Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tatkala Logika Berbenturan dengan Hukum

6 September 2018   21:26 Diperbarui: 6 September 2018   21:41 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tokobukuhukum.com

Mengapa perlu dibuat aturan (dalam bahasa yang lebih resmi: hukum)? Sebuah pertanyaan reflektif yang perlu kita jawab bersama. Menurut saya, aturan (baca: hukum) dibuat karena ada orang yang tidak tahu aturan. Dari mana aturan itu berawal? Dari norma masyarakat. Keberadaan orang-orang semacam ini akan merugikan mereka yang tahu aturan (baca: taat hukum), sehingga perlu ada sebuah konsekuensi dari ulahnya itu. Contoh, semua orang tahu bahwa mencuri itu perbuatan yang salah. 

Tanpa adanya hukum pun, kita semua sudah mengetahui hal ini. Sehingga jika semua orang mengikuti norma tersebut, maka tidak perlu ada aturan (hukum) yang mengatur masalah pencurian. Oleh karena ada oknum yang melanggar norma itu, maka perlu dibuatkan aturan (hukum) agar memunculkan sifat 'keadilan' dalam masyarakat. Paling tidak, mencuri satu ekor ayam tidak akan mendapat hukuman seberat mencuri ayam satu kandang. 

Secara ontologi, ketidaktaatan manusia kepada norma adalah akibat dosa. Dosa telah membuat banyak perubahan di dunia ini sehingga manusia bukanlah lagi mahluk yang sempurna. Roma 3:23 menuliskan bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Hal ini menyiratkan bahwa manusia tidak lagi pada kondisi saat ia diciptakan; semua, tanpa ada pengecualian. Akibatnya, manusia yang terbaik, tertulus, terhormat, dan ter-ter lainnya tetap merupakan manusia yang berdosa. Konsekuensinya, hasil pemikirannya pun tercemari oleh dosa, sehingga pasti tidak sempurna.

Namun, masih ada tersisa dalam diri setiap manusia sisi kebaikannya sehingga hati nuraninya akan berontak ketika ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma di masyarakat. Ini sisi yang harus terus dijaga, karena pengabaian terhadap hati nurani akan menumpulkannya. Tanpa hati nurani yang tajam, tak seorang pun bisa bertahan di tengah-tengah masyarakat yang bengkok ini.

Ketajaman nurani sebenarnya juga berimbas pada kemampuan seseorang mempersepsikan (menanggapi) sesuatu. Mereka yang tumbuh besar di lingkungan yang menganggap bahwa mencuri itu sesuatu yang wajar, pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan mereka yang tumbuh besar di lingkungan yang mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang melawan norma masyarakat. Perbedaan persepsi ini bisa menimbulkan deretan akibat yang tidak sedikit.

Salah satunya adalah perbedaan persepsi antara KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu terkait dengan caleg  dari eks koruptor. Harus kita akui bersama bahwa anggota KPU dan Bawaslu adalah manusia yang berdosa dengan segala konsekuensinya, termasuk perbedaan persepsi. KPU menggunakan Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 sebagai dasar pelarangan mantan terpidana korupsi untuk "nyaleg". 

Taufik sebagai salah satu mantan terpidana korupsi merasa bahwa PKPU ini menyalahi UU Nomor 27 tentang Pemilu. Hal ini membuatnya mengajukan gugatan ke Bawaslu dan akhirnya Bawaslu meloloskannya. 

Sontak publik bereaksi keras terhadap hal ini. KPU pun bersikap dan mengabaikan rekomendasi Bawaslu. Singkat ceritanya, KPU, Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) sepakat menantikan keputusan MA, sehingga mereka punya dasar hukum yang kuat.

Di satu sisi, ini memang sebuah keputusan "sela" yang bisa dibilang tepat. UU dan peraturan yang mengatur hal tersebut memang sedang mengalami gugatan di tingkat MA sehingga menunggu keputusan MA bisa dibilang tepat. Namun, di sisi yang lain, saya melihat bahwa masing-masing pihak ingin berada di posisi yang aman dan mendesak MA untuk segera memutuskan. Ya... seperti lempar bola ke tempat lain.... Jadi, sekarang ini bola sudah di tangan MA dan itu berarti MA akan menjadi sebuah institusi yang akan mengalami lobi-lobi tingkat tinggi. Itu berarti, ketiga lembaga tersebut juga sedang memindahkan kemungkinan terjadinya lobi tingkat tinggi di masing-masing institusi.

Bagi saya yang awam dengan hukum, masalah ini sebenarnya tidak terlalu rumit berdasarkan apa yang saya cantumkan di awal tulisan ini: HUKUM DAN ATURAN TIDAK DIPERLUKAN JIKA SEMUA ORANG MENGIKUTI NORMA MASYARAKAT. Mungkin ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, jadi semuanya harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Saya setuju! Namun, apa yang saya cantumkan di atas adalah kondisi tatkala hukum dan aturan pertama kali dibuat karena ada oknum yang tidak mengikuti norma masyarakat sehingga merugikan orang lain, bukan saat hukum sudah dibuat!

Logika sederhana saja, apakah Anda akan mempercayakan sejumlah uang untuk dikelola kepada seorang fund manager yang pernah mencuri uang Anda sebelumnya? Sebagai fund manager, bukankah dia adalah orang yang sedang mewakili Anda dalam berinvestasi? Alih-alih menginvestasikan uang Anda, dia malahan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Apa yang Anda rasakan dan pikirkan saat Anda memergoki perbuatan tercelanya itu? Biasa-biasa saja? Senang dan gembira? Sedih bukan kepalang? Marah? Untuk perbuatannya yang tidak terpuji itu, orang tersebut harus menanggung akibatnya. Beberapa tahun kemudian, dia datang kepada Anda dan menawarkan diri menjadi wakil Anda dalam dunia investasi (baca: fund manager).

Rasanya jika orang tersebut mendatangi 100 orang, maka ada 101 orang yang akan menolak permohonannya. Mengapa yang menolak lebih banyak? Karena ada orang lain yang pernah mendengar kasusnya dan menyarankan kepada mereka yang didatangi untuk menolaknya.

Hanya saja, mohon maaf... sekali lagi mohon maaf. Masih banyak anggota masyarakat di Indonesia yang tidak memiliki wawasan yang luas. Banyak orang menduga bahwa politisi busuk memang memelihara kebodohan di Indonesia supaya mereka tetap bisa berjaya. Berapa banyak orang yang telah tertipu dengan janji manis para calon kepala daerah atau caleg, lalu pada akhirnya harus menelan pil pahit karena janji-janji tinggal janji semata? Namun, pengalaman itu tidak juga membuat mereka mengerti bahwa mereka telah ditipu dan akan siap ditipu untuk kesekian kalinya.

Bukankah agama pun telah dipolitisasi untuk kepentingan politik? Mengapa jualan agama dalam politik masih laku? Karena memang (mohon maaf) kebodohan itu dilestarikan untuk kepentingan para politisi busuk!

Masalah pelarangan mantan napi korupsi untuk "nyaleg" sebenarnya lebih diarahkan pada membantu mereka yang sering ditipu dengan janji manis politisi. Masalahnya adalah para caleg dari eks koruptor ini selalu menemukan cara untuk bisa mengelabui orang lain.

Bagaimana jika orang tersebut berkata bahwa dia sudah bertobat? Sederhana saja, bagaimana dia bisa membuktikan? Apakah seorang pengguna narkoba yang bertobat tidak diampuni dosanya? Diampuni! Tetapi dampak dari perbuatannya terhadap tubuhnya tidak bisa dihilangkan. Itu sudah menjadi resiko yang harus ditanggungnya. Apakah seorang penganut seks bebas yang bertobat secara otomatis akan menyembuhkannya dari AIDS yang diderita akibat perbuatannya? Tidak!

Peribahasa lama mengatakan, SEKALI LANCUNG DALAM UJIAN, SEUMUR HIDUP ORANG TIDAK AKAN PERCAYA. Apakah kita masih mengerti makna dari peribahasa tersebut?

Jadi, secara logika sudah jelas bahwa caleg eks koruptor tidak layak untuk mencalonkan diri sebagai WAKIL RAKYAT. Logika sederhana pun sudah bisa mementahkan keinginan mereka. Hanya saja, logika sederhana ini (mungkin harus) mengalah atas nama hukum. 

Saya berdoa supaya MA, yang diisi oleh orang-orang berpendidikan dan mengerti tentang hukum, bisa memberikan keputusan yang tepat. Saat ini bola ada di tangan mereka. Apa pun keputusannya, dampaknya akan dirasakan dalam 5 tahun ke depan, bahkan selamanya saat tidak ada gugatan sejenis yang dimasukkan. Saya bertanya dalam hati, apakah masyarakat Indonesia masih bisa berharap pada hukum yang benar-benar ditegakkan dengan bertanggung jawab? Betapa sedih hati ini tatkala melihat justru para penegak hukum mempermainkan hukum.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun