Mohon tunggu...
Heru Yulian
Heru Yulian Mohon Tunggu... Penulis - Sang Homichlophile

Seorang bebas, berpikir untuk berkarya, bernafaskan literasi, bermandikan kabut pengetahuan. Hitam abu-abu mungkin telah cukup menggambarkan diri. Sekarang atau tidak, kita hidup untuk untuk waktu ini.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menuju B100, Tantangan dan Peluang Besar Indonesia Mewujudkan Target Bauran Energi Nasional 23% dari EBT

6 September 2019   20:59 Diperbarui: 6 September 2019   21:03 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih segar di ingatan kita terkait fenomena mati listrik massal (blackout) yang baru-baru ini terjadi di jakarta dan sekitarnya. Sebuah fenomena yang mampu melumpuhkan hampir seluruh aktivitas di kota metropolitan tersebut. Mulai dari berhenti beroperasinya sejumlah MRT dan KRL hingga putusnya jaringan komunikasi membuat masyarakat resah bahkan menjerit. 

Mati listrik dengan durasi yang cukup lama tersebut tentu berdampak luas terhadap masyarakat terutama dunia usaha. Mulai dari pengusaha besar hingga UKMK seperti konveksi dan kuliner sangat terpukul akan hal tersebut. Jika fenomena ini terus berlanjut tanpa ada kesigapan dari PLN maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar.

Peristiwa ini memang tidak dapat dihindarkan mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap energi listrik disaat ketersediaan energi semakin menipis. 

Hal ini tampak dari konsumsi listrik nasional yang mencapai 65 Giga Watt (GW) pada tahun 2018. Tentu untuk memenuhi kuota listrik tersebut pemerintah telah membangun berbagai infrastruktur seperti PLTU, PLTD dll demi menghadirkan listrik ke seluruh pelosok negeri. Berton-ton sumber energi seperti batu bara, solar, dan gas telah lama menjadi andalan pemerintah guna membangkitkan energi listrik.

Perlu diketahui, Indonesia mengkonsumsi minyak sekitar 1,6 juta barel perharinya. Sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 800.000 barel. Disisi yang lain, kita ketahui bahwa  bahan bakar fosil dan sumber energi tidak terbarukan lainnya kian lama semakin menipis. 

Selain itu, emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik konvensional seperti PLTU sangatlah tinggi. Berdasarkan data Bappenas pada tahun 2014, Indonesia dan Cina merupakan negara tertinggi emisi CO2 nya. 

Hal ini mengharuskan Indonesia untuk mulai mencari alternatif energi terutama energi terbarukan dan ramah lingkungan yang mampu menghadirkan ketahanan energi nasional di masa depan.

Sesuai amanah RPJMN, pemerintah telah mencanangkan target penggunaan EBT (Energi Baru Terbarukan)  sebesar 23 % dari bauran energi nasional pada tahun 2025. 

Hal ini sejalan dengan salah satu poin Sustaianable Development Goal's yaitu energi bersih dan terjangkau (Affordable and Clean Energy). Tentu ini menjadi sebuah tantangan besar bagi Indonesia mengingat batu bara dan solar masih menjadi sumber utama penghasil energi listrik nasional saat ini.

Untuk mengatasi dan mencegah kelangkaan energi di masa yang akan datang, pemerintah telah berupaya mengembangkan berbagai EBT yang dinilai mampu menjadi pengganti bahan bakar fosil. Salah satu yang paling menjanjikan adalah Biodiesel atau Bahan Bakar Nabati (BBN). 

Kehadiran Biodiesel terutama B20 yang merupakan produk hilirisasi kelapa sawit ini mulai digalakkan penggunaanya sejak akhir agustus 2018 lalu. B20 sendiri merupakan kombinasi antara 80 % minyak bumi dan 20 % minyak sawit. Diharapkan B20 mampu untuk mengatasi kelangkaan energi serta menghemat devisa negara mengingat Indonesia merupakan salah satu pengimpor solar terbesar di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun