Mohon tunggu...
Hikmah Komariah
Hikmah Komariah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang suka mengeluh atas berbagai ketidakidealan dan kerusakan yang ada, mencoba berpikir out of the box dan berusaha menemukan ide yang mencerahkan untuk dunia saat ini dan dunia dimasa mendatang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mucikari Cilik yang Pintar

12 Juni 2013   18:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:08 1497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13710449981213826991

[caption id="attachment_267380" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Tidak salah mungkin dengan pendapat salah seorang teman ibu saya, "anak jaman sekarang pada pintar-pintar." Konteks munculnya pernyataan ini sebenarnya dari tingkah lucu keponakan laki-laki saya yang masih berumur 11 bulan. Bagaimana tidak? Bocah ini dengan cepat meniru gerakan ngulek, ketika diajak beli gado-gado dekat rumah. Tapi saya tidak hendak membahas kepintaran keponakan saya, gerakan ngulek, ataupun si ibu penjual gado-gado. Bukan itu. Sama sekali bukan itu. Ini tentang kisah seorang mucikari di Surabaya yang tertangkap tangan oleh polisi. Beritanya ramai baik di televisi, koran, hingga media sosial senin lalu. Sebenarnya, berita-berita semacam ini bukan hal yang mengejutkan. Ya, sudah tahu sama tahulah bahwa bisnis prostitusi menjadi salah satu bisnis yang menjanjikan di negri ini. Apalagi di Surabaya yang sangat terkenal dengan Dolly-nya. Tapi yang bikin saya deg-degan ketika menonton berita ini adalah pelakunya adalah siswi SMP. Betul, remaja yang baru berusia 15 tahun ini yang menjadi pelaku atas kasus human trafficking anak dibawah umur. Kata "anak dibawah umur" seakan mengesankan bahwa si pelaku bukan "anak dibawah umur". Lebih enak disebut dengan kasus human trafficking "teman sebaya" memang. Bahkan, beberapa korban lebih tua dari pelaku sendiri. Dan ini yang saya maksud dengan "anak jaman sekarang pintar-pintar". Layak bukan kita sebut mucikari cilik itu anak jaman sekarang yang pintar? Baru umur segitu saja sudah bisa melakoni profesi sebagai mucikari. Mungkin wajar karena sebelum menjadi mucikari pun, dia adalah korban yang dipajang kemudian dijual kepada lelaki hidung belang. Tapi justru disini letak pintarnya. Tidakkah kita mengagumi betapa cerdasnya remaja ini mengambil pelajaran dari mucikari yang diikutinya dulu? Bukan hanya sekedar mengambil pelajaran malah, tapi sudah bisa mempraktekkan dengan baik pelajaran yang sudah diambil. Pintar bukan? Dari hasil googling, ternyata mucikari cilik ini punya 10 anak buah. Mungkin saya harus memuji kemampuan psikologi komunikasi mucikari cilik ini yang berhasil menggaet teman sebayanya untuk ikut serta dalam bisnisnya itu. Caranya sederhana memang. Pamer uang dan gadget. Gaya komunikasinya pun mestinya bagus. Wong korbannya pada akhirnya leluasa bercerita bahwa mereka sudah tidak perawan lagi. Akibat pacaran yang kebablasan. Setau saya, kalau komunikator bisa membuat komunikan nyaman bercerita dengannya, artinya si komunikator memahami psikologis si komunikan dengan baik. Nah, terlihat lagi kan pintarnya mucikari cilik ini? Proses transaksi dengan pelanggan pun dilakukan dengan hati-hati oleh si mucikari cilik. Janjian dulu di mall dan memastikan bahwa si pelanggan sanggup bayar ataupun tidak ada jebakan. Kalau sudah yakin aman, barulah dia meneruskan transaksi. Pastinya dia tahu bisnisnya ini tidak halal dan menjadi incaran polisi, makanya benar-benar berhati-hati dalam bertransaksi. Bisa dibilang, mucikari cilik ini tahu dengan baik resiko bisnisnya itu dan menjalankannya dengan tindakan-tindakan yang bisa meminimalisir resiko yang muncul. Ini pola pikir pebisnis yang baik bukan? Apalagi, beberapa berita menyebutkan bahwa polisi agak kesulitan ketika hendak menangkap si mucikari cilik. Butuh waktu sebulan padahal polisi tahu targetnya adalah pelajar SMP. Mungkin karena meremehkan akhirnya butuh waktu hingga satu bulan. Benar-benar anak jaman sekarang yang pintar. Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepintar-pintarnya mucikari cilik, pada akhirnya tertangkap juga. Ngeri saya membayangkan gerak-gerik remaja ini tidak tercium oleh polisi dan semakin getol menambah anak buah yang seumuran dengan dirinya. Bayangkan berapa banyak remaja yang semakin terperosok dalam lingkaran setan ini. Akan jadi apa kita kedepannya jika remajanya saat ini sibuk cari uang dengan cara "instan" seperti itu... Siapa yang harus disalahkan? Orangtua? Anak dibawah umur seperti mucikari cilik ini masih menjadi tanggungjawab orangtuanya bukan? Karena merekalah yang bertanggungjawab pada perkembangan anak-anak Indonesia. Orangtua adalah orang pertama yang dibebani tanggungjawab untuk mendidik anak-anak sejak mereka terlahir ke dunia. Tapi bagaimana dengan orangtua yang terjerat kemiskinan? Mereka mungkin terlalu khawatir pada perut si anak daripada akhlaknya. Bahkan mungkin saja karena kemiskinan itulah, si anak pun terpaksa ikut memikirkan dan berusaha mengisi perutnya sendiri, perut orangtuanya, dan perut saudara-saudaranya. Lalu mestinya orangtua yang bisa memberikan kemewahan pada anaknya bisa kan fokus pada mendidik akhlak anak? Belum tentu. Kadang kemewahan dan segala kenikmatannya membuat seseorang lupa pada tanggungjawabnya pada sesama manusia. Benda mati dianggap lebih penting dibandingkan seseorang yang bernyawa... Tapi layakkah menjatuhkan kesalahan sepenuhnya pada orangtua? Masalahnya ada banyak pihak yang ikut serta memberi warna pada kertas putih yang dimiliki si anak. Kalau berandai-andai si pelaku atau korban ini tidak masuk dalam pergaulan bebas. Atau minimal punya pacar yang baik lah, yang tidak akan mengajak melakukan hubungan terlarang itu atau menolak dengan tegas jika yang mengajak dari pihak perempuan. Mereka mungkin tidak akan begitu mudahnya menerima tawaran bisnis prostitusi itu. Ah rumit memang kalau sudah bicara pergaulan bebas ini. Seperti diminta meluruskan benang-benang yang sudah carut marut tak jelas mana ujungnya. Bukan hanya masalah pacar memang, faktor teman sebaya, nilai dan norma yang tergerus, budaya bebas yang semakin merasuki jiwa kaum muda, dan mungkin banyak lagi yang belum bisa saya pahami. Banyak pihak yang ambil bagian atas kasus menyedihkan ini. Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan orangtua bukan? Pendidikan karakter melibatkan seluruh elemen masyarakat. Disatu sisi, saya bangga dengan kepintaran mucikari cilik ini. Tapi juga ingin menangis karena kepintarannya ini malah digunakan untuk menjalankan bisnis prostitusi. Bukan hanya membuat dirinya sendiri terpuruk tetapi juga mengajak teman-temannya ikut terpuruk bersamanya. Persis seperti para koruptor yang pintar. Pintar membuat strategi, sayangnya strategi untuk mencuri uang rakyat. Bukan hanya membuat dirinya terancam penjara, tetapi juga membuat rakyat menderita selama beberapa generasi. Kepintaran memang seharusnya dibarengi dengan moral yang baik. Akhirnya, masalah seperti ini penting untuk kita bicarakan. Penting untuk kita temukan sumber masalahnya dan solusinya. Ya, kita. Kita semua. Bukan hanya Kak Seto ataupun Komnas Perlindungan Anak. Kita semua yang peduli pada nasib bangsa ini. Kita semua yang bertanggungjawab pada perkembangan generasi penerus bangsa ini, menjadikan mereka sebagai generasi yang pintar. Tetapi ada plusnya. Plusnya yaitu generasi yang pintar sekaligus bermoral.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun