Mohon tunggu...
Kristian Repi
Kristian Repi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sama halnya mengobati kepikunan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Derita Menyambut Malam Tahun Baru 2014 di Bundaran Hotel Indonesia (HI)

2 Januari 2014   00:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:15 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Melewati Pesta kembang api yang panjang, tidur yg panjang dan bangun dengan tubuh yg dipenuhi Belerang"

Sangat "Nyenyak" orang beristirahat setelah usai pesta Tahun baru. Walau lupa membersihkan diri dari belerang, tidur panjang di siang hari adalah alasan betapa energi terkuras "habis" akibat reaksi beberapa hormon.

Hormon kebahagiaan, hormon sukacita, hormon harapan, dan hormon kelelahan.

Banyak orang berpikir, tempat yg "asik" buat merayakan pesta tahun baru, sangat tepat kalau di tempat ramai. "maaf, kalo saya tidak !"

Mungkin, layar tv menggambarkan betapa bersukacitanya manusia saat itu. Ada yg "joget", cengingisan, berpasangan, menjual belahan paha, belahan dada, dan memamerkan kekayaan.

Di layar tv juga, pasti orang mengira, kontras bundaran Hotel Indonesia (HI) begitu super "wah". Kenyataanya, memang demikian. Toh tidak ada lensa kamera yg tertarik dengan kondisi suram saat menjual situasi "menjual". Saya pikir, siaran di tv saat itu, pilih kasih.

Sisi lain dari keindahan malam tahunbaru di bundara HI, ada tragedi adu otot dan mulut. Menembus situasi ramai itu tidak lah "enak". Tahu kah Anda, andrenalin akan berteriak ketika desak-desakan antara arus maju dan arus balik bertemu.

Sialnya, Saya berada di posisi tepat di pusarnya. Bayangkan, apa rasanya jika kaki di injak, pantat di tendang, dan kepala terpintal bak bola basket. Bersyukur bagi yg tingginya di atas rata2, udara masih dapat dijangkau, namun betapa celakanya kalau Anda berpostur "ceper". Jamin, Anda akan merasakan betapa berharganya oksigen yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pencipta.

Desak-desakan juga membawa keberuntungan bagi para lelaki “cabul”. Saya bingung, “kok” bisa ada yang berbinar-binar kagum dengan kondisi yg terjepit ? Dari kondisi itu lah saya bisa mengambil kesimpulan, sebagian lelaki akan bangga kalau ada anggota tubuhnya menyentuh daerah rawan kaum hawa. Dan beruntungnya, wanita akan lupa kalau tekanan yg menghimpit daerah suci mereka bukan karena unsur ketidak sengajaan, tapi, hasil dari pikiran yang terencana.

Dalam memecahkan masalah, situasi terhimpit juga melatih orang tuk kreatif berbohong. Contohnya, dusta orang pingsan. Cara seperti itu, berhasil.

Skenario mereka cukup mudah. Salah satu anggota tim harus pingsan, dan memilih tokoh penyelamat dengan postur yang lekukanya bulat. Tujuannya, jika ada yang menghalang, di jamin, dengan terpaksa ia akan melempar orang yg menghalanginya. Saat orang marah, si tokoh penyelamat akan berteriak “Maaf, ini demi keselamatan manusia”. Mungkin, cara ini tidak jauh berbeda dengan mobil jenazah dan raja lalu lintas. Saat jalan macet, jurus klasik ini akan dipraktekan. Skandal di atas berdasarkan lelucon sahabat saya yg notabennya bekerja di jasa seperti itu. Yah, begitulah.

Betapa penatnya tubuh kecil ini. Apa lagi harus melihat di depan saya ada seorang ayah, berupaya melindungi anak perempuannya. Tak tega melihat buah hatinya yang tidak berdaya, beku, penuh keringat. Sembari memberi penguatan dan harapan, seorang ayah berbohong “Sayang, tinggal beberapa langka, kita sampai”.

Mendengar bisikan perkataan bapak, saya terjangkit yakin seperti anak kecil itu. Ketika melonjak, saya membatin “dek, kita tertipu oleh perkataan bapak mu” tidak ada posisi nyaman, kemacetan umat manusia di lingkaran bundaran HI ini tidak terkendali. Mendapatkan lokasi longgar adalah harapan yg sia-sia.

Melihat sinar laser hijau menari di gedung yang terproyeksikan detik-detik tahun baru, menunjukan, tinggal sepuluh menit lagi. Oh.. Tuhan, jangan sampai malam penyambutan Tahun 2014 berakhir di tengah2 gelombang desakan dan keringat menyengat. Sungguh, tak nyaman harus terjepit tanpa spasi serupa biscuit yang terbalut dalam kemasan. Di tambah lagi, bau alami umat manusia menggantikan wangi baju baru ini. Desakan itu juga yang mengubah sweter yang tadinya berwarna putihmenjadi cokelat muda.

Dan ketika semua mata terfokus pada dinding penunjuk waktu, situasi menjadi lebih runyam.

Kepanikan semakin menggila. Sepertinya, orang-orang ini sudah sama pemikirannya dengan saya. Mereka sadar, Tahun baru tinggal beberapa putaran jarum panjang akan menujukan kehebohan. Pesta puncak kembang Api tinggal beberapa menit lagi. Sedangkan kami, masih berupaya mencari posisi nyaman.

Alhasil, banyak orang berlomba memanipulasi situasi. Entah sekedar humor atau mungkin efek dari betapa “jengkelnya” harus berdesakan seperti itu.

“Tolong buka jalan, ada Ibu hamil mau lewat” tak mau kalah, anak muda di samping saya menyindir,“Ia, capat buka jalan, Nenek saya lagi hamil tua”.

Sebagian terkekeh, dan sebagiannya merintih. Tandanya, siklus emosi labil untuk ukuran normal.

Saya tak berdaya. Berharap, ada hikma dibalik peristiwa ini. Tadinya berpikir, menikmati malam tahun baru di bundaran HI adalah sukacita besar, kemewahan untuk diceritakan pada keluarga dan teman-teman yang mungkin lagi “nonton” melihat betapa indahnya berada di sekitaran ikon ibu kota Negara. Tak terbantahkan, menderita kalau Anda berada di posisi saya.

Apalagi harus terpisah dari sahabat lainya.Tadinya, saya datang dengan beberapa teman. Mereka hilang akibat desak-desakan. Semua wajah tampak sama. Zona darurat ini menghasilkan bentuk wajah yang sulit untuk dibedakan. Wajah sengsara. Pandangan menjadi lebih kabur ketika di hujani belerang kembang api. Tak tahu lagi kemana mereka menepi. Yang ada, hanya SMS yang tiba2 menginformasikan keberadaan mereka. Bukannya panik, malah saya tertawa membacanya. “Bro, lagi di mana ? saya di apit oleh sekelompok ‘bencong’”.

Waktu semakin “mepet”. Tulang-tulang saya terasa seperti keripik. Tak bisa lagi membalas SMS untuk memberi tahu letak di mana saya benar tersiksa. Toh, saya pun bingung, taka ada tanda strategis untuk mematok lokasi.

Terpisah dari sahabat, terjepit di antara orang-orang yang tersesat, tangan tak lagi bergerak, kaki membeku kaku, dan hanya mata yang bisa bergerak seperti hantu. Dan seperti kebanyakan orang, saya pun harus relah mengikuti teriakan ritual setiap malam tahun baru datang. Dengan sedih, bibir pun ikut berkedap kedip “Lima, Empat, tiga, dua, satu”…….. Pung…. Pang... tas… tus…

Saya pun terbatuk-batuk, meneteskan air mata. Bukan karena jauh dari orang tua, bukan karena terpisah dari sahabat, apalagi harus sedih berada di tempat ramai seperti ini, tapi satu hal yang pasti, ledakan kembang api menghujani kami dengan asap yang berdampak “sesak napas” dan mata pun dicemari oleh belerang yang terbang tanpa memandang korban.

Tahun Baru Di bundaran HI adalah momen yang penuh dengan kepasrahan

Pesan moral bagi saya :

Yang pantas di syukuri dalam memasuki tahun baru adalah bukan tempat, bukan kemewahan, bukan keindahan kembang api, tapi bersyukur masih bisa bertahan ketika melewati rintangan.

“Selamat Tahun Baru 2014” (Maaf, saya lupa mengatakan kalau sempat ambil gambar ketika situasi mulai longgar. :)

[caption id="attachment_287637" align="aligncenter" width="210" caption="Doc. Heski Hendom. Menjelang Malam Tahun baru 2014 di Bundaran HI "][/caption] [caption id="attachment_287635" align="aligncenter" width="302" caption="Bundaran HI ketika Malam tahun baru 2014"]

1388597838526771048
1388597838526771048
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun