu al-mal, hifzu al-aql dan hifzu al-nasl. Selain as-Syatibi perlu juga dikemukakan pendapat Abraham Maslow yang mengajukan hierarki kebutuhan dasar manusia yang beranjak dari kebutuhan dasar fisik dan keamanan menuju kebutuhan cinta dan harga diri, kemudian menuju aktualisasi diri. Jadi, pada dasarnya memang, setiap diri manusia memiliki kebutuhan berupa terciptanya rasa keamanan dan kenyamanan pada setiap diri. Dalam hal ini, maqshid syari'ah menilai bahwa pasal penghinaan secara khusus lebih dekat pada kenyataan untuk mempertahankan kebutuhan berupa hifzu an-nafs bagi yang dikritik dan hifzu-aql bagi yang mengkritik, dan ditegaskan kembali bahwa dalam konteks pasal ini, memang kedua kebutuhan tersebut lebih memiliki hubungan emosional dibandingkan menjaga kebutuhan yang lain walaupun memang semuanya sama-sama memiliki hubungan khusus.

Dalam hal ini Alquran Surat Al-Hujurat Ayat 11:

Artinya: "Dan janganlah kamu saling mencela serta janganlah memanggil dengan gelaran yang buruk".

Bahwa ayat tersebut merupakan sebuah dalil yang melarang perbuatan yang mengarah kepada menghina orang lain dalam bentuk mencela dan membuat berupa panggilan yang mengejek. Dampak dari perbuatan mencela berpotensi merusak tatanan sosial bahkan dapat menyuburkan permusuhan sedangkan dampak dari sebutan gelar yang buruk merupakan bentuk menyakiti hati dan perasaan. Dari ayat tersebut termuat dua kaidah fiqh yang berbunyi: "Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih", (Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat). "al-adz l yuzl bi al-adz", (Menyakiti orang lain tidak boleh dihilangkan dengan menyakiti balik).

Guna memperoleh jawaban secara utuh terkait maqshid syari'ah mengenai keberadaan pasal penghinaan presiden yang harus di lindungi serta terjaminnya hak kebebasan berpendapat, antara lain:

1.Hifzu an-Nafs

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun