Mohon tunggu...
Heru Andika
Heru Andika Mohon Tunggu...

Account lama saya di-hack karena saya menulis tentang kebenaran, namun saya tak akan pernah bisa dihentikan dengan cara seperti itu, karena saya amat mencintai menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir Tahunan, Jakarta Ibukota Paling Rentan di Asia Tenggara

19 Januari 2014   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_316818" align="aligncenter" width="300" caption="Banjir Jakarta, PR Besar Jokowi-Ahok (beritasatu.com)"][/caption] Banjir di Jakarta dari tahun ke tahun semakin menjadi momok mengerikan dan membuat pusing kepala mulai dari pemimpin daerah hingga jika meminjam bahasanya Bung Karno ..."Rakyat yang sekecil-kecil nya". Dampaknya sangat luas. Mungkin saat ini di Asia Tenggara, hanya Jakarta lah ibukota negara yang aktifitas maupun perekonomiannya dapat dilumpuhkan oleh hujan dan banjir jika terjadi selama lebih dari 2 hari. 2-3 tahun lalu nampaknya adalah hal yang hampir mustahil mendengar dan melihat wilayah segitiga emas Kuningan-Sudirman-Thamrin tenggelam oleh banjir ibukota. Karena daerah tersebut adalah jantung perekonomian Jakarta. Gedung-gedung tertinggi di Indonesia, kantor-kantor pusat orang-orang terkaya di Indonesia, bank-bank terbesar di Indonesia, lokal maupun asing, semuanya bermarkas di sana. Belum lagi pusat-pusat perbelanjaan termegah maupun yang paling bersejarah, hotel-hotel bintang lima, semuanya ada di sana. Jadi tak perlu bom, hanya dengan menggenangi wilayah-wilayah tersebut dengan air setinggi pinggang manusia dewasa saja, dijamin separuh atau bahkan 60% aktifitas perekonomian Indonesia bisa terganggu. Filipina yang secara geografis adalah wilayah langganan topan badai setiap tahun (terakhir musibah topan Haiyan yang meluluhlantakkan kota Tacloban dan merenggut ribuan nyawa warganya), namun secara historis maupun geografis, ibukotanya, Manila, hingga saat ini amat jarang terdengar lumpuh karena bencana alam, kecuali ada demo seperti aksi anti-Marcos yang dikenal sebagai "People Power" di di tahun 1986. Singapura yang dikenal sebagai ibukota perekonomian Asia Tenggara, terakhir terdengar dilanda banjir adalah tahun 2010 lalu. Namun dengan gerak cepat seksama khas manajemen pemerintahan Singapore, hingga hari ini nyaris tak terdengar lagi wilayah kebanjiran di negeri pulau tersebut. Padahal mereka tak punya gunung, tak punya hutan kecuali hutan kota buatan sebagai penampung air hujan, wilayahnya pun dikelilingi laut......seharusnya secara logika, menenggelamkan Singapura adalah lebih mudah daripada Jakarta. Laut di sebelah timur nya adalah lautan dalam nan luas, Laut China Selatan. Namun kini para pakar mengatakan sebaliknya, jauh lebih mudah menenggelamkan Jakarta yang padahal hanya berjarak 30 km dari pegunungan dan hutan alam. Pantainya hanya berhadapan dengan laut dangkal, Laut Jawa. Belajar lagi dari Malaysia. Ibukota Kuala Lumpur sebelumnya adalah langganan banjir. Namun lihatlah cara bangsa yang sering kita ejek sebagai "Melayu norak" tersebut dalam mengatasi banjir yang mengancam ibukotanya. 1) Dibangun sistem drainase yang canggih dengan manajemen yang terkontrol tertib yang sekarang sedang dipelajari Gubernur DKI Jokowi untuk diterapkan di jakarta, sistem terowongan multi fungsi Deep Tunnel 2) Memindahkan pusat pemerintahan sedikit keluar kota dengan posisi geografis yang lebih tinggi daripada KL, yaitu Kota Putrajaya, agar sewaktu-waktu kota KL yang rentan banjir itu tak dapat diselamatkan dengan deep Tunnel sekalipun, minimal aktifitas pemerintahan dapat tetap berjalan karena berpusat di wilayah lain 3) Memelihara pegunungan Genting sebagai wilayah resapan air terdekat KL, hanya di satu gunung saja terdapat resort wisata yang dipenuhi bangunan hotel, ya hanya hotel-hotel dan resort, tak ada sembarangan villa-villa liar. Jumlah bangunan amat terbatas, boleh dibilang di wilayah itu hanya 10% yang dihuni manusia dan dibangun pemukiman, sisanya sebesar 90% dapat kita lihat jika naik cable car menuju resort GENTING HIGHLAND....masih berupa hutan perawan nan asri. [caption id="attachment_316819" align="aligncenter" width="300" caption="Resort Wisata Pegunungan Genting Highlang Malaysia (www.gentingresort.com)"]

13901047311664974126
13901047311664974126
[/caption] Bandingkan sendiri dengan wilayah Puncak, Bogor, Sukabumi, di kaki Gunung Salak dan Gunung Gede yang merupakan wilayah resapan air Jakarta? Bahkan jika kita ke Sukabumi, di sela-sela taman nasional Gunung Halimun pun kini mulai banyak perumahan warga. 4) Pusat perekonomian KL dari tahun ke tahun nyaris tak jauh-jauh dari kawasan Bukit Bintang yang dekat dengan gedung tertinggi di dunia di awal dekade 2000-an, Menara Petronas. Gedung-gedung di sana memang rata-rata tingginya 300 meteran, masih di atas rata-rata gedung-gedung di kawasan segitiga emas. Namun dengan gedung kantor maupun hotel setinggi itu, mereka menyerap sebanyak mungkin pasar penyewa lantai/gedung. Pembangunan dan tata kota berjalan teratur, Anda tak akan menemukan pencakar langit milik swasta di Putrajaya, apalagi di Genting Highland. Semua sudah ada peruntukkannya dengan jelas dan tertib. Tak seperti di Jakarta, membangun gedung tingginya tanggung-tanggung, rata-rata 150-200 m an saja, tetapi ternyata demand cukup tinggi, akhirnya pembangunan gedung-gedung tersebut supply nya juga menyebar kemana-mana, terakhir mulai memasuki kawasan yang di tahun 80-an masih merupakan daerah resapan air Jakarta, yaitu wilayah TB Simatupang, yang dalam banjir tahun ini, mulai menjadi titik banjir juga, bahkan di salah satu lokasinya, pekan lalu tergenang air hingga tak dapat dilewati kendaraan, padahal di dekatnya berkantor perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti perusahaan minyak Inggris, BP Indonesia, maupun produsen makanan terkemuka seperti Nestle. Bangkok? Sungai yang membelah ibukota Thailand ini, Chao Bhraya, jauh lebih besar daripada Ciliwung. Namun sungai tersebut dijaga kebersihannya, warna airnya masih bening, walau banyak menjadi pusat perekonomian, seperti pasar terapung, bagian view side dari hotel-hotel, restaurant dan perkantoran yang menjulang di sisinya. Hampir tak terdengar banjir Bangkok akibat meluapnya sungai terbesar di Asia Tenggara tersebut. Bahkan bentuk disiplinnya orang Thailand menjaga kelestarian lingkungannya, terlihat dari demo anti pemerintah yang sedang heboh sebulan ini. Tetap, bangsa yang terkenal keramahannya ini, tak sampai anarki menjarah, merusak fasilitas umum dimana-mana. Tak ada kerusakan lingkungan yang berarti bahkan saat terjadi kerusuhan paling berdarah di Bangkok yang menelan korban 13 jiwa di tahun 2010 lalu. Demo ya demo, sasarannya jelas, jikapun di bom, itu hanya rumah pejabat yang berkepentingan. [caption id="attachment_316820" align="aligncenter" width="300" caption="Bangkok yang dibelah sungai Chao Phraya (www.gavingough.com)"]
13901049451338688287
13901049451338688287
[/caption] Berkaca dari kisah-kisah di atas, marilah kita introspeksi diri sendiri. Perilaku susah diatur warga DKI telh menenggelamkan diri mereka sendiri. Saat ini kota besar di Indonesia yang penataannya banyak mendapat pujian dan perhatian kalangan nasional maupun internasional, adalah Surabaya. Warga Suroboyo yang dikenal Bondo Nekat (modal nekat, bernyali besar, bertemperamen tinggi) tersebut ternyata begitu mudah diatur tertib disiplin oleh Walikota yang hanya seorang perempuan, Ibu Hj. Tri Rismaharini. Kini di saat Manado, Jakarta dan sebagian wilayah di Indonesia dilanda banjir, Surabaya tetap tenang tentram, malah terakhir terlihat lebih asri dengan taman-taman kota dan kebersihannya yang mulai membudaya. Wilayah bantaran sungai pun mulai ditata dan dijaga kebersihannya. Mereka sedang asyik dengan target mengalahkan ibukota DKI dalam mengatasi kemacetan dengan mengebut proyek transpotasi massal monorail dan trem yang ditargetkan di launching mendahului MRT dan monorail Jakarta. Di kalangan bangsa asing, Surabaya telah dikenal dengan julukan Little Singapore, yang bahkan diberikan pertama kali oleh warga negara Singa tersebut, karena pola pembangunan dan tata kota yang terlihat sangat meniru dan terbukti mulai terelisasi mirip dengan kota Singapura. Mari, sebagai warga Jakarta kita banyak introspeksi diri. Disiplin, tertib dan berfikir untuk kepentingan orang lain, dan masa depan, harus dibudayakan. Banyak warga kaya Jakarta yang petantang petenteng mengaku telah melihat bagian lain dunia ini, seperti AS, Eropa, Jepang, Korea Australia, dan lainnya yang merupakan wilayah-wilayah dengan ibukota negara yang teratur, tertata rapih, bersih, namun ternyata sebagian besar mereka adalah ....maaf...turut aktif berperan merusak lingkungan hidup wilayah DKI dan sekitarnya. Membangun pemukiman, kawasan bisnis, villa-villa di kawasan resapan air. Ikut-ikutan sama tak disiplinnya dengan sebagian penduduk yang lebih miskin, buang sampah sembarangan, alih-alih mengajarkan pola hidup disiplin bersih ala warga negara-negara yang telah mereka kunjungi tersebut. Malah pamer gaya bicara, gaya berpakaian ala luar negeri tersebut, bukan mengambil sisi positifnya. Bahkan saya pernah melihat sebuah villa mewah yang ditaksir bernilai miliaran rupiah nun jauh di lereng Gunung Salak tahun 2011 lalu. Bahkan yang paling memalukan adalah kota metropolitan Tokyo Jepang dan Beijing RRC yang jumlah penduduknya dua kali Jakarta, namun jauh lebih teratur daripada Jakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun