Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tiga Alasan Jokowi Layak Dipilih Kembali

14 April 2019   11:37 Diperbarui: 14 April 2019   11:51 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai petahana, dengan kinerjanya selama ini berpeluang besar terpilih kembali. Sumber foto: kompas.com

Pilpres yang berbarengan dengan pileg akan dilaksanakan 17 April nanti. Inilah ajang pesta demokrasi terbesar dan terunik di dunia. Adalah suatu anugerah terbesar manakala rakyat bisa memilih secara langsung presiden (selaku kepala pemerintahan dan negara) dengan rasa suka cita.

Pada kontestasi pilpres kali ini merupakan tanding ulang (rematch) pilpres 2014 lalu. Tetap dua paslon: Jokowi lawan Prabowo, hanya berbeda pada pasangan wakil presidennya. Jokowi sebagai petahana akan mempertahankan diri apakah masih dipercaya rakyat untuk kali kedua, ataukah justru Prabowo nanti yang akan menggantikannya.

Namanya juga "pertandingan", tentu harus ada kalah dan menang. Rakyat yang secara akumulatif sebagai jurinya akan menentukan nasib kedua tokoh itu. Dan begitu pentingnya suara rakyat itu, yang dalam pemilu tersebut rakyat menunjukkan kuasanya.

Pilihan hanya dua dan itu simpel, pilih 01 atau 02. Dan segala pilihan itu, punya pandangan dan alasan tersendiri bagi para pemilih. Sebaik-baiknya pilihan itu tak sekadar menonjolkan aspek suka atau tak suka (subjektif), tetapi kepada alasan yang rasional berkenan dengan rekam jejak (track record) yang akan dipilihnya tersebut (objektif).

Dua-duanya merupakan figur yang baik, yang itu harus ditentukan satu siapa yang terbaik. Dengan pilihan gabungan antara subjektif dan objektif setidaknya ada tiga alasan untuk memilih Jokowi melanjutkan sebagai presiden untuk periode berikutnya.

Prestasi kinerja yang cukup membanggakan

Pada periode pertama, pemerintahan Jokowi sudah banyak melakukan banyak hal untuk kemajuan negeri ini. Petral yang selama ini melakukan praktik penjualan minyak yang merugikan negara dibubarkan. Belum lagi yang dahulu konsesi pertambangan yang dikelola asing, telah diberikan ke BUMN. Dan PT Freeport Indonesia sudah menjadi milik Indonesia dengan saham mayoritas 51 persen.

Dari pembangunan fisik juga menorehkan hasil yang mengagumkan. Berbagai infrastuktur sudah dibangun dan diresmikan, baik itu meneruskan era pemerintahan sebelumnya, dan era pemerintahan Jokowi sendiri. Dan pembangunan relatif merata dan tidak Jawa sentris. Adanya jalan atau tol trans Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua merupakan bukti yang nyata.

Dan untuk Papua relatif banyak diperhatikan walaupun dari segi ekonomi jangka pendek masih belum bisa kelihatan hasilnya. Jalan Trans Papua dikebut, demi memperlancar transportasi antar daerah. BBM sudah bisa satu harga, bisa sama dengan harga di SPBU yang ada di Jawa. 

Tidak itu saja "hadiah" berupa stadion (megah) Papua Bangkit sudah hampir rampung, yang akan di pakai untuk event Pekan Olah Raga (PON) tahun depan.

Bagi kalangan tidak mampu sudah diberikan skema bantuan dengan dikeluarkanya beberapa kartu. Seperti  Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS) sudah banyak dibagikan sebagai upaya agar masyarakat miskin memperoleh haknya.

Pembangunan stadion megah di Jayapura, sebagai bukti pemerataan pembangunan yang tidak Jawa Sentris. Sumber foto: ceposonline.com
Pembangunan stadion megah di Jayapura, sebagai bukti pemerataan pembangunan yang tidak Jawa Sentris. Sumber foto: ceposonline.com
Jokowi belum layak "dihukum"

Posisi petahana sebenarnya bukanlah posis yang aman untuk bisa melanjutkan periode berikutnya. Melalui mekanisme pemilu jika (kebanyakan) rakyat puas, maka akan memilihnya kembali. 

Begitu sebaliknya jika rakyat kecewa, maka rakyat tak akan memilihnya. Dan tentu lawan petahana akan diuntungkan karena sebagai pelampiasan rasa kecewa rakyat itu.

Dan melalui pemilu ini rakyat bisa memberikan apresiasi dan penghukuman (reward and punishment) kepada petahana. Terus lanjut atau cukup sampai di sini saja masa kekuasaan kekuasaannya itu. 

Dalam konteks Indonesia, melalui pilkada banyak contoh yang diberikan. Beberapa gubernur, bupati atau walikota yang berstatus petahana ada yang lanjut dan selebihnya "dihukum" tak terpilih lagi.

Alasan "penghukuman" terhadap petahana didasari banyak faktor. Intinya tidak sesuai dengan harapan, atau tidak bisa mewujudkan visi dan misinya (yang tentu menawarkan program sangat baik) ketika berkampanye. 

Bisa juga karena beberapa tindakan dan kebijakan petahana yang tidak populer di rakyat, atau karena selama menjabat terindikasi kasus penyelewengan (korupsi, kolusi, nepotisme) misalnya.

Untuk kasus Jokowi relatif minim untuk "dihukum". Dengan penampilan yang sederhana dan tidak neko-neko, belum pernah terdengar adanya penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan. Kebijakan selama ini untuk kalangan rakyat kebanyakan (baca: miskin) cukup bisa diakomodir. 

Memang tidak bisa menyenangkan untuk semua kalangan. Terutama kalangan menengah yang kadang tidak "mengenaklan" akibat dicabutnya beberapa subsidi BBM dan listrik.

Lawan Jokowi tidaklah lebih baik

Dengan tidak mengecilkan peran Prabowo sebagai penantang Jokowi di pilpres ini, dirasa belum bisa  menandingi secara sepadan. Prabowo boleh dibilang minim pengalaman karena belum pernah menjabat di jabatan sipil yang begitu kompleks. Yang artinya tak punya rekam jejak  yang apple to apple terhadap Jokowi.

Ini berbeda bila Jokowi berhadapan dengan calon yang punya pengalaman, atau setidaknya punya rekam jejak prestasi yang baik akan membuat pertarungan lebih sengit. Mengandalkan pilihan berdasarkan subjektivitas (emosional) akan kurang nilai tambahnya. Terlebih lagi bila berhadapan dengan massa rasional.            

Lawan yang lebih baik merupakan modal yang kuat untuk menghadapi petahana. Kita bisa ambil contoh pemilu di negeri jiran Malaysia di tahun 2018, yang mana koalisi yang dipimpin Mahathir Mohamad dapat mengalahkan koalisi petahana Najib Razak. 

Dan kita tahu terlebih rakyat Malaysia siapa Mahathir itu, yang merupakan mantan Perdana Menteri yang pada awal berkuasa dulu berhasil membawa Malaysia kepada kemajuan.

Yang mana Mahathir harus turun gunung untuk menantang sang petahana yang begitu kuat. Diperlukan figur yang menyakinkan seperti Mahathir tersebut walaupun dari segi usia sudah termasuk senja. Jika bukan Mahathir yang bertarung, belum tentu juga Najib Razak sebagai petahana akan kalah.

Salah satu paslon akan menjadi pemenangnya. Yang terbaik akan dipilih mayoritas rakyat. Sumber foto: Antara
Salah satu paslon akan menjadi pemenangnya. Yang terbaik akan dipilih mayoritas rakyat. Sumber foto: Antara
Dan pertarungan rematch kali ini tidaklah berimbang. Di tahun 2014 bolehlah posisi disebut berimbang, yang dimenangkan Jokowi secara tipis dengan prosentase (kurang lebih) 53 % - 47%. Pada 2019 Jokowi sudah terlalu kuat dengan ditambah kinerjanya yang sudah nyata. 

Sedangkan Prabowo selama 4,5 tahun ini tidak berbuat apa-apa untuk mendongkrak performanya. Bahkan sebagai sebagai "oposisi" tidaklah memanfaatkan secara maksimal.

Rakyat akan menentukan pada pilpres kali ini dengan berbagai alasan. Dan Jokowi sebagai petahana cukup diuntungkan, dan ia dapat memanfaatkan itu semua di periode pertamanya. Pemenang pileg harus ditentukan, rakyat punya kuasa dengan one man one vote. Kiranya dengan tiga alasan ulasan di atas, Jokowi layak untuk dipilih kembali.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun