Mohon tunggu...
Paulus Darma Wicaksono
Paulus Darma Wicaksono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencoba menjadi mata untuk berita di tiap sudut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Green Car Tak Mencerminkan Kebutuhan Masyarakat

10 Oktober 2013   09:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:44 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LCGC (Low Cost Green Car) semenjak kemuculannya pada 26 September 2013 di ajang pameran otomotif Indonesia International Motor Show (IIMS) ini, banyak menuai pro dan kontra. Mobil yang diharapkan mampu mendongkrak produksi dalam negeri dan menjadi subsidi untuk rakyat tak mampu ini dinilai tidak mendukung masyarakat. Banyak orang meragukan kebijakan ini karena selain akan menambah kemacetan, mobil murah ini menggunakan bahan bakar pertamax. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin melambung naik ditakutkan justru malah akan menyaingi penghasilan masyarakat sendiri, alhasil mobil murah tidak lagi menjadi mobil murah.

“Pengadaan mobil murah sebaiknya dialihkan dan difokuskan pada transportasi murah seperti di negara Jepang, Singapura dan Malaysia,” ungkap Panji Kumoro, seorang karyawan swasta. Menurut Panji, karyawan sepertinya lebih membutuhkan fasilitas publik yang murah, harga sembako murah, dan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang setara dengan harga kebutuhan pokok. Pemerintah dirasa kurang fokus terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkannya. Jika sudah ditetapkan suatu kebijakan berdasarkan konsensus maka seharusnya mereka mematenkan kebijakan itu dahulu. Kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perindustrian (Menperin) Mohammad Suleman Hidayat ini dinilai kurang matang dalam pelaksanaannya. Jika dilihat, Menperin mengeluarkan kebijakan ini semata-mata untuk mendongkrak ekonomi Indonesia tapi dengan cara yang instan yakni dengan memasarkan mobil dengan harga dibawah 100 juta atau tidak lebih dari 150 juta. “Ada banyak hasil tangan anak bangsa yang membanggakan, kenapa tidak karya mereka saja yang difasilitasi dan dikembangkan,” tambah Panji lagi. Bagi Panji, jika ia memiliki UMP di atas rata-rata, ia tak pungkiri akan membeli mobil murah tapi dengan melihat keadaan jalan yang semakin dipadati kendaraan.

Masyarakat kelas menengah ke bawah seiring kenaikan harga BBM dan meningkatnya kebutuhan pokok melihat LCGC ini tak efektif menjadi solusi peningkatan ekonomi negara. Tiap tahunnya masyarakat Indonesia setidaknya membeli satu unit sepeda motor ataupun mobil. Jika jumlah kendaraan tak mampu di tekan maka tiap ruas jalan tidak lagi mudah dilalui karena padatnya kendaraan. “Untuk Kebijakan mobil murah saya tidak setuju, kalau kita lihat lagi jalanan Jakarta saja sudah begitu padat apalagi di Jogja, sulit bagi saya ketika ingin berangkat kuliah,” ungkap Selfi Sandra Momongan, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini. Selfi mengaku, dirinya sangat kerepotan tiap kali ingin berangkat kuliah karena semakin padatnya jumlah kendaraan tiap tahunnya. Kita tahu bahwa Yogyakarta merupakan kota pelajar dengan banyaknya universitas, tiap tahun kota ini harus menerima ratusan kendaraan baru maupun dari luar kota. “Trasnportasi umum harus di prioritaskan, kalau mobil murah sudah laku di Jakarta, kalau bisa jangan di Jogja karena nantinya Jogja akan bernasib sama dengan Jakarta,” tambahnya lagi. Menurut Selfi, kebijakan ini boleh jalan asalkan kebijakan lain juga di maksimalkan agar seimbang. Kalau produksi nasional ingin ditingkatkan maka produk luar negeri harus dikurangi.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun