Mohon tunggu...
Hidayatullah
Hidayatullah Mohon Tunggu... Pengacara - Hidayatullahreform

Praktisi Hukum/Alumni Fakultas Hukum UHO

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keadaan Darurat (Declare) Berhentinya Soeharto, Tonggak Awal Reformasi Konstitusi

20 Maret 2022   23:37 Diperbarui: 21 Maret 2022   14:46 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artikel Hukum Tata Negara

oleh : Hidayatullah*

Pengantar

Ketika ekonomi lumpuh maka Indonesia dalam krisis ekonomi. Dari banyak literatur sejarah bangsa-bangsa didunia yang mengalami krisis ekonomi berarti negara itu dalam keadaan darurat atau menggambarkan kondisi ekonomi negara yang menurun secara drastis.

Indonesia pernah mengalami sebuah krisis ekonomi disebabkan oleh krisis moneter atau berkaitan dengan stabilitas keuangan yang melanda negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 sehingga mempengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia yang puncaknya tahun 1998 di masa reformasi. Dampak krisis moneter itu menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap mata uang greenback atau dolar Amerika Serikat ke level Rp 16.000 per dolar AS.

Akibat dampak krisis moneter ini menjadikan Indonesia dalam pusaran krisis ekonomi yang akut berdampak pada krisis multidimensi baik sosial, politik dan keamanan dalam negeri. Runtuhlah kepercayaan moral rakyat dan bangsa terhadap pemerintahan orde baru (Orba).

Rezim otoriter Soeharto akhirnya tumbang akibat dari akumulasi kesengsaraan dan kemelaratan rakyat. Akumulasi pelanggaran HAM berat.

Akumulasi pembantaian umat Islam di tanjung priok 12/09/1984 dengan 400 orang umat Islam tewas dan 53 luka-luka dan sisanya ditangkap dan disiksa. 

Lalu akumulasi kesadisan rezim Soeharto lainnya terhadap umat Islam Losarang Indramayu dimana satu Kampung basis Nahdlatul Ulama (NU) dibakar, Ulamanya dibunuh, masih banyak lagi, hanya tulisan ini tidak fokus pada kasus HAM tetapi pada reformasi kosntitusi.

Kemudian penghilangan aktivis, pemberangusan kebebasan media/pers, pembungkaman atas kritik dan penyampaian pendapat dimuka umum, dan kejahatan kemanusiaan lainnya serta korupsi laten yang melibatkan koncoisme dan keluarga Soeharto yang tidak termaafkan sepanjang sejarah bangsa ini berdiri.

Akibat akumulasi kekecewaan rakyat itulah, maka terjadilan puncak kemarahan rakyat Indonesia lewat suatu people power yang dimotori mahasiswa sebagai elan vital gerakannya menggulingkan kekuasaan otoritarian Soeharto yang memerintah selama 32 tahun.

Berhentinya Soeharto

Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan "pernyataan berhenti" dari jabatan Presiden RI. Berhentinya Soeharto dari tapuk kepresidenan ini hanya berselang dua bulan lebih semenjak 11 Maret 1998 dilantik sebagai Presiden RI untuk periode ketujuh kalinya.

Banyak pihak yang mengaitkan bahwa tanggal 11 Maret 1966 sebuah kilas balik kebangkitan Soeharto pada 56 tahun silam. Bermula dimana Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan keamanan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh PKI (G30S/PKI) yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.

Dengan mandat itu Soeharto seolah mendapat legitimasi untuk leluasa bergerak atas nama Presiden untuk membubarkan PKI dan memulihkan keamanan. Supersemar itu juga Soeharto secara defacto mengambil alih kepemimpinan nasional atau disebut kudeta tak berdarah terhadap Soekarno.

Kemudian 22 Februari 1967, Soeharto resmi secara konstitusional ditunjuk sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor : XXXIII/1967.

Kembali ketanggal 11 Maret 1998, setelah pelantikannya sebagai Presiden RI untuk periode ketujuh, demonstrasi besar-besaran dilakukan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk menentang Soeharto dan Orba-nya. Akhirnya Soeharto dipaksa lengser dari rezim kekuasaanya yang otoriter dan militeristik.

Itulah akhir dari sebuah drama kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden RI kedua yang memimpin sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 atau 32 tahun memimpin Orba.

Pernyataan mundur Soeharto tersebut sebagai tonggak awal dimulainya reformasi konstitusi sebagai sejarah perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia secara fundamental dan signifikan.

Pada saat Soeharto berhenti, konstitusi yang berlaku pada saat itu adalah UUD 1945 sebelum amandemen. Dan memang selama 32 tahun era Orba, UUD 1945 tidak pernah mengalami perubahan atau amandemen.

Kemudian berkaitan dengan berhentinya Soeharto dari Presiden RI masih menggunakan Pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi bahwa "jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya".

Dari kajian konstitusi dan perundangan terhadap ketentuan Pasal 8 UUD 1945 ini hanya terdapat 3 (tiga) alasan berakhirnya jabatan seorang Presiden Republik Indonesia, yakni mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Hanya saja Soeharto mengakhiri jabatan Presiden Republik Indonesia kedua dengan cara "berhenti" secara sepihak dengan cara mengumumkan diri. Padahal seharusnya Soehato sebagai Presiden ketika berhenti sebelum periode berakhir patut dilakukan di depan sidang istimewa MPR disertai dengan pertanggungjawaban selama memangku jabatan Presiden.

Namun ternyata ada sejumlah kendala yang salah satunya gedung MPR/DPR pada saat itu diduduki oleh para demonstran dari seluruh komponen massa gerakan mahasiswa pro-reformasi. Sehingga tidak memungkinkan bagi Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti di depan sidang istimewa MPR.

Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang pada saat itu kerap dimintai pendapat Presiden Soeharto sebelum lengser, memberi pertimbangan kepada Presiden Soeharto, dengan alasan keadaan yang darurat, agar menyatakan (declare) berhenti secara sepihak tanpa laporan pertanggungjawaban dan/atau persetujuan pihak manapun.

Atas usulan Yusril itu Presiden Soeharto menyatakan setuju dengan pilihan kebijakan berhenti sepihak demi stabilitas nasional. Terjadilan peristiwa pernyataan berhenti Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden, Pasal 8 UUD 1945 mengatur bahwa Wakil Presiden secara otomatis menjadi Presiden.

Meski ada kendala prosedural pada waktu itu masih berlaku Tap MPR Nomor VII tahun 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia berhalangan, Wakil Presiden mengucapkan sumpah di hadapan DPR. Jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dilakukan di depan Mahkamah Agung.

Sehingga pada saat itu menurut penuturan Saadilah Mursyid selaku Menteri Sekretaris Negara lalu menghubungi Ketua Mahkamah Agung Bapak Sarwata agar hadir di Istana Merdeka guna menyaksikan pernyataan berhenti Presiden Soeharto dan pengucapan sumpah Wakil Presiden B.J.Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Terhadap mekanisme prosedur yang darurat ini pada akhirnya diakui sah dan konstitusional oleh Mahkamah Agung.

Itulah sekelumit singkat sejarah reformasi bangsa Indonesia ditahun 1998 terkait suksesi kepemimpinan nasional yang kemudian akan mengubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara signifikan dalam bingkai reformasi konstitusi.

Reformasi Konstitusi; Amandemen UUD 1945 

Untuk pertamakali amandemen UUD 1945 terjadi pada sidang Sidang Umum (SU) MPR pada tanggal 14 s.d 21 Oktober 1999. Amien Rais adalah Ketua MPR saat itu. Terdapat 9 dari 37 pasal di dalam UUD 1945 yang berubah. Salah satu point yang krusial adalah perubahan Pasal 7 UUD 1945.

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali. Beleid lama itu mengisyaratkan Presiden dan Wakil Presiden bisa seumur hidup sepanjang memenangkan setiap lima tahun Pemilu digelar. 

Akhirnya aturan ini berubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Amandemen ini membatasi masa kekuasaan Presiden menjadi hanya 10 tahun.

Selain pengaturan pembatasan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, juga penataan kehidupan bangsa dalam bingkai demokrasi yang egaliter dimana kedaulatan rakyat lebih direalistiskan untuk dijalankan menurut UUD bukan lagi menurut MPR.

Begitu pula pemilu digelar secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) ditambah dua asas yakni jujur dan adil (Jurdil) sebagai suatu materi muatan konstitusi yang prioritas diubah dalam amandemen UUD 1945.

Proses perubahan UUD 1945 mengalami empat kali amandemen (sampai perubahan keempat) mulai tahun 1999 s.d 2002 sehingga dinamai menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau disingkat UUDNRI Tahun 1945. Adapun empat kali perubahan tersebut dilakukan dalam masa sidang berikut ini :

  • Perubahan pertama, SU MPR tanggal 14 s.d 21 Oktober 1999, sebagaimana telah diuraikan diatas.
  • Perubahan kedua, SU MPR tanggal 7 s.d 18 Agustus 2000. Di masa sidang ini perubahan mendasar pada konteks desentralisasi pemerintahan. Pasal 18 UUD 1945 dalam amandemen ini lebih mengakomodir bagaimana provinsi, kabupaten, dan kota, memiliki otonomi yang luas dengan mengatur pemerintahan daerahnya  sendiri. Serta Pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui Pemilu. Begitupula Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis. Kemudian, Pasal 19 dalam perubahan UUD 1945 kedua juga mengatur soal Pemilu untuk DPR.
  • Perubahan ketiga, SU MPR tanggal 1 s.d 9 November 2001. Perubahan pentingnya adalah menghapus Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kemudian Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sementara beleid lama Presiden dipilih oleh MPR. Amandemen juga mengatur pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu. Dalam amandemen ini juga merumuskan pelaksanaan Pemilu yang terbuka dengan lahirnya Pasal 22E yang terdiri 6 ayat yang mengamanatkan dibuatnya Undang-Undang tentang Pemilu yang sekarang dikenal dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  • Perubahan keempat, SU MPR tanggal 1 s.d 11 Agustus 2002. Perubahan terakhir ini hanya menyempurnakan beberapa pasal saja. Misalnya, anggota MPR terdiri dari DPR dan DPD.

Sejak diamandemen empat kali itu, konstitusi sudah mengubah struktur ketatanegaraan. Sehingga, tidak ada lagi lembaga tertinggi seperti MPR, dan semenjak itu sampai saat ini Indonesia menganut sistem presidensial yang lebih efektif.

Dengan konstruksi UUDNRI 1945 saat ini, proses check and balance lebih efektif karena tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Sebab, dalam sistem presidensial, semua lembaga berada dalam tingkat yang setara. Termaksud Presiden tidak paling tinggi karena ada proses check and balance dari lembaga DPR dan DPD memiliki sistem yang memungkinkan mereka mengawasi kinerja Presiden beserta kabinetnya.

Dengan konsititusi UUDNRI Tahun 1945 ini merupakan satu langkah maju yang konstruktif dan menunjukkan eksistensi negara Republik Indonesia yang modern, berdasarkan hukum dalam bingkai sistem demokrasi.

Penutup

Demikian ringkasan sejarah berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden yang berkuasa selama 32 tahun Orba yang ditumbangkan melalui people power yang disebut gerakan Pro-Reformasi 1998.

Anugerah dari lahirnya reformasi bangsa adalah "reformasi konstitusi" yang mengoreksi sistem politik, pemerintahan dan ketatanegaraan selama Orba dengan otoritarianisme yang berprinsip kepatuhan buta terhadap otoritas, terlalu mengkultuskan Soeharto sebagai sistem politik yang memusatkan kekuasaan di tangannya dan segelintir elit kecil yang secara konstitusional tidak bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung.

Semoga banyak hikmah yang dapat diintip dan dipetik. Tugas kita generasi saat ini untuk mempertahankan dan melanjutkan agenda reformasi bangsa agar tidak disusupi oleh penumpang gelap dan penumpang gratis di gerbong reformasi bangsa.

Demikian, semoga bermanfaat,

Wassalam, 

Bumi Anoa, 21/03/2022

*Penulis: Anggota Presidium Gerakan Mahasiswa Pro-Reformasi 1998 (GMPR) Sulawesi Tenggara

Referensi;

  • UUD 1945.
  • UUDNRI 1945 Amandemen.
  • Surat Perintah 11 Maret 1966.
  • TAP MPRS Nomor : XXXIII tahun 1967.
  • Tap MPR Nomor : VII tahun 1973.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun