Sarang Semut
Merauke menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ikon NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak dari sekolah dasar, lagu dari Sabang sampai Merauke terus menggelorakan semangat dan kesadaran kita bersama, bahwa Indonesia kita yang tercinta tergelar begitu indah dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak pun begitu hafal lagu tsb, walaupun beberapa dari mereka salah menyanyikan karena adanya lagu Sabang-Merauke versi Indomie. Lagu kampanye SBY. Perjalanan penulis kali ini adalah perjalanan yang dipersiapkan untuk menggenapi dan melengkapi tulisan tentang Indonesia. Pada 1 Juli 2005 penulis sudah melihat Indonesia sejak dari kilometer nol di ujung di Pulau Weh, ujung barat Indonesia dan juga Tugu Sabang. Dan sekarang 10 Juli 2009, kali ini saatnya melihat kilometer nol di Merauke dan tugu di Sota di perbatasan RI-PNG. Ternyata dibutuhkan waktu 5 tahun untuk melihat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jadi sekarang lengkaplah sudah dari Sabang sampai Merauke. Jumat 10 Juli 2009, jam 10 pagi pesawat Boeing B737 Merpati Nusantara membawa kami dari Jayapura ke Merauke. Di lambungnya tertulis dengan warna biru Izakod Bekai Izakod Kai -Satu Hati Satu Tujuan. Motto dari Merauke. Cuaca cerah. Satu jam terbang dari Jayapura ke Merauke. Menjelang turun, kami melayang diatas sebuah sungai besar, Sungai Maro. Seperti banyak yang mengatakan kepada penulis, dari atas Merauke tampak rata.
Bandara Mopah - Merauke
Sejenak kemudian pesawat menjejakkan rodanya di landasan. Pendaratan yang mulus. Selamat datang di Merauke! Ketika pesawat bergerak menuju apron, perasaan penulis bercampur aduk. Sudah bolak-balik ke luar negeri, menjelajah negeri orang; ternyata baru kali ini sempat melihat ujung dari negeri sendiri. Merauke, kota yang menjadi bagian dan bukti bahwa NKRI masih exist. Sampai sekarang. Sejarah kota Merauke berawal pada tanggal 12 Februari 1902 tiba sebuah kapal api Belanda yang bernama “Van Goens” di sungai Maro dan berlabuh di dekat pelabuhan sekarang ini. Pada saat itu terjadi percakapan antara penduduk lokal dengan penumpang kapal yang ingin mengetahui nama dari tempat yang mereka singgahi. Awak kapal menanyakan apakah nama daerah yang mereka singgahi ini, namun karena tidak saling mengerti bahasa masing-masing kemudian penduduk lokal menjawab “Maroka ehe” yang artinya “Ini Sungai Maro”. Ditelinga dan lidah awak kapal yang berkebangsaan Belanda tersebut menjadi “Maroke”.Akhirnya menjadi Merauke sampai sekarang ini Kami dijemput Pak Wiro Maryanto mantan Kepala Bandara Perintis Okaba dan Pak Edi Widodo. Pak Herson Kepala Bandara Mopah yang penulis hubungi sejak sebelum berangkat, ternyata sedang tidak ada di tempat, dinas ke Jakarta. Pak Wiro mengajak kami untuk singgah dan menginap di rumahnya. Blasius Saba karyawan unit Keselamatan Penerbangan, mengantar kami ke rumah Pak Wiro.
HL & Adrianus di pantai Payump
Bandara Mopah Merauke sederhana. Inilah bandara yang menjadi sarana transportasi penting di wilayah Papua Selatan. Apron disebelah sisinya sedang digali, tampaknya ada pelebaran apron. Di ujung landasan tampak ada escavator yang melakukan penggalian tanah. Pak Wiro menjelaskan akan ada perpanjangan landasan dari 1.850 meter menjadi 3000 meter. Wah luar biasa. Tidak banyak bandara di Indonesia yang memiliki panjang landasan 3000 meter! Meskipun trafik lalu lintas udaranya belum padat, tetapi peran Bandara Mopah sangat strategis untuk wilayah Papua. MERAUKE SEKILAS Setelah beristirahat sejenak, kami diantar untuk melihat kota Merauke. Pak Wiro menjadi guide kami, dan Blasius Saba karyawan unit Keselamatan Penerbangan Bandara Mopah jadi sukarelawan mengemudi. Penduduk Kabupaten Merauke 175 ribu an orang. Kepadatan penduduk + 5 orang / Km2. Suku aslinya adalah suku Marind dan beberapa sub suku antara lain suku Yei, Kanum dan Kimaam.
Monumen Pepera
Pertama kami diajak melihat Kantor Pos yang dipakai oleh Belanda jaman dulu, di depannya masih tertulis jelas Kantoor Post 1920. Dari kondisinya, nampaknya cukup lama tidak digunakan. Di depannya seorang ibu sepertinya pemilik rumah tsb, sedang santai dan saling berkirim sms. Sayang sungguh gedung eh rumah yang dulunya menjadi Kantor Pos ini kondisinya kurang terawat. Kemudian kami berputar melewati Tempat Pemandian Air Panas.waktu itu masyarakat sedang ramai mandi dan mencuci di tempat tsb. Kami turun ingin mengambil gambar. Mereka berteriak dengan beberapa kalimat dan mengatakan sesuatu yang kami tidak mengerti. Jadi, kami mundur tidak jadi mengambil gambar disini. Kami terus dan singgah sebentar di Monumen Pepera. Monumen penentuan Pendapat Rakyat tanggal 4 Juli 1969 ini merupakan pernyataan tekad bulat dari rakyat Irian Barat yang isinya antara lain :
- Irian Barat merupakan bagian mutlak dari wilayah RI
- Tidak mau dipisahkan dari NKRI yang berwilayah dari Sabang hingga Merauke
PANTAI PAYUMP Sore itu kami sengaja ingin melihat situasi pantai. Jadilah kami diantar ke pantai Payump di dekat bandara. Pantai Payump sedang surut airnya. Kami menemui sekelompok penduduk setempat yang sedang menikmati suasana sore hari. Sekelompok anak-anak kecil rebut menarik seekor ikan pari yang besar. Yang paling berani menarik ekornya dan yang lain berteriak-teriak mengelilinginya. Di dekat sebuah pohon beberapa orang sedang memperbaiki jaring penangkapan ikan. Dan di kejauhan sana ibu-ibu menggedong dan mengasuh anaknya. Ada seorang laki-laki setengah tua yang duduk dan memperhatikan semua dengan acuk tak acuh. Mukanya dingin tanpa ekspresi. Penulis mendekatinya dan duduk disebelahnya. Sebatang rokok jisamsoe yang penulis sodorkan, segera mencairkan kebekuan wajahnya. Tawanya pecah dan menyebutkan namanya : Adrianus, 54 tahun.
Pantai Payump - Merauke
Ketika kemudian penulis mengajak berfoto. Segera saja mereka berkerumun dan wajah-wajah mereka cerah dan antusias. Bergantian mereka dating dan minta difoto. Ketika penulis tunjukkan hasil foto di layar LCD kamera, mereka beteriak-teriak kegirangan. Dan Adrianus masih juga tersenyum, duduk diatas pasir dengan sebatang Jisamsoe terselip dibibirnya. Pada waktu meti = air surut sampai beberapa kilometer dari pantai. Mudah sekali menjaring udang di laut ketika meti. Pak Wiro mengatakan sekali menjaring ikan bisa mendapat 5-8 kilogram udang. Kami sempat menikmati udang tangkapan Pak Wiro ketika makan siang di rumahnya. Rasanya memang mak nyuus! MONUMEN LB MOERDANI Sebenarnya monumen LB Moerdani tidak terlalu istimewa, hanya sebuah tugu kecil yang menggambarkan Sosok seorang prajurit, dengan baret merah dengan warna yang sudah sedikit memudar, dan parasutnya yang tergulung dipundaknya. Sosok tersebut adalah Mayor L Benny Moerdani tampak dan berwibawa sebagai seorang prajurit RPKAD (sekarang Kopassus). Monumen ini terletak di pertigaan jalan, di daerah Tanah Miring SP2 + 15 km dari Merauke. Monumen ini dibuat masyarakat setempat untuk mengenang keberhasilan Operasi Naga dan keberanian Leonardus Benny Moerdani yang diterjunkan pada tahun 1962 di Irian Barat. Mayor L Benny Moerdani memimpin pasukan elite RPKAD dalam operasi untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda, pada tanggal 4 Juni 1962. Di prasastinya tertulis: ‘‘Di sini daerah penerjunan dalam rangka pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor L Benny Moerdani pada tanggal 4 Juni 1962. Terimakasih atas perhatian masyarakat dan pemerintah daerah tingkat II. Persembahan masyarakat dan Pemda 2 Oktober 1989”.
Monumen LB Moerdani
Penulis membayangkan situasi daerah ini 47 tahun yang lalu tentu masih hutan belantara. Dan banyak kisah-kisah heroik yang diceriterakan dari sosok LB Moerdani. Sekarang pun daerah ini masih sepi dan jarang penduduknya, dan merupakan jalan menuju ke lokasi transmigrasi. Pertigaan ini menjadi ramai. Di pinggir jalan seorang anak kelas 4 SD dan neneknya Maria menjual udang hasil tangkapannya di sungai dan rawa di sekitar lokasi monumen. Setumpuk udang yang besar-besar dan tampak masih hidup harganya Rp 25 ribu. Setelah mengambil beberapa foto dan mencoba menggambarkan dan merenungkan kejadian 47 tahun yang lalu, kami kembali ke Merauke. Ditengah jalan kami berhenti di pinggir jalan, dimana banyak warung-warung menjual makanan dan minuman dan jagung bakar. Penjaga warung Sri menyiapkan jagung bakar. Dia berceritera bahwa dia dari Jawa, tetapi lahir di lokasi transmigrasi di Medan. Dan bersama bapaknya dia bertransmigrasi lagi ke Merauke. Perjalanan yang cukup jauh dan di tempat terpencil … herulegowo@yahoo.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI