Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kapitalisme yang Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita

15 Januari 2020   19:10 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:25 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapitalisme terkait dengan penanaman modal swasta yang bertujuan untuk meraih keuntungan dengan mengelola dan mengendalikan aset sesuai dengan keinginan. Definisi dirangkum dari berbagai sumber dan bukan hasil karangan saya sendiri. Mungkin ini bukanlah definisi yang benar-benar tepat tetapi paling tidak memberikan gambaran umum tentang kapitalisme. Jika Anda memiliki definisi yang lebih tepat, silakan menuliskannya di kolom komentar. 

Apakah kapitalisme bisa mempengaruhi pendidikan?

Ini pertanyaan yang masuk ke inbox saya beberapa hari yang lalu; sederhana, tetapi menggelitik. Orang langsung akan mengarahkan pikirannya ke sekolah swasta. Manajerial sekolah swasta, seperti perekrutan pegawai, standar gaji, dll. ditangani oleh pemilik dan pengelolanya. Beberapa hal mendasar dikelola pemerintah seperti kurikulum, UN, dll. Walaupun ada juga sekolah swasta yang tidak menggunakan kurikulum nasional, sebenarnya mau tidak mau ada bagian dari kurikulum nasional yang harus diadopsi.

Kapitalisme dalam arti sempit

Ketika kapitalisme diartikan sebagai pengelolaan aset untuk meraih keuntungan, maka pendidikan bukanlah lahan yang cantik. Ada regulasi pemerintah yang membuat asas pengelolaan ini tidak sebebas pada industri lainnya. Jika dikaitkan dengan meraih keuntungan, maka sebenarnya ada hal yang kurang pas.

Setahu saya, sekolah swasta yang mengandalkan pemasukan dari uang sekolah harus tetap mencari sumber keuangan lain untuk mengembangkan sekolahnya. Uang sekolah mungkin masih cukup untuk proses operasional sehari-hari seperti gaji pegawai, listrik, air, telepon, dll.

Namun, pembangunan gedung baru, pembaruan sarana dan pra-sarana sekolah, dan urusan pelatihan bagi pegawai harus mengandalkan sumber lain seperti donatur dan uang pembangunan.

Pemilik modal dan profilnya

Dari sudut pandang kapitalisme, tentu ada yang namanya pemilik modal yang ikut menanamkan modal di sana. Para pemilik modal ini merasa punya kontribusi dan berharap meraih keuntungan, bila perlu setinggi mungkin.

pixabay.com
pixabay.com
Pertama, yayasan sebagai pemilik sekolah secara komunal atau orang pribadi. Sebuah yayasan didirikan seharusnya bukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk mendukung program-program yang sifatnya charity, seperti memberikan beasiswa, mengelola dan mengembangkan bakat anak, memajukan pendidikan, dll.

Jadi, ketika ada yayasan didirikan sebagai pintu untuk menambah pundi-pundi, maka ada sesuatu yang harus dipikirkan lagi.

Bagaimana dengan keinginan seseorang untuk punya 'bisnis' sekolah?

Dengan kondisi di Indonesia saat ini, saya agak ragu dengan tujuan seseorang mendidikan sekolah untuk lahan bisnis. Keberadaan persaingan antar siswa dan sekolah, model ujian yang mengedepankan kecepatan dan ketepatan, dan keinginan mendapatkan nilai tinggi, maka sebenarnya bisnis LBB lebih menjanjikan.

Sekolah harus berhadapan dengan regulasi pemerintah seperti kurikulum, akreditasi, standar kompetensi guru, SKM, dll. Coba bandingkan dengan mengelola LBB. Tidak ada urusan sama sekali dengan pemerintah, kecuali urusan pajak.

Menurut saya, ketika masyarakat tidak menekankan adanya persaingan, model ujian tidak lagi mengedepankan kecepatan dan ketepatan, dan hasrat untuk meraih nilai tertinggi sirna, maka LBB juga akan pudar dengan sendirinya.

Saya justru menduga, hal-hal di atas dipelihara supaya keberadaan LBB menjadi sesuatu yang penting, bahkan lebih penting dari sekolah. Ini dugaan saya lho! Bisa benar, bisa salah...

Keinginan yayasan atau orang pribadi untuk membanggakan sekolahnya sebagai sekola terbaik bisa mengacaukan proses pembelajaran di sekolah.

Proses belajar dikacaukan dengan berbagai aturan yang menguntungkan sekolah, seperti pemberian remediasi untuk mereka yang gagal dalam ujian tanpa melihat alasannya. Nilai yang diperoleh siswa pasti tidak mencerminkan hasil evaluasi yang sesungguhnya.

Selain itu, siswa tidak diajarkan untuk berjuang dan menyiapkan diri dalam ujian karena kalau gagal pasti ada remediasi. Siswa tidak diajarkan arti tanggung jawab yang menjadi salah satu hal penting ketika terjun ke masyarakat. Siswa tidak disadarkan bahwa kesempatan kedua belum tentu selalu ada di dunia nyata.

pixabay.com
pixabay.com
Kedua, orang tua juga merasa sebagai pemilik modal melalui uang sekolah dan pembangunan yang disetorkan. Paradigma ini tidak selamanya benar, tetapi telah begitu mengakar di benak banyak orang tua.

Akibatnya, ketika anaknya mendapatkan nilai di bawah harapannya, orang tua merasa berhak mendatangi sekolah untuk mendapatkan klarifikasi.

Bahkan tidak berhenti sampai di situ, ada beberapa oknum orangtua yang mengancam mengeluarkan anaknya dari sekolah tersebut jika sekolah tidak mampu memberikan nilai sesuai harapannya. Ada sekolah yang menekan guru untuk memberikan nilai yang 'tepat' supaya orangtua tersebut mengurungkan niatnya. Sekolah takut kehilangan siswa dan dukungan orangtua tadi karena ternyata orangtua tersebut juga menjadi donatur besar di sekolah.

Setahu saya, menjadi donatur itu adalah pilihan mulia dan tidak menuntut keuntungan apa-apa.

Dari sudut pandang inilah, saya bisa mengatakan bahwa kapitalisme punya pengaruh kuat terhadap pendidikan. Proses belajar mengajar bukan lagi diarahkan pada proses perubahan pola pikir siswa, melainkan semata-mata mengacu pada keinginan 'pemilik modal'.

Prinsip ekonomi dalam sekolah?

Pola pikir orang Indonesia yang mencari sekolah semurah mungkin dengan kualitas setinggi mungkin bisa jadi mematikan sekolah swasta yang dianggap kurang bermutu. Ya... urusan mutu sekolah memang bisa diperdebatkan, seperti pada artikel Predikat Sekolah Terbaik, Masih Relevankah? Oleh karena itu, cukup berat mendirikan sekolah swasta baru.

Meraih keuntungan dari bisnis sekolah sepertinya mustahil dilakukan, kecuali sekolah tersebut menarik uang sekolah dan pembangunan yang tinggi dan melakukan banyak penghematan.

Selama penghematan tidak mengganggu hajat hidup guru dan keluarganya, itu merupakan keahlian biro keuangan sekolah dalam mengelola keuangan.

Tatkala penghematan itu ternyata memengaruhi gaji guru dan fasilitas penunjang proses pembelajaran, maka sekali lagi kita melihat dampak dari kapitalisme terhadap dunia pendidikan.

Seorang konsultan manajemen sekolah pernah bercerita kepada saya beberapa tahun yang lalu. Beliau menerima keluhan dari seorang pemilik sekolah tentang kesulitan mencari guru untuk sekolahnya.

Pendek kata, pemilik sekolah tersebut diminta untuk menjadi guru selama beberapa hari dan kesimpulannya luar biasa. Si pemilik sekolah berkata bahwa ternyata menjadi guru tidak semudah yang dibayangkannya.

Selama ini dia hanya membayangkan betapa mudahnya menekuni pekerjaan sebagai guru sehingga tidak memperhatikan proses penggajian yang tepat. Pengalamannya menjadi guru beberapa hari telah memberikan sesuatu yang berharga.

Penutup

Di negara maju, hampir semua sekolah berada di bawah pengelolaan pemerintah. Sepertinya, hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kapitalisme terhadap dunia pendidikan. Ironisnya, jumlah sekolah swasta di Indonesia jauh lebih besar daripada sekolah negeri.

Memang, sekolah swasta muncul sebagai respon terhadap pengelolaan sekolah negeri yang dianggap berat sebelah dan tidak memberikan prioritas yang sama kepada semua anak bangsa.

Ketika para 'pemilik modal' masih menganggap kontribusinya sebagai bagian dari hak untuk mengendalikan proses pembelajaran di sekolah, maka situasi ini tidak akan membaik. Mungkinkah ini terjadi? Mungkin, ketika masing-masing kita mau memulainya!

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun