Mohon tunggu...
Hidayah Sunar
Hidayah Sunar Mohon Tunggu... -

pembaca apa saja, pengamat fenomena sosial, pejalan pelit

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masihkah Indonesia Negara Agraris?

4 Desember 2018   07:58 Diperbarui: 4 Desember 2018   10:32 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potensi lahan yang sementara tidak diusahakan di Indonesia cukup besar. Terdapat banyak kemungkinan mengapa lahan itu tidak beralih menjadi lahan pertanian. Salah satunya, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengolah lahan yang sebelumnya tidak diusahakan tersebut sehingga dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Biaya tersebut misalnya adalah biaya pengolahan lahan agar mempunyai tingkat kesuburan yang layak sebagai lahan pertanian, biaya untuk mengakses sumber air untuk pengairan lahan seperti dengan cara pembuatan saluran irigasi atau bahkan pengangkatan air jika lahan pertanian terletak di dataran tinggi. Belum lagi biaya produksi tanaman pangan dan hortikultura itu sendiri seperti pembelian bibit, pupuk, biaya pemeliharaan, biaya pengolahan, dan sebagainya.

Persoalan lain yang turut menjadi penyebabnya, jumlah petani di Indonesia terus menurun. Pada  tahun 2003, jumlah rumah tangga petani mencapai 31 juta lebih, namun sepuluh tahun kemudian (2013) berkurang menjadi 26 jutaan atau berkurang sekitar 5 juta rumah tangga petani karena beralih ke sektor nonpertanian. Tidak menentunya harga jual hasil pertanian di tengah tingginya biaya produksi turut memicu beralihnya rumah tangga petani ke sektor non pertanian yang dianggap bisa memberikan hasil yang lebih pasti.

Sebagai contoh, di Berastagi tanah-tanah pertanian banyak dikuasai perusahaan besar. Masyarakat merasa bahwa bertani tidak lagi menguntungkan. Sementara itu, jika mereka merantau ke kota sementara di daerah asalnya tidak lagi memiliki lahan, mereka tidak lagi memiliki alasan untuk pulang. Lain lagi masalah di Sukawangi, Jonggol. Banyak lahan kosong yang kepemilikannya berpindah ke orang-orang Jakarta. Hamparan lahan dibiarkan tak termanfaatkan hingga tumbuh ilalang.  Sementara penduduk desa itu sendiri sudah tidak lagi memiliki lahan. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bertani kembali adalah dengan menggarap lahan orang. Menjadi buruh tani di tanah kelahiran mereka sendiri.

Jika hal seperti ini dibiarkan terus menerus, Indonesia yang agraris dan hijau hanya akan menjadi sejarah. Ini bukan masalah milik petani kita saja, melainkan masalah kita semua. Petani kita membutuhkan dukungan untuk dapat bertahan menghadapi dinamika dunia pertanian. Dibutuhkan dorongan yang sistematis agar lahan yang belum termanfaatkan dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Selain tentu saja perlu dilakukan pembenahan dalam sistem pengelolaan persediaan hasil pertanian untuk menjaga stabilitas harga.

Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, petani, masyarakat, dan pihak-pihak pendukung yang lain. Salah satu solusinya adalah membuka kesempatan untuk dilakukannya terobosan-terobosan di dunia pertanian. Misalnya dengan memotong rantai distribusi sehingga petani mendapatkan keuntungan lebih besar tanpa membuat harga memberatkan bagi konsumen. Selain itu, upaya mendekatkan petani pada akses terhadap lahan dan modal seperti yang dilakukan oleh Tanijoy, sebuah wirausaha sosial rintisan, perlu lebih banyak dilakukan agar petani yang mendapatkan manfaat menjadi lebih luas pula jangkauannya.

Semoga pada tahun-tahun berikutnya, ketika kita membaca kabar mengenai surplus perdagangan hasil pertanian, itu adalah surplus yang sebenarnya. Bukan penghiburan yang meluputkan kita pada masalah yang belum juga selesai.


Referensi:

Kementerian Pertanian. 2017. Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Surplus USD 10.98 M, tersedia online http://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=2234 

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2017. Statistik Lahan Pertanian 2012-2016, tersedia online http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/download/file/423-statistik-data-lahan-pertanian-tahun-2012-2016 

Republika. 2017. Jumlah Petani Terus Turun Setiap Tahun, tersedia online https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/08/22/ov383r382-jumlah-petani-terus-turun-setiap-tahun 



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun