Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilangnya Jamaah Surau Tua

26 Maret 2019   04:30 Diperbarui: 26 Maret 2019   05:25 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Allahuakbar Allahuakbar Laillahaillalah" suara azan magrib terdengar dari gubuk yang ditempati Marlina. Setelah menunggu hampir setengah jam suara azan tak kunjung muncul keluar dari pengeras suara surau yang hanya sepuluh langka dar gubuk Inna.

Tampak di kejauhan janganlah suara azan, balon lampu di beranda pun belum di sulut cahaya. Sehingga tampak angker dilihat...atap surau dengan bahan seng itu pun nampak tua dan lama tak di jama tangan warga.

Setelah melihat orang tak kunjung datang ke surau, aku memberanikan diri mengangkat kaki menuju surau seorang diri.

Sesampai di beranda surau kaki terasa menginjak sesuatu yang lembut "ah ampun!" ketus ku dalam hati setelah tau yang ku injak ialah kotoran kambing.

Seketika itu ku edarkan mata ke seluruh lantai di beranda surau dalam kegelapan, nampak kotoran kambing bersileweran memunuhi beranda.

Setelah membersihkan kaki, aku kembali masuk ke dalam surau, "sepertinya di dalam sini tak ada kotoran kambing lagi" benak ku  menyangka saat aku masuk ke dalam ruangan yang masih gelap.

 Kupandangi seluruh ruangan itu, mencari-cari stop kontak lampu. Pandanganku berhenti di dinding pintu masuk tepat di sebelahku berdiri.

Saat lampu sudah disulut seluruhnya aku menjadi terkejut menatap seisi ruangan surau. Kotoran-kotoran cicak di mana-mana, langait-langit surau dengan bahan tripleks berkelupas bergantungan seperi tidak hendak mau di rawat.

Hendak ku menghidupkan mike untuk azan tetapi perasaan mengatakan "suara azan dari surau di tempat lain telah berlalu, lebih baik aku azan tanpa pengeras suara".

Sebenarnya ini pertama kali aku azan di surau, karena sebelumnya di kampung halaman tidak pernah sedikit pun ada pada ku keberanian untuk melaksanakan azan karena tau suara ku tidak enak di dengar dan takut di tertawakan warga.

Selesai ba'dah magrib ku pandangi sekali lagi seluruh ruangan suarau, tak ada orang lain hanya aku seorang di surau, tempat perempuan hanya di batasi dengan papan terbuat dari tripleks setinggi perut juga ikut kosong.

 "mungkin karena surau  yang baru bangun dan megah tak jauh dari surau tua ini jadi warga tak hendak melaksana sholat disini" pikir ku membayangkan sebuah bangunan surau besar yang sore tadi aku lewati.

"Inna" suara perempuan terdengar dari rumah depan memanggil Inna. ''aok ka Yesi" Inna  pun menyahut panggilan dari Yesi dengan dialek khas melayu sambas.

"ajak be biak-biakmu ke sinun, bapak panggil makan same-same" mendengar Yesi mengajak untuk makan bersapa orang tuanya. Aku bersama renaldi, ifan, dan sadik bergabung bersama orang tua Yesi.

"dimana bumi di pijak disitu langit di junjun'' kata-kata filosofi hidup itu keluar daru mulut pak Heri, menasehati kami bertiga saat sedang asik mendengar kisah hidup pak heri yang juga pernah merantau seperti kami.

Setelah sempat terdiam sesaat karena semua mata mengalihkan ke layar televisi, "nak Arif yang tadi azan ya?" tiba-tiba suara pak heri masuk ke telingah ku mengalihkan pandangan ku kembali tepat di kedua matanya.

"aok pak" dengan gaya dialeg melayu sahut ku, setelah di tanya pak Heri, aku lalu teringat peristiwa di surau tadi. Sambil malu-malu aku coba bertanya "masyarakat sekitar surau jarang sholat di surau ya pak?".

"sebenarnya surau itu dulunya begitu ramai jika datang magrib atau isya" sela pak Heri seraya membetulkan posisi duduk. Perkataan pak Heri itu seperti membawanya kepada ingatan masa lalunya.

"hanya karena berbeda paham orang orang lalu tak mau lagi shalat di surau!" tutur pak Heri, kemudian dengan tidak sopan aku lantas kembali bertanya lagi "sebenarnya ada apa pak?" nampak sadik, renal dan ifan ikut terbawa obrolan aku dan pak Heri, wajah mereka pun terlihat serius.

"satu saja, karena bapak berbeda paham soal tahlilan yang tidak harus dilakukan saat ada keluarga bapak yang meninggal, warga lalu menyimpulkan bapak sudah ikut aliran lain yang tidak seragam dengan paham islam masyarakat disini".

Dengan wajah yang terlihat separuh abad lebih, pak Heri begitu serius mengisahkan hal surau tua yang kini hanya di biarkan begitu saja.

"tapi kenapa warga daan shalat di surau" sebelum pak Heri melanjutkan ceritanya aku lantas menyelah karena merasa tidak ada kaitannya surau dengan masalah warga dengan pak Heri.

Sambil meneguk segelas air di depannya ia lalu melanjutkan ceritanya "kalian sudah pernah melewati surau besar di seberang jalan sana?" mendengar pertanyaan pak Heri, kami lalu mengangguk iya.

"surau itu di bangun masyarakat sini karena tidak mau lagi shalat di surau kami ini" seraya tangan kanannya di jatuhkan kembali ke meja setelah menunjuk ke arah surau sebelah rumah, pak Heri lalu melanjutkan "itu karena surau ini di bangun di atas tanah kami yang telah diwakafkan"  

hilangnya jamaah di surau tua mebuat sejumlah kambing menjadikannya sebagai tempat perlindungan saat malam!.

Keimanan di setiap hati warga kini tak hanya menolak keimanan orang lain tetapi semua yang berkaitan itu akan ikut di tolak atas nama iman. Tali silahturami antar masyarakat pelan-pelan dimakan rayap bagai tiang kayu di setiap isi mesjid yang rapuh dimakan rayap.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun