Seiring berkembangnya zaman, lahirlah generasi baru dalam dunia parenting. Yup! betul sekali, orang tua Gen Z. Mereka adalah generasi yang lahir antara akhir 1997-an hingga awal 2000-an, yang kini mulai memasuki masa menjadi orang tua—khususnya orang tua murid di jenjang PAUD dan SD. Nah, menariknya, generasi ini tumbuh di era digital, berpikir kritis, dan punya gaya komunikasi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sebagai orangtua, tentunya Gen Z mulai familiar dengan istilah komite sekolah. Yaitu, Sebuah lembaga yang selama ini menjadi jembatan antara sekolah dan wali murid. Lalu, bagaimana pendapat orang tua Gen Z soal komite sekolah? Masih relevan, kah? atau perlu di adaptasi? Yuk, kita bahas.
1. Lebih Melek Informasi dan Transparansi
Orang tua Gen Z cenderung ingin tahu lebih dalam tentang bagaimana anggaran dan kebijakan sekolah dijalankan. Mereka tidak segan bertanya dan menuntut transparansi dari pihak komite sekolah. Bukan karena curiga, tapi karena mereka terbiasa dengan budaya open source dan sistem terbuka sejak kecil. Bagi orang tua Gen Z, “Kalau bisa tahu sedetail-detailnya, kenapa harus tebak-tebakan?”
2. Mendukung Kolaborasi, Asal Tidak Kaku
Gen Z terkenal dengan semangat kolaboratifnya. Sebagai orang tua, tentunya mereka tetap mendukung keberadaan komite sekolah, asal prosesnya tidak terlalu birokratis atau kaku. Mereka ingin dilibatkan sebagai mitra aktif, bukan sekadar donatur pasif.
3. Alergi dengan Sistem yang Terlalu Formal dan Hierarkis
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung menerima sistem hierarkis, orang tua Gen Z lebih nyaman dengan struktur yang fleksibel dan setara. Mereka merasa komite sekolah akan lebih efektif jika dikelola secara partisipatif, bukan top-down. Forum diskusi yang hangat dan terbuka lebih mereka sukai ketimbang rapat formal yang terlalu “serius”.
4. Menginginkan Peran Komite yang Lebih Digital-Friendly
Generasi ini sangat akrab dengan teknologi. Jadi jangan heran kalau mereka berharap komunikasi dengan komite sekolah bisa dilakukan via grup WhatsApp, Google Form, atau bahkan media sosial. Karena mereka ingin proses pengambilan keputusan bisa diakses dan diikuti tanpa harus selalu datang langsung ke sekolah. “Zaman sudah digital, masa iya urusan sekolah masih 100% manual?”
5. Prioritaskan Dampak, Bukan Sekadar Formalitas