Titik nol, bukan kosong tapi awal aktivitas manusia, matahari mulai mengipas-ngipas pancaran sinarnya di atas kepala. Langkah kaki anak kuliahan, tukang bakso, karyawan, buruh, dan berbagai profesi di mulai dari titik ini.Â
Manggarai nama kelurahan dan stasiun kereta tak lepas dari nama wilyayah di daerah NTT. Â Hilir mudik orang-orang bagai semut, berbaris keluar masuk dalam kereta.
Anak-anak, orang dewasa, tua, semua memulai dari sini, manggarai. Suara anak kecil dari menangis sambil tertawa memadu kepengatan. Datang pada harapan, hanyalah milik jiwa pemberani, menggantung seluruh hidup pada ibu kota. Tanpa tahu masa depan, bukan hanya kenikmatan, keblangsatan pun mengiring di belakang.
Islam, kristen, hindu, budha. Orang alim, maling, psk, koruptor, sampai preman tak lepas dari wajah ibu kota. Maman, wong deso. Meyakini jadi orang sukses di ibu kota, sama dengan orang lain, dia memulai dari manggarai. Ia meyakini berawal dari manggarai akan melahirkan orang-orang sukses.
Rahman, sahabat maman, memperingatkan
 "Ibu kota itu kejam, kamu punya apa untuk masuk jakarta"
"Aku bisa kerja apa saja asalkan bisa sukses" ujar maman.
"Kalau hanya untuk sukses untuk apa koe ke jakarta, di sini juga bisa" balas rahman.
Maman pun di buat terdiam tak mampu menjawab.
"Sudah menjadi keputusanku datang ke ibu kota dengan tekat bulad, tak ada yang bisa melarang kecuali tuhan" sebuah pendapat yang tiba-tiba keluar saat beberapa menit keduanya berdiam diri tanpa suara.
Senja mulai di telan malam, sayup-sayup suara azan dari toa masjid terdengar di kejauhan. Menandai berakhirnya warna jingga di langit jogja. Dengan tergesa-gesa maman mempercepat langkah kakinya. Hampir pukul enam sore, artinya kereta akan berangkat dan maman tak mau ketinggalan kereta ke jakarta. Karena bila terjadi harapannya untuk ke jakarta bisa pupus di perjalanan.