Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata dan Telinga Tidak Tertutup

1 Oktober 2023   17:16 Diperbarui: 1 Oktober 2023   17:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

"Kenapa menolongku? Lebih baik kalau tidak usah, bagaimana jika tahu-tahu aku yang menangkapmu setelah kakiku bisa digerakkan."

"Saya tidak bisa meninggalkan orang yang lagi susah. Tidak nyaman rasanya. Di pinggiran hutan ada kampung. Terserah kalau mau menangkap saya, yang penting saya bawa dulu ke sana. Siapa tahu ada yang bisa mengobati."

Merasa tak enak Vigilante jika harus membiarkan Komunis ini tertangkap nantinya. Sampai diputuskannya pula, kalau harus selamat Komunis ini. Tak mau ia dihantui rasa bersalah, karena telah ditolong.

Sampai mereka di pinggiran hutan. Begitu keluar langsung terlihat kampung yang sepi. Rumah tepas bisa dihitung pakai jari. Komunis berjalan menuju sebuah rumah yang tampak sedikit lebih bagus dari yang lain. Seorang tua menunggu di depan rumah itu. Ada kemungkinan kalau Komunis mengenalnya, pikir Vigilante. Tapi tetap terkejut ia, ada orang yang mau menerima seorang komunis.

"Jadi ini temanmu? Baringkan dia," ujarnya lalu melanjutkan, "beruntung punya teman yang seperti dia. Tadi sore dia pamit mau ke hutan lagi, tak enak meninggalkan teman katanya."

Memang benar. Awalnya Komunis yang dikejar-kejar. Begitu dia melihat Vigilante terjerembap ke tanah, langsung dia lari. Tak terpikir bagi Vigilante untuk melihatnya kembali lagi. Menolong malahan.


Duduk Komunis itu di sebelah Vigilante. Sekarang sudah bulat keputusan yang dibuat Vigilante rasanya. Berkali-kali ia meyakinkan Komunis untuk segera lari. Sebab sebentar lagi mungkin kawanannya melihat Komunis. Sampai di situ sudah tak ada lagi kesempatan untuk lari. Bahkan Vigilante sebenarnya tak tahu bagaimana nasib yang telah tertangkap nantinya. Tapi dapat diartikan kalau itu buruk.

"Saya lelah berlari ke sana ke mari. Sampai-sampai tadi pun saya meninggalkan orang yang lagi ditimpa musibah. Bersyukur saya karena tak lagi dikejar tadi. Bersyukur melihat orang lain lagi susah. Padahal dulu ada yang meminta saya untuk tak menutup mata dan telinga saya, saat ada orang yang lagi susah."

Seperti itu katanya. Vigilante merasa tak bisa meyakinkan lagi. Sudah bulat keputusan ia tadi untuk membiarkan Komunis tadi. Sudah bulat pula keputusan Komunis untuk tidak lari. Besar sekali agaknya keinginan dia untuk ditangkap. Berbaring saja Vigilante. Sampai ia terperanjat mendengar suara kerumunan orang di luar, yang masuk tiba-tiba ke dalam. Memukuli Komunis tanpa ada basa-basi. Vigilante mengenal orang-orang itu. Kawannya, yang ikut mengejar para komunis. Sepertinya sudah tak ada lagi kesempatan untuk menolong Komunis, batinnya.

"Di sebelahnya itu juga komunis! Tadi katanya dia harus menolong teman," teriak orang tua yang punya rumah.

Komunis? Vigilante berusaha mencerna-cerna maksudnya. Berusaha ia membela diri. Berulang kali dibilangnya bahwa ia Vigilante. Tapi tak ada yang mendengarnya. Sepertinya tak menyangka mereka kalau seorang komunis ada di kawanan mereka. Mereka mengarak-arak Vigilante dan Komunis. Dicampakkan ke tanah. Orang-orang kampung meneriaki, melempari batu, memaki-maki. Sakit di kakinya makin menjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun