Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Resensi Novel Uwa Ajengan: Perjalanan Cinta KH. Choer Affandi

10 April 2021   17:27 Diperbarui: 11 April 2021   17:52 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena membaca buku ini perasaan saya diobrak abrik sebegitu rupa oleh penulis dengan bahasannya, keren banget pokoknya ketika mendengar nama Choer Affandi. Pokoknya jadi timbul rasa semakin kagum, dan bangga sama beliau.

Meskipun hidup sebagai keturunan menak, namun tidak serta merta membuat Onong Husnen hidup penuh manja. Bapaknya adalah Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba'i bin Nawawi bin Musadad bin Singawijaya bin Muhammad Alfi Hasan bin Muhammad Zain bin Syarifuddin bin Tirtrapraja bin Raden Anggadipa I atau dikenal Dalem Sawidak atau biasa disebut Raden Tumenggung Wiradadaha III, yang jika ditarik ke atas merupakan keturunan Sultan Mataram. Adapun dari pihak ibu,  Siti Aminah binti Marhalah trah Syaikh Rahmat Suci Godog Garut. Jadi dalam dirinya mengalir darah bangsawan dan ulama. 

Novel ini diawali dengan sosok Onong Husnen yang semangat dalam mencari ilmu, hingga digambarkan beliau menjadi santri kelana yang belajar kepada para Ajengan di Jawa Barat, Jakarta hingga Jawa. Onong Husnen belajar kepada KH. Abdul Hamid, KH. Zainal Mushtafa, Ajengan Masluh Legokringgit, KH. Shobir (Pesantern Pani'is), KH. Dimyati (Pesantren Tunagan), KH. Mansur (Pesantren Jembatan Lima Jakarta), KH. Ahmad Sanusi (Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi), KH. Dimyati (Pesantren Tipar Sukabumi), KH. Didi Abdul Majid dan masih banyak ajengan-ajengan lainnya.  Sebagaimana ada sisi kemanusiannya, Kang Fauz Noor mampu menggambarkan sosok Onong Husnen yang senang bermain bola, bahkan berposisi sebagai gelandang dan menyukai pagelaran wayang golek.

Bagian selanjutnya, Fauz Noor menggambarkan sosok Onong Husnen yang menjadi ajengan, dan menjadi tentara serta ikut terlibat dalam perlawanan saat terjadinya agresi militer Belanda. Fauz Noor menggambarkan pula bagaimana terjadinya peristiwa perubahan nama dari Onong Husnen menjadi Choer Affandi, hingga bagaimana Choer Affandi bersama istri, Abdul Fattah harus berjuang ke hutan.  

Fauz Noor mengemas kisah perjuangan dalam karya fiksi. Dengan gagasan yang menarik memadukan antara Islam, pesantren, priangan, dakwah, dan perjuangan membela negeri khususnya Jawa Barat menjadi semakin menarik untuk dibaca.

Terdapat banyak hal yang tidak mungkin, terjadi pada masa itu, yakni karamah orang shalih seperti peristiwa 20 TII yang sudah didoakan oleh KH. Zaenuddin tokoh sepuh Masyumi di Cikatomas, mereka diamanahi untuk pergi ke Tanjung Priuk untuk mengambil senjata bantuan  dari Pakistan. Saat itu mereka melakukan perjalanan dari Tasikmalaya ke Tanjung Priuk, jarak yang biasanya ditempuh beberapa hari dengan jalan kaki, namun saat itu mampu ditempuh hanya dalam waktu setengah hari. Di sisi lain, bagaimana  Choer Affandi juga diperlihatkan hal-hal yang mustahil manusia biasa merasakannya.

Sementara itu, tidak lengkap kalau sebuah buku fiksi tidak melibatkan cerita kisah kasih di dalamnya. Saya sebagai pecinta roman tentu menyukai hal ini. Namun dalam novel ini, penulis belum berani menampilkan bagaimana kisah roman Choer Affandi masa mudanya, inilah salah satu yang dirasa kurang dalam novel ini. Mungkin penulis memosisikan dirinya sebagai santri, inilah salah satu kelebihan santri dalam menulis, dalam menulis pun tetap tidak meninggalkan identitasnya sebagai santri untuk menjaga adab-adab kepada gurunya, apalagi ketika mau menulis yang berhubungan dengan hal-hal pribadi.

Melalui buku ini, saya mendapat informasi baru terkait teka-teki perubahan nama baru Onong Husnen menjadi Choer Affandi, ternyata ada kaitannya dengan Kekhalifahan Turki.

Saat itu Onong Husnen sedang duduk di puncak gunung, ia pun sekarang merasa dikerubungi oleh cahaya. Ini pengalaman pertama. Belum pernah ia menyaksikan cahaya yang terus mendekat dan menggumpal dalam satu ruang yang penuh. Tiba-tibah, ya tiba-tiba, ia menyaksikan dalam cahaya itu ada sesuatu yang bergerak peran membentuk satu lapadz arab. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Empat hurup itu terus menebal dan semakin tebal. Ia berusaha membaca rangkaian hurup itu. Bibirnya bergerak membacanya. Affandi, Affandi, Affandi (Zaman, 2021:131-132).

Dalam bagian yang lain, Ajengan Bunyamin menanyakan tentang perubahan nama tersebut.

"Kang, saya mendengar nama akang sekarang menjadi Choer Affandi?" tanya ajengan Bunyamin, seseorang yang usianya tak jauh berbeda dengan putra Raden Mas Abdullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun