Mohon tunggu...
Chairun Abdullah
Chairun Abdullah Mohon Tunggu... -

Anak Petani

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Partai Politik Sebagai Subjek Hukum Pidana Korporasi

20 Desember 2014   16:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:53 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata korporasi secara etimologis dikenal dari beberapa bahasa, yaitu Belanda dengan istilah corporatie, Inggris dengan istilah corporation, Jerman dengan istilah Korporation, dan bahasa latin dengan istilah corporation. Korporasi dilihat dari bentuk hukumnya dapat  diberi arti sempit maupun arti luas. Menurut arti sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam arti luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari pernyataan Klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan:

“Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikiranya sendiri disbanding dengan tubuhnya sendiri; Kehendak yang dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut Agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan kehendak dari Korporasi yaitu ego dan pusat Korporasi.”

Selanjutnya Satjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul ilmu hukum mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Korporasi adalah:

“Badan yang diciptakanya itu sendiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukan unsure animus yang membuat badan itu mempunya kepribadian. Oleh karena Badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptanya, Kematianya pun ditentukan oleh hukum.”

Dengan demikian maka dapat dimaknai bahwa dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan badan hukum yang keberadaan dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya hukum perdata lah yang mengakui keberadaan korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat atau berwenang melakukan figur hukum. Demikian juga halnya dengan matinya korporasi itu diakui oleh hukum.

Dalam kontek hukum Pidana pengertian korporasi mencakup pemaknaan yang memiliki arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).

Sehingga kemudian dapat dimaknai bahwa pengertian korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut. Artinya bahwa makna / pengertian dari Korporasi sangatlah luas, yang mana dapat lebih luas dari sekedar pengertian badan hukum itu sendiri


  • Teori – Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pada dasarnya, Pertanggungjawaban Pidana korporasi mengacu pada doktrin Respondeat Superior, yaitu merupakan suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan tindak pidana atau miliki kesalahan. Melainkan hanya agen – agen korporasi yang dapat melakukan kesalahan, dalam hal ini adalah mereka yang memiliki domain bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh karenanya maka hanya agen – agen korporasi saja yang memungkinkan melakukan kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatanya secara pidana.

Pada perkembangan, doktrin Respondeat Superior inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya tiga metode pertanggungjawban pidana Korporasi, yaitu Direct Corporate Criminal liability, Strict Liability, dan Vicarious Liability. Perlu dipahami bahwa ketiga Doktrin atau teori tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga ketiganya mutlak tidak boleh dipisahkan.

a.Direct Corporate Criminal Liability Theory

Teori ini atau yang dalam bahasa indonesia dapat diartikan sebagai Teori pertanggungjawaban Pidana Korporasi secara Langsung, dikenal luas pada               negara – negara yang menganus sistem anglo Saxon seperti inggris dan Amerika. Teori ini berpandangan bahwa korporasi xdapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui para agen yang berhubungan langsung dengan korporasi, bertindak untuk dan atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan – tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi.

Corporate Criminal Liability memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan donktrin yang menyatakan bahwa ”Tinda pidana dari agen tertentu suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitang dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Teori ini menganggap bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai ”directing mind” atau ”alter ego”. Serangkaian perbuatan dan mens rea para individu itu dikaitkan dengan korporasi. Artinya bahwa jika seseorang diberikan wewenang bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka mens rea orang tersebut adalah merupakan mens rea korporasi.

b.Strict Liability Theory

Strict Liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (Liability without fault). Teori ini secara sederhana dapat dimaknai bahwa dalam hal tindak pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal tersebut itu sudah cukup sebagai alasan menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap dirinya. Sehingga dengan demikian dalam konteks ini yang menjadi pokok persoalan adalah actus reus (perbuatan) tanpa harus mempersoalkan tentang mens rea (kesalahan).

c.Vicarious Liability Theory

Teori ini lazim dikenal dengan istilah pertanggungjawaban pengganti. Artinya bahwa pertanggungjawaban menurut hukum yang mana seseorang bertanggungjawab atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Pada dasarnya teori ini diambil dari hukum perdata yang kemudian diterapkan pada sistem hukum pidana. Konsep teori Vicarious Liability jika dihubungkan dengan teori Strict Liability, maka hal yang membedakan keduanya adalah pada konteks perlu atau tidaknya mens rea (kesalahan) dibuktikan. Seperti dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa Strict Liability Theory tidak diperlukan adanya mens rea (kesalahan) untuk memidana seseorang selama faktor actus reus (perbuatan) telah terpenuhi. Namun pada tataran Vicarious Liability Theory kedudukan mens rea dianggap sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk melakukan pemidanaan terhadap seseorang.

d.Agregation Theory

Agregation theory adalah teori yang mengakumulasikan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu orang – orang yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau setidaknya orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi tersebut.

Dalam berbagai kasus, sering kali ditemui beberapa bentuk aktifitas korporasi merupakan hasil dari usaha – usaha kolektif beberapa atau bahkan banyak agen. Dalam situasi yang demikian tentunya tidak terdapat individu khusus yang bertanggungjawab penuh  atas aktivitas tersebut. Oleh karena maka kemudian muncul suatu teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang merespon hal tersebut yaitu teori Agregasi (agregation theory).

Kehadiran partai politik sebagai wadah untuk memperjuangakan dan membela kepentingan politik masyarakat, bangsa dan negara. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 undang – undang nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang – undang nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjelaskan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita - cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Sehingga dengan demikian, meskipun sebenarnya esensi dan eksistensi partai politik bukan merupakan sebuah perusahaan yang menjalankan bisnis / perdagangan, akan tetapi kedudukan Partai politik sebagai suatu Badan Hukum lah yang kemudian menjadi pemicu hadirnya pemaknaan Partai Politik sebagai suatu Korporasi oleh pakar hukum pidana universitas trisakti, DR. Yenti Garnasih,SH (MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013).

.

Penulis sependapat dengan Yenti Garnasih, yaitu dengan mengacu pada ketentuanPasal 1 angka 9: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.” Sementara itu, ketentuan yang secara eksplisit menegaskan keterkaitan partai sebagai korporasi tercantum dalam Pasal 1 angka 10: “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”  Dengan demikian maka jika ditarik pada pemahaman UU TPPU, maka partai Politik dapat dikategorikan sebagai Korporasi.


  • Partai Politik Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korporasi

Seiring perkembangan dinamika bangsa kekinian, tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh Partai politik di negeri ini memiliki sekian banyak Kader dan bahkan tokoh – tokoh sentral penentu kebijakan dalam tubuh partai yang terlibat kasus korupsi. Sebut saja misalnya Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum Partai Demokrat, lalu selain itu ada pula Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yakni Lutfi Hasan Ishak yang juga tersandung kasus korupsi dan kini telah / sedang berstatus sebagai narapidana sama seperti Anas Urbaningrum dkk. Serta kasus korupsi terbaru yang melibatkan Surya Darma Ali selaku Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jika merunut pada teori – teori pertanggungjawaban pidana korporasi maka keterlibatan para ketua umum partai politik tersebut sangat memungkinkan untuk diidentifikasikan sebagai suatu tindakan korporasi itu sendiri, mengingat bahwa kedudukan ketua umum selaku pemegang kendali serta pemegang kewenangan bertindak untuk dan atas nama partai politik tersebut (Direct Corporate Criminal Liability Theory).

Seluruh kasus Korupsi yang melibatkan para pejabat teras / penentu kebijakan pada tubuh partai politik tersebut,dapat dikatakan bahwa keseluruhanya disertai dengan praktek Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana praktek pencucian uang tersebut tidak jarang memiliki keterkaitan erat dengan Partai Politik tempat pelaku korupsi berasal. Sebab dalam beberapa fakta persidangan terungkap bahwa terdakwa mengaku telah menyumbangkan sejumlah uang yang berasal dari hasil Tindak Pidana Pencucian Uang kepada Partai Politiknya.  Dalam hal pengakuan terdakwa dalam persidangan tersebut dapat dibuktikan kebenaranya, maka Partai Politik sebagai Badan Hukum / Korporasi sudah sepatutnya dijatuhi hukuman. Sebab dalam hal terjadi Tindak Pidana pencucian Uang yang terkait dengan korupsi, Undang – undang tidak hanya menjerat orang yang mengalirkan. Melainkan juga orang yang menerima saluran dana tersebut. Artinya bahwa dalam hal Ketentuan Undang - undang nomor 8 tahun 2010 setidaknya dapat dimaknai bahwa dalam hal terjadinya Tindak pidana pencucian Uang dikenal dua junis pelaku, yaitu pelaku aktif dan pelaku pasif, dengan kata lain ada pelaku yang menyalurkan hasil kejahatan (Pelaku aktif), dan ada pula pelaku yang bertindak sebagai penerima aliran dana (Pelaku pasif).

Pelaku aktif dalam hal tindak pidana pencucian Uang dapat dijerat dengan ketentuan hukum yang tertuang dalam Undang - undang nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana pencucian Uang pasal 3 dan pasal 4.

Pasal 3:

“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua pu luh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Pasal 4:

“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Sedangkan Para pelaku yang tergolong sebagai pelaku pasif, yaitu orang yang menerima hasil kejahatan, akan terjerat Pasal 5 (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Mengingat ketentuan dalam Undang – undang TPPU menyatakan bahwa korporasi ialah subjek hukum. Sebagaimana tertuang secara eksplisit pada ketentuan Pasal 1 angka 9: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.” Sementara itu, keterkaitan partai sebagai korporasi tercantum dalam Pasal 1 angka 10: “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dengan demikian jika benar terbukti secara sah dan meyakinkan melalui fakta pesidangan di pengadilan, bahwa  ada aliran dana hasil kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang yang masuk ke dalam kas dan / atau dipergunakan untuk membiayai kegiatan Partai Politik, maka Partai politik yang bersangkutan dapat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai suatu subjek hukum berbentuk korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 5 undang – undang nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU.


  • Sanksi Pidana Bagi Partai Politik Pelaku TPPU

Sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan kabinet yang diberi nama kabinet Indonesia Berrsatu, Setidaknya ada dua kasus tindak pidana korupsi dan TPPU yang melibatkan para petinggi partai politik yang cukup banyak menyita perhatian masyarakat indonesia karena di dalam keterangan yang disampaikan di muka persidangan terdakwa mengungksa fakta bahwa ada aliran dana hasil korupsi dan Tindak pidana pencucian uang yang mereka lakukan tersebut masuk ke dalam tubuh partai. Sebut saja kasus Bendahara Umum Partai Demokrat yaitu Nazarudin yang dalam persidanganya menyampaikan bahwa ada sejumlah dana hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dia lakukan tersebut yang mengalir ke partai melalui pembiayaan pelaksanaan Kongres Partai Demoktar yang pada saat itu berlangsung di Bogor jawa barat. Kasus yang kemudian tidak kalah menarik lainya yaitu kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh politisi partai keadilan sejahtera (PKS) yaitu Ahmad Fathanah. Fakta menarik dari kasus ini adalah adanyas pengakuan yang secara gamlang disampaikan oleh ahmad Fathanah dalam persidangan di pengadilan tipikor, yang menyatakan pernah menyumbangkan dana untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pengakuan menarik serta mengagetkan dari kedua terpidana korupsi tersebut pada masa persidanganya kemudian menjadi tidak memiliki arti dan/atau dampak hukum terhadap partai politik yang bersangkutan karena pihak penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melakukan tindakan – tindakan rill dalam rangka merespon fakta tentang dua partai tersebut yang masing – masing dibeberkan oleh para kadernya sendiri yang sedang tersangkut kasus korupsi. Tindakan KPK yang terlihat pasif dalam hal merespon fakta yang diungkap oleh Nasarudin dan Ahmad Fathanah perihal aliran dana hasil tindak pidana yang masuk ke partai mereka masing tersebut terlihat kontra produktif dengan kebiasaan KPK yang selalu melakukan gerakan cepat dalam rangka merespon fakta – fakta yang terungkap dalam persidangan berkenaan dengan penyebut nama seseorang secara individual.

Padahal jika bertolak dari pemahaman undang – undang nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan undang – undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan undang – undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa yang dimaksud orang dalam kedua undang – undang tersebut adalah orang perseorangan dan korporasi.

Ketentuan yang harus diikuti dalam mencari atau mendalami ada tidaknya keterlibatan partai Politik manapun dalam penerimaan dana hasil korupsi, diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang berisi bahwa” pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: a) dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.” Lalu kemudian dalam hal suatu partai politik terbutki secara sah dan meyakinkan terlibat sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5, maka pada Pasal 6 jelas diatur bahwa korporasi (parpol) dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal itu tercantum sebagai berikut. “(1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.” Dalam hal ini bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, itu dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

Selain mengatur tentang ancaman sanksi pidana pokok bagi korporasi yang terbukti melakukan suatu tindak pidana korporasi, undang – undang nomor 8 tahun 2010 juga mengatur tentang sanksi pidana tambahan berupa: “a) pengumuman putusan hakim; b) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; c) pencabutan izin usaha; d) pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e) perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f) pengambilalihan korporasi oleh negara.”

Dari ketentuan pasal 6 ayat 2 tersebut dapat digambarkan pemahaman bahwa suatu Korporasi dalam hal ini Partai Politik yang terbukti menjadi pelaku tindak pidana pencucian uang baik yang dimaksud dalam pasal 3 dan pasal 4 (pelaku aktif), maupun sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 (pelaku pasif) dapat dikenakan sanksi pembubaran, sebagaimana tertuang dalam ketentuan pasal 6 ayat 2 huruf D. akan tetapi mengigat bahwa ancaman sanksi yang tertuang dalam pasal 6 ayat 2 tersebut merupaka jenis sanksi tambahan, maka penjatuhan putusan pembubaran tersebut bergantung pada kearifan hakim dalam menilai serta menelaah, sebab pidana tambahan berupa penjatuhan pidana pembubaran dan/atau pelarangan korporasi merupakan pidana tambahan yang bisa dijatuh kan bersamaan dengan pidana pokok.

Peter Gillies (Penyunting : Bardan Nawawi Arif), Criminal Law, 1990, Hal. 126


Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 13

Sue Titus Reis, Crimal law,Third edition, Prentice Hall, New Jersey, 1995, Page 53.

Sebagaimana dikutip dalam Kristian, Hukum Pidana Korporasi, nuansa aulia, Hal. 54.

Bardan Nawawi Arif , Sari Kuliah Perbandingan Hukum pidana, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Hal.154.

Sue Titus Reid, op.cit. sebagaimana dikutip dari ; Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Parpol

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun