Mohon tunggu...
Hendra Friana
Hendra Friana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerimis di Tengah Kemarau Panjang

4 Oktober 2015   02:50 Diperbarui: 4 Oktober 2015   02:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Langit masih terang. Motor-motor masih berjejer di pelataran parkir. Sore itu, sekitar pukul lima, kampus belum sepi dari aktivitas mahasiswa. Sebagian hilir-mudik, sebagian lainnya asyik rapat dan kongko-kongko. Ada yang di Joglo, bawah kersen, tubir sendang, dan di tepi jalan. Dari Crop Circle, pekik suara anak-anak Emka pecah, memenuhi udara dan merambat ke mana-mana.

***

Turun dari lantai tiga gedung A, di bawah kersen saya celingukan. Setelah melihat sosok Derry di tepi Crop Circle, sejurus kemudian saya mendekat. “Gimana nih, dra? Crop Circle dipake” tanyanya spontan. “Kita cari tempat lain” sahut saya.

Dua hari sebelumnya, Derry, punggawa sospol BEM FIB itu, mengontak saya lewatsms. Ia mengajak saya untuk memulai kembali Kamisandiskusi rutin yang mengakomodir mahasiswa dari berbagai kalangan—yang dulu pernah ada tetapi hilang kurun enam bulan terakhir. Tentu saja saya menyambut baik ajakan tersebut, karena selain memiliki waktu yang cukup luang, iklim diskusi di kampus berlabel budaya ini terasa sedang kering-keringnya. Bisa dibayangkan, dalam tenggat tiga triwulan, diskusi yang dihelat organisasi maupun mahasiswa independen bisa dihitung dengan jari.

Tanpa panjang lebar, akhirnya kami sepakat untuk menggelar acara pada kamis sore. Konsepnya sederhana, non-tematik, hanya mebincang kampus yang baru-baru ini mengalami hal memiliukan: kehilangan motor dan pelarangan danusan (baca: berjualan).

Publikasi pun dimulai. Pamflet dan jarkom via media sosial disebarkan dengan bahasa yang cukup profokativ. Tak pelak, setelah sampai di hadapan Dekan, publikasi tersebut dianggap agitasi untuk demonstrasi.

Paginya, di hari-H, seorang wanita memberondong saya dengan pertanyaan tentang demonstrasi itu via telepon. Dalam kondisi masih mengumpulkan nyawa, tentunya jawaban saya atas semua pertanyaan adalah tidak tahu. Sembari menyingkap selimut, waktu itu, saya bilang akan mengonfirmasi beberapa menit kemudian—meski akhirnya tidak saya lakukan. Pun begitu ketika saya diminta mengirim nama dan nomer telepon Kabid Kewirausahaan BEM yang disangka ingin mendemo pelarangan danusan. Belakangan baru saya ketahui kalau wanita di ujung telepon tersebut adalah Bu Win, Kasubag UPA.

Pada sambung rasa, mahasiswa memang sudah menyampaikan keluh-kesahnya tentang danusan yang tiba-tiba dihilangkan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Bahkan Bu Win (pelaku penghilangan danusan) yang tak bisa hadir sampai dipaksa hadir untuk menjelaskannya kepada mahasiswa. Alasannya klasik, karena kebersihan dan kampus memang bukan tempat untuk berjualan. Mahasiswa kemudian menuntut disediakanya tempat khusus untuk danusan yang belum terealisasi hingga sekarang. Jadilah isu ini sebagai hal yang hangat untuk diperbincangkan di forum diskusi kamisan.

Saya cukup senang, karena meski harus merelokasi tempat diskusi dari Crop Circle ke pelataran di bawah kersen, acara tetap bisa berjalan. Beberapa mahasiswa yang mendapati pamflet dan jarkoman pun datang dari berbagai angkatan. Mahasiswa yang dulunya pernah terlibat dalam Kamisan seperti Karlingga, Jerry, Dinar, Suci, dan kawan-kawan juga turut hadir. Bak gayung bersambut, jumlah perserta diskusi kian bertambah seiring langit yang mulai temaram.

Meski hanya membahas isu seputar kampus, diskusi tidak lantas menjadi sekam. Enaknya, mahasiswa bisa berkeluh kesah tentang apa saja, bahkan tentang mahasiswa lain sekalipun. Seperti salah satu mahasiswi (anonim) yang mengesalkan lambatnya koneksi wifi gedung A karena digunakan oleh mahasiswa lain untuk menonton video anjing, misalnya.

Di ujung acara, Untung dan Rohmah dari Emka mengingatkan tentang hari batik yang jatuh pada dua Oktober dan menyarankan untuk mengajak mahasiswa FIB mengenakan batik. Tidak lupa juga mereka mengajak berpartisipasi dalam performance Art Emka pada senin (5/10/15) dalam ranka mengenang kematian Salim Kancil—petani dan aktivis anti tambang di Jawa Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun