Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Persahabatan KH. Choer Affandi dengan Buya Hamka, M. Natsir, dan Tokoh - Tokoh Masyumi Lainnya

7 Agustus 2020   17:38 Diperbarui: 28 November 2020   08:27 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jejak Persahabatan KH. Choer Affandi dengan Buya Hamka, M. Natsir, KH. Abdullah Syafi'i, KH. Noer Ali, KH. Sholeh Iskandar dan Tokoh - Tokoh Masyumi Lainnya

Oleh :

Tatang Hidayat (Penulis Nilai-Nilai Pendidikan KH. Choer Affandi dalam Jurnal Tadris Vol. 14 No 1 tahun 2019 IAIN Madura )

Syahidin (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja. Ia disebut Dalem Sawidak, yang artinya enam puluh, karena beliau memiliki banyak sekali putra-putri keturunannya sampai enam puluh. Dalem Sawidak adalah keturunan ketiga dari Bupati jalur Sukapura (Tasikmalaya) yaitu keturunan Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Begajing selaku bupati pertama dinasti Wiradadaha. Setelah beliau wafat, digantikan Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1674) (Lestari, Hamijaya, & Kaniawati, 2014: 2).

Dulu setelah kesultanan Sumedang Larang menjadi lemah dengan masuknya Laskar Mataram dibawah Panembahan Senapati di wilayah Priangan Timur, 1595, Raden Suryadiwangsa I sebagai Adipati Galuh Islam berganti kiblat kesultanan dan tunduk kepada Kesultanan Mataram Islam. Hubungan pun dipererat dengan dinikahkannya Raden Suryadiwangsa I dengan seorang putri Panembahan Senopati yang kemudian melahirkan salah seorang putranya, Raden Ngabehi Wirawangsa yang kemudian menjadi cikal bakal Dinasti Wiradadaha (Lestari et al., 2014:2).

Gelar Ngabehi yang tercatat dalam sejarah Sukapura jelas menunjukkan adanya hubungan darah dengan Mataram, karena dalam sejarah Mataram, gelar Ngabehi hanya diberikan kepada keturunan Sultan Mataram walaupun hubungan darah hanya dari pihak ibu. Para bupati Sukapura adalah keturunan Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Begajing selaku bupati pertama dinasti Wiradadaha (Lestari et al., 2014:2-3).

Choer Affandi lahir pada hari Senin, 12 September 1923 M di Kampung Palumbungan Desa Cigugur Kecematan Cigugur Kabupaten Ciamis. Beliau merupakan anak dari pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’ bin Nawawi bin Musadan bin Singawijaya bin Mohammad Alfi bin Mohammad Zen bin Syarifudin bin Tirtapraja bin Wiradadaha III (Dalem Sawidak) yang masih mempunyai keturunan Raja Mataram Islam (Lestari et al., 2014). Raden Mas Abdullah masih memiliki darah Mataram dan juga keturunan menak Sukapura dari Dalem Sawidak ke-33 (Teguh, 2018). Adapun ibunya yakni Siti Aminah binti Marhalan mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut. Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunya kaka yang bernama Husein (Darajat), dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih) (Fattah, 2013:6 ; Lestari et al., 2014:188). Dalam diri Choer Affandi mengalir darah bangsawan dan darah ulama yang tentunya sangat dominan dalam membentuk kepribadian beliau, hal ini terbukti dengan sikap beliau yang sangat tertarik terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan (Murtado, 2015).

Masa Belajar Menjadi Santri Kelana

Ayah Choer Affandi adalah seorang pegawai Belanda, hal itu menyebabkan kekhawatiran tersendiri bagi neneknya yang bernama Haesusi terhadap diri beliau, sehingga setelah beliau menamatkan pendidikan umum di HIS (Hollandcsh Inlandsche School) pada tahun 1936 M (Fattah, 2013:6-7). Setelah menamatkan sekolah dasar, atas permintaan neneknya dari pihak ayah, ia tidak melanjutkan ke sekolah umum, tapi belajar di pesantren mengikuti jejak kakek buyutnya yang mendalami ilmu agama, yaitu Kiai Alfi Hasan.  Tahun 1936, pada usia 13 tahun, ia mulai menimba ilmu di pesantren. Bertahun-tahun Choer Affandi belajar rupa-rupa ilmu agama kepada banyak kiai di berbagai pesantren di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (Teguh, 2018).

Neneknya membujuk Choer Affandi untuk mengaji di Pesantren K.H. Abdul Hamid. Disana Onong Husen (Nama Choer Affandi saat kecil) belajar mengaji selama kurun waktu enam bulan. Kemudian beliau pulang ke Cigugur dan mengaji di Pesantren Cipancur Cigugur. Selesai dari sana, beliau pergi mengaji ke daerah Sukamanah, tepatnya di Pesantren K.H. Zainal Musthafa (Fattah, 2013:6-7).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun