Perubahan fisik kota tidak sebatas lahannya saja, namun juga tata ruang kota. Kadang perluasan areal kota melewati batas administrasi kota yang disebut urban sprawl yang lazim terjadi secara alamiah. Selain perluasan secara horizontal, kota juga dapat tumbuh secara vertikal. Bangunan tinggi akan bermunculan di kawasan strategis seperti kawasan bisnis, pemerintahan, dan perkantoran yang nantinya akan mengakibatkan permintaan untuk lahan parkir meningkat. Sehingga pertumbuhan kota juga dapat vertikal ke bawah dengan pembangunan underground parking area.Â
Bentuk intensifikasi lahan perkotaan lain adalah memadat, hal ini menyebabkan muncul permukiman di daerah yang sebetulnya tidak boleh/tidak layak dibangun. Contohnya adalah permukiman di sempadan sungai, rel, dan pesisir laut yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan munculnya slum area yang akan sulit penanganannya.
Di Banyuwangi, fenomena urban sprawl terus terjadi tiap tahunnya. Konversi lahan pertanian produktif di pinggiran kota menjadi lahan terbangun kian masif. Terlihat dari munculnya bangunan-bangunan baru di pinggiran kota Banyuwangi, seperti hotel baru di bagian selatan kota yang mengkonversi 17 ribu m² lahan pertanian dan menyebabkan wilayah di sekitarnya juga ikut menjadi wilayah terbangun.Â
Selain itu, proyek pembangunan Banyuwangi Themepark yang dimulai pada tahun 2020 juga akan menelan satuan bahkan belasan hektar lahan perkebunan di pinggiran Kota Banyuwangi. Bila hal ini terus terjadi, tidak dapat dimungkiri perkembangan kawasan terbangun akan semakin meningkat yang dapat mengancam ketahanan pangan di Banyuwangi.
Pembangunan yang semakin berkembang tersebut dapat menarik arus modal baik tenaga kerja maupun modal fisik (mesin, infrastruktur, keuangan, dll) ke pusat pertumbuhan. Jika suatu wilayah berkembang hanya pada satu titik saja tentu hal ini dapat menjadi suatu masalah, dimana akan lebih banyak penduduk pindah dan tinggal di pinggiran kota tanpa perencanaan tata ruang yang dapat menyebabkan cluster perumahan dan perkampungan tidak teratur.Â
Berdasarkan data baseline Program KOTAKU Kabupaten Banyuwangi 2015, sekitar 57,5 % permukiman di Banyuwangi masuk dalam kategori permukiman tidak teratur. Tentunya hal ini dapat merusak estetika kota dan dapat menyebabkan fungsi suatu wilayah menjadi bias. Masalah ini harus ditangani dengan cepat agar presentase ketidakteraturan permukiman dapat menurun bahkan menghilang.
Maka dari itu perlu adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang pembangunan perumahan maupun bangunan lain agar tata ruang kota dapat teratur dan berfungsi secara maksimal. Sesuai RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah) Kabupaten Banyuwangi 2012 yang tertuang dalam RPJP Kabupaten Banyuwangi , estimasi lahan permukiman (backlog) di Banyuwangi meningkat tipis tiap tahunnya. Pada tahun 2029 diprediksi 140.790 ha lahan di Banyuwangi dibutuhkan untuk permukiman. Hal ini tentunya berimplikasi pada penyediaan fasilitas dan utilitas oleh pemerintah yang juga akan mengkonversi lahan sekitar perkotaan menjadi daerah terbangun.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi peraturan pemerintah yang mengatur tentang tata ruang, struktur dan pola ruang di suatu wilayah. Rencana ini mencakup bagaimana suatu wilayah atau kawasan dikembangkan, zonasi wilayah, peruntukan dan fungsi suatu wilayah serta aspek-aspek yang termasuk potensi budaya dan wisata di wilayah tersebut.Â
Nantinya, regulasi ini dapat mendorong suatu wilayah agar lebih teratur dan dapat menciptakan spread effect bagi daerah sekitar. Spread effect yang dimaksud adalah efek positif dari pengembangan wilayah dimana terjadi hubungan fungsionalis antara satu wilayah dengan wilayah lain, yang dapat sama-sama menopang pembangunan di kedua wilayah.
Dalam upaya mengurangi alih fungsi lahan pertanian, pemerintah menyusun Peraturan Daerah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) atau yang sering disebut dengan perlindungan lahan abadi. Sudah lima tahun perda ini masuk ke DPRD Kabupaten Banyuwangi, namun masih belum jelas pengesahannya karena terkendala peta lahan yang kurang detail menyebutkan nama pemilik dan alamat lahan. Sehingga perda ini masih dalam bentuk rancangan semata.
Permasalahan lahan menjadi masalah krusial saat mengembangkan suatu kota. Pemerintah dan masyarakat dihadapkan pada pilihan dilematis yang menuntut mereka untuk berpikir logis nan realistis. Spekulasi harga, masalah tata ruang, kurangnya efisiensi lahan, estimasi penyediaan sarana dan prasarana bagi masyarakat termasuk permukimannya, serta alih fungsi lahan pertanian menjadi persoalan kompleks lahan perkotaan di Banyuwangi.