Berbeda dengan Anies isu penggusuran ia tempatkan untuk membela kaum yang “tertindas” yang jumlahnya –katakanlah- 2 ribu itu. Anies bisa jadi dapat simpati 2 ribu orang tersebut, tapi potensi kehilangan suara jutaan sudah ada di depan mata. Mayoritas masyarakat Jakarta dengan sikap realitisnya memang setuju bila ada normalisasi sungai itu, karena itulah cara yang efektif mengatasi langganan banjir. Air hujan jelas akan menggenangi dataran yang rendah dan hal itu tidak dapat ditawar lagi, hukum alamnya seperti itu.
Jika Anies ingin menyenangkan semua pihak sebenarnya mudah saja, buat program dan cara penanganan yang lebih baik dari Ahok. Misalkan saja warga akan tetap digusur dengan bahasa relokasi. Sediakan rusun yang mirip-mirip apartemen biar nyaman. Ketakutan warga yang kehilangan mata pencaharian dapat diupayakan dengan membangun pasar mini atau pujasera misalnya di dekat rusun tersebut, serahkan saja pada Sandi yang tentu lebih ahli dalam urusan bisnis. Jika tidak bisa berdagang, rekut saja jadi PHL (Pegawai Harian Lepas) dengan gaji UMP (3,1 Juta) dengan menambah -pasukan yang sudah dibuat Ahok-, pasukan: merah, kuning, kelabu, dan merah muda (seperti lagu Balonku). Yang sudah pasti yang 2 ribu itu terselamatkan, dan akan dapat simpati jutaan orang. Jika tidak mau menggusur, justru itu tidak realistis karena kawasan rendah yang potensi banjir. Maka jangan salahkan publik bila menyatakan Anies tidak punya solusi hanya beretorika saja. Dalam masyarakat yang kritis dan serba terbuka malah akan kelihatan "topengnya".
Masa mengambang menjadi penentu
Dalam survey yang dilakukan berbagai lembaga, bermacam-macam hasilnya. Ada yang menyatakan Ahok lebih unggul begitu pula sebaliknya, prosentase jarak keduanya tidak terlampau jauh. Namum yang perlu dicermati adalah koresponden yang dinamakan belum menentukan, yang prosentasenya 4-6 persen. Kalangan yang belum menentukan itu bolehlah kita sebut massa mengambang (floating mass) yang berada pada kalangan yang bisa kita sebut mayoritas yang bungkam (the silent majority).
Mereka adalah kalangan yang tidak mengekspesikan pilihannya secara eksplisit. Mereka cenderung “diam” ketika ditanya apakah pilihannya. Mereka terlalu sensi ditanya pertanyaan seperti itu, sama sensinya ketika ditanya stastusnya (jomlo atau punya pasangan), kerja dimana, atau agamanya apa. Bisa saja mereka menganggap terlalu privat untuk diketahui, mereka benar-benar menerapkan prinsip LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suatu kalangan yang “merdeka” yang tidak mau diatur-atur apalagi diintimidasi.
Sungguh menarik menerka pilihan massa mengambang itu. Dengan melihat karakteristik warga Jakarta yang rasional dan dengan kalkulasi seperti uraian di atas maka kemungkinan besar adalah pilihannya jatuh pada Ahok. Maka dengan demikian dapat diprediksikan Ahok akan memenangkan secara tipis Pilkada ini. Kemenangan yang hampir mirip dengan yang dialami Wahidin Halim terhadap Rano Karno di Pilkada Banten. Bagi Anies dan para pendukungnya tidak perlu berkecil hati sebab dapat membuat kemenangan Ahok ini tidak didapatkan dengan mudah. Ini adalah kemenangan warga DKI Jakarta yang bisa melaksanakan pesta demokrasi dengan damai. Dan untuk itu warganya berhak mendapatkan pemimpin yang terbaik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Klojen, 18 April 2017