Mohon tunggu...
Hendra Friana
Hendra Friana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Urgensi Kehadiran Aktivis Anti Korupsi

2 Agustus 2015   11:44 Diperbarui: 2 Agustus 2015   17:23 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepakatlah kita, bahwa kausa dari segala penderitaan rakyat Indonesia saat ini adalah korupsi. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, hingga kematian ibu dan bayi, semuanya berhulu pada satu masalah: Korupsi.

Sejak zaman kolonial hingga sekarang, korupsi menjadi riwayat yang tak ada habis-habisnya di Indonesia. Cita-cita terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa sejak gerakan reformasi 1998, dirasa masih sebatas slogan. Buktinya, di bawah pemerintahan lima Presiden pasca Soeharto korupsi masih menjadi persoalan yang menyandra kehidupan bangsa, malah cenderung lebih parah.

Hal ini dapat kita saksikan dari kian maraknya perilaku koruptif yang bukan lagi hanya terjadi di pusat, melainkan juga daerah. Dalam beberapa kasus terungkap, uang rakyat digerogoti bahkan sejak di pembahasan anggaran. Kementerian Dalam Negeri mencatat, hingga Desember 2014 sebanyak 343 kepala daerah berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian besar karena tersangkut pengelolaan dana daerah. (sumber: Kompas, 19 Mei 2014)

Masih maraknya praktik korupsi di Indonesia juga tercermin dalam survey yang dikeluarkan Transparasi Internasional (TI) 2014 lalu. meski secara peringkat posisi Indonesia meningkat menjadi 107 dari yang sebelumnya ke-114 dari 175 Negara. Namun, Corruption perception index (CPI) Indonesia hanya menyentuh angka 34. Artinya, persepsi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia hanya naik dua poin dibandingkan tahun sebelumnya.

Saya mafhum dan sepakat, bahwa CPI tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi setidaknya, hasil tersebut mengindikasikan bahwa upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia masih amat rendah jika dibandingkan negara-negara tetangga. Di Asia Tenggara sendiri, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor leste (133), Laos (145), serta kamboja dan Myanmar (156).

Ada banyak hal yang menjadi penyebab kurangnya aktifitas anti korupsi di Indonesia. Namun menurut saya, hal ini berpangkal pada satu masalah yaitu apatisme. Ya, apatisme atau sikap tidak peduli memang menjadi patologi sosial yang kerap menjangkiti masyarakat Indonesia khususnya generasi muda saat ini. Celakanya lagi, apatisme bukan saja terjadi pada isu-isu korupsi, tetapi juga ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa apatisme tidak serta-merta hadir begitu saja, melainkan hadir dari kondisi yang diciptakan sebelumnya. Dalam “proses penciptaan” ini lah banyak elemen turut terlibat. Salah satu yang paling penting menurut saya adalah media—yang saya maksud di sini adalah media jurnalistik.

Melalui berita-berita yang ditayangkan, media merepresentasi realitas yang kemudian terakomodasi dalam praktik sosial pemirsanya. Sayangnya, berita yang dilaporkan oleh media-media mainstream saat ini, khususnya televisi, seringkali tidak proporsional. Jika pemberitaan terhadap korupsi di Indonesia dilakukan secara terus-menerus dan tidak dibarengi dengan pemberitaan positif tentang tokoh-tokoh anti korupsi, misalnya, serta tidak ada solusi yang dapat ditawarkan, maka sangat mungkin persoalan korupsi di Indonesia berujung pada pemakluman. Pemakluman inilah, menurut saya, yang acap kali terwjawantah menjadi apatisme.

Menggalang Kepedulian

Pemuda yang jumlahnya mencapai 62,6 juta merupakan aset bangsa, yang jika tidak dikelola dengan baik akan juga masuk ke dalam lingkaran setan korupsi di masa mendatang. Oleh sebab itu, peran pemuda menjadi sangat penting dalam upaya memerangi korupsi di Indonesia, khususnya dalam ranah pencegahan. Di sinilah urgensi hadirnya pemuda sebagai aktivis, pejuang, atau mungkin jihadis anti korupsi.

Dengan semangat voluneterisme, pemuda harus berkiprah untuk memutus lingkaran setan korupsi yang selama ini membelenggu Indonesia dengan menjadi pejuang, aktifis atau jihadis anti korupsi. Tak perlu muluk ilmu untuk menjadi yang demikian. Cukup mulai dari diri sendiri dengan menjadi pribadi yang peduli dan anti korupsi. Setelah itu, ajak sebanyak mungkin orang di sekitar untuk melakukan hal yang sama.

Dalam menggalang kepedulian dan mempropagandakan nilai-nilai anti korupsi, agar tidak monoton dan membosankan, banyak hal yang bisa dilakukan pemuda. Misalnya dengan memberikan sentuhan seni dan ide-ide kreatif dalam mengampanyekan sikap anti korupsi. Salah satu contohnya seperti yang dilakukan perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Awward dan Band Simponi. Mereka mendatangi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk melakukan diskusi musikal anti korupsi sekaligus mengampanyekan sikap anti korupsi yang mereka teladani dari sosok Bung Hatta, proklamator dan mantan wakil presiden pertama RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun