Mohon tunggu...
Herry Nuryadi
Herry Nuryadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia. Berusaha berpikir sebagai manusia, dan hanya ingin bicara tentang kemanusiaan....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terimakasih Ya Allah, Kau Anugerahkan Seorang Anak (Guru) Autis Kepada Kami

31 Maret 2014   20:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396245766949845902


Mungkin diantara pembaca artikel ini merasa aneh dengan judul di atas. Apalagi bagi orang-orang yang yang tidak mengenal atau mengerti lebih dekat tentang anak/orang yang menyandang sindrom Asperger yang salah satunya adalah “Autis” (Autism). Disini saya tidak membicarakan  secara khusus mengenai autism dari sisi medis maupun psikologis, karena walaupun sudah sekitar 14 tahun keluarga kami di anugerahi seorang anak penyandang autism, tapi bahkan sampai sekarang-pun kami(terutama saya) masih saja belum bisa mengerti apa dan bagaimana tentang sindrom ini baik secara medis maupun psikologis. Penulisan artikel ini lebih ditujukan untuk berbagi cerita dan pengalaman hidup, terutama bagi saudara-saudaraku yang yang mengalami hal seperti kami, atau yang tertarik dengan para penyandang sindrom ini.

Kami adalah keluarga sederhana yang bertempat tinggal di sebelah utara kota Yogya, tepatnya di Kabupaten Sleman, di sebuah dusun sekitar 20km sebelah selatan gunung Merapi.

Sebenarnya  kami termasuk kelompok orang-orang yang kalah dalam “pertarungan” di kota. Sebelum kami tinggal di situ, kami tinggal di wilayah Bogor. Dan pada akhir tahun 2004 kami terpaksa hijrah ke dusun istri karena usaha saya mengalami kebangkrutan usaha. Dan jika ada istilah “pulang dengan hanya membawa apa yang melekat di badan”, memang begitulah keadaan kami secara harfiah pada saat itu. Pada saat itu, anak kami -yang biasa dipanggil dengan nama Puput- masih berusia sekitar 5 tahun.

Dalam keadaan “compang-camping” kami mulai lagi kehidupan kami dari nol. Dan untuk menyambung hidup, kami berjualan kue-kue di pasar tradisional kecil yang ada di dusun tetangga. Pada saat itu, saya dan istri sudah punya komitmen, jika salah satu dari kami memperoleh pekerjaan tetap-apapun jenis pekerjaan itu- maka yang lain harus siap untuk mengemong Puput. Dan pekerjaan mengemong Puput bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena Puput dapat dikatakan tidak pernah duduk atau berdiam diri di rumah lebih dari 5 menit. Seperti kebanyakan penyandang autis, yang biasanya dikombinasi dengan hiperaktif, kegiatan Puput setiap harinya adalah berjalan kesana-kemari hampir tanpa henti. Jadi jika kami mengawasinya, maka kamipun harus mengikuti kemanapun ia pergi. Memang saat itu saya dan istri sudah sepakat untuk tidak mengurung Puput dalam kamar atau rumah, karena  hal itu hanya akan membuatnya tidak bisa belajar bersosialisasi (faktor terbesar yang menghambat perkembangan mental Puput adalah dikarenakan dia tidak mengenal konsep interaksi sosial. Bahkan sampai sekarangpun kemampuannya berkomunikasi secara verbal maupun visual-pun masih sangat rendah). Bahkan pada saat itu, Puput bisa dikatakan tidak mengenal pengertian konsep bahaya, rasa malu, rasa takut, dan rasa sakit. Pernah suatu saat dia terkena pisau hingga luka cukup dalam, bukannya menangis atau ketakutan, malah lukanya buat mainan hingga darahnya susah berhenti. Jadi pekerjaan mengemong dia adalah pekerjaan yang memerlukan kewaspadaan tinggi dan tidak boleh lengah semenitpun. Dan hal itu semakin berat saja karena saat itu Puput setiap harinya hanya tidur dalam waktu yang relatif pendek (rata-rata dia tertidur sekitar jam 1 malam dan sudah bangun lagi pada jam 5 pagi. Bahkan tidak jarang dia tidur menjelang subuh dan bangun pagi2 untuk kemudian melanjutkan kegiatan rutinnya: jalan-jalan kesana-kemari).

Setelah beberapa lama kami berjualan kue, akhirnya istri lebih dahulu diterima bekerja di sebuah pabrik garmen di dusun tetangga sebagai tukang jahit. Sesuai dengan komitment kami berdua dengan istri, maka tugas saya-lah untuk mengurus rumah-tangga dan mengemong Puput. Dan sejak itulah, pelajaran kesabaran mulai di ajarkan Puput pada saya, bapaknya. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, dimana Puput punya mobilitas yang sangat tinggi. Sedemikian tingginya, sehingga –jangankan ditinggal untuk makan- ditinggal sebentar untuk kencing-pun, dia sudah menghilang entah kemana. Dan dikarenakan Puput tidak mengenal konsep interaksi sosial, maka dapat dikatakan dia tidak pernah bergabung dengan teman2 sebayanya. Tempat tujuannya bermainpun sangat tidak umum. Kombinasi dari tidak mengenal rasa takut, bahaya, dan rasa sakit, membuatnya sering bermain di semak-semak liar berduri, atau di kebun yang tersembunyi dimana banyak binatang berbahaya berkeliaran (perkampungan tempat tinggal kami dikepung kebun dan sawah yang luas). Ditambah lagi dengan ciri khas anak penyandang autis yang tidak fokus terhadap apapun, membuat Puput hampir tidak menunjukkan reaksi apapun jika dipanggil. Jadi, kegiatan berteriak-teriak memanggil namanya saat dia menghilang entah kemana, serta celingak-celinguk memeriksa setiap jengkal semak, rumah tetangga yang terbuka pintunya atau tempat tersembunyi yang ada di sekitar dusun, merupakan pekerjaaan rutin saya sehari-hari. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab anak saya begitu populer di seluruh kampung. Karena saya hampir setiap saat berteriak memanggil namanya.

Berbicara tentang “kepopuleran” anak saya di dusun tempat kami tinggal, adalah suatu hal yang menarik. Karena dari situlah saya banyak belajar tentang hidup dan memandang kehidupan ini. Kebiasaannya yang selalu keluyuran kesana-kemari, memasuki hampir semua pintu rumah tangga yang terbuka untuk kemudian duduk2 santai di kursi tamunya, buang air kecil dan besar di sembarang tempat, jongkok berjam-jam di semak2 hanya untuk memetik daun dan menyobekinya, membuat hampir setiap orang yang ada di dusun kami (yang membentang hampir sepanjang 1km.) mengenal Puput. Begitu “populer”nya Puput, sampai-sampai setiap kemanapun dia pergi, sering anak-anak kecil mengikuti dan mengolok-oloknya. Bahkan tidak jarang, Puput jadi bahan untuk orang tua untuk menakut-nakuti anaknya jika nakal. “Hayo..nggak boleh nakal, nanti saya panggilin Puput lho..” adalah kata-kata yang tidak jarang saya dengar. Apakah saya marah? Sakit hati? Dendam? Tidak…saya sudah cukup capek mengemong anak tunggal saya itu, kenapa harus ditambah  menyiksa diri sendiri dengan memelihara penyakit marah, sakit hati, dan dendam terhadap orang lain? Lagi pula, niatan kami untuk tidak mengurung Puput di kamar demi perkembangan mentalnya, membuat kami secara tidak langsung siap menghadapi resiko apapun.

Pelajaran hidup yang saya dapatkan selama mengemong Puput selama lebih dari 3 tahun, ternyata jauh lebih banyak dibandingkan yang saya dapatkan dari kecil hingga dewasa. Pelajaran tentang kesabaran, pelajaran tentang maaf memaafkan, tentang penderitaan, kebahagiaan, benar-benar saya dapatkan secara lengkap dari anak saya. Dan pada akhirnya merevolusi pandangan saya tentang apa itu hidup, Tuhan (dan hubungannya dengan manusia), keyakinan (agama), dan manusia.

Pernah pada suatu saat, tetangga ngomel-ngomel karena Puput buang air besar di halaman rumahnya. Memang saat itu terpaksa Puput tidak saya awasi karena saya harus mencuci pakaian kotornya yang sudah bertumpuk di kamar mandi. Begitu saya mendengarnya, saya langsung meluncur ke TKP, membersihkan kotorannya sambil terus meminta maaf kepada si tetangga yang kelihatannya tidak ikhlas memaafkan (karena terus saja ngedumel), menyeret Puput pulang untuk memandikannya. Mungkin karena saat itu kondisi saya sedang capek, belum lagi ditambah dengan omelan tetangga membikin “panas hati”, membuat emosi saya memuncak. Sepanjang saya memandikannya, saya terus berteriak-teriak marah, bahkan sampai kelepasan tangan memukulnya. Dan karena sudah tak tertahankan lagi, saya akhirnya menagis dalam kamar. Pada saat itu saya begitu marah terhadap keadaan, begitu terhina, merasa begitu diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Hingga akhirnya, tiba-tiba saja Puput masuk dalam kamar (suatu hal yang jarang terjadi, karena Puput benci ruang sempit dan tertutup, itulah sebabnya dia setiap harinya lebih suka tidur di kursi tamu yang ruangnya lebih luas) dan duduk disamping saya dan memandang saya hampir tanpa ekspresi. Ketika memandang matanya yang kosong dan kelihatan damai, perasaan bersalah saya semakin menjadi. Dengan masih bercucuran air mata, saya meminta maaf padanya atas segala pelakuan saya tadi. Kemudian dia memandang saya dengan sudut matanya (ciri umum dari anak penyandang autis) dan tertawa, seakan-akan mengatakan: “Puput sudah memaafkan bapak, dan sayapun minta maaf karena sudah membuat bapak marah”. Pada saat itulah tiba-tiba pikiran saya jadi kosong seperti komputer sedang “restart”. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya bahwa selama ini saya telah salah dalam memandang hidup ini. Terus kupandang wajahnya, dan diapun terus tertawa. Sorot matanya seakan mengasihani saya. Dan pada saat itulah saya mulai sadar kalau nilai-nilai yang saya anut selama ini ternyata salah. Cara saya memandang hidup ternyata kalah jernih dibanding anak saya Puput.

Selama ini saya memandang Puput sebagai anak yang patut dikasihani karena adanya nilai-nilai sebagaimana umumnya orang “normal” yang memandang individu lain yang “tidak normal”, akan beranggapan bahwa si “tidak normal” tidak akan dapat memperoleh “kebahagiaan” karena “kebahagiaan” menurut ukuran-ukuran si”normal” tidak akan dapat dicapai oleh si “tidak normal”. Sehingga saya selama ini selalu beranggapan kalau Puput tidak akan “bahagia” seumur hidupnya karena ke”tidak-normalan”nya. Dan karena nilai-nilai dan asumsi seperti itulah yang membuat pikiran saya selalu tersiksa dan teracuni. Tersiksa oleh anggapan bahwa Tuhan telah belaku “tidak adil” terhadap kami sekeluarga. Dimana keluarga-keluarga lain mendapatkan anak “normal”, tapi mengapa saya mendapatkan anak “tidak normal”? Panas hati saya semakin bertambah ketika saya mendengar nasihat: “Bertawakallah Mas Herry, ini semua adalah cobaan Allah. Dan pasti ada hikmahnya”. Cobaan? Cobaan pale lu peang! (begitu selalu umpat saya dalam hati jika mendengar nasehat seperti itu). Kata-kata penghibur macam itu justru sangat aneh bagi saya. Sebegitu “bodoh”kah Tuhan, hingga kalau Dia ingin menguji/mencoba saya harus dengan cara “menyiksa” anak saya yang notabene adalah individu yang lain? Dalam hukum manusia saja, kalau orang mencuri ayam, pasti pelakunya yang dihukum. Bukan lalu anak atau istrinya yang diseret-seret ke penjara. Dan kalau “cobaan” itu memang untuk Puput, malah semakin aneh lagi. Pengertian ujian/cobaan adalah suatu usaha untuk mengetahui kualifikasi seseorang. Nah, kalau ujian diberikan pada anak sejak dia dilahirkan, lalu apa gunanya? Karena bayi yang baru dilahirkan seluruh kemampuannya masih nol besar. Benar-benar konsep yang aneh.

Ternyata anak saya telah mengajarkan pada saya apa itu hidup. Melebihi dari apapun yang pernah saya dapat selama ini, bahkan dari masjid-masjid atau ulama-alama yang pernah saya temui sekalipun. Allah yang “Maha Adil”, Allah yang “Maha Pengasih dan Penyayang”, tenyata dengan sangat jelas diajarkan oleh Puput kepada saya melalui tingkah laku dan cara berpikirnya yang sangat sederhana. “Keadilan” Tuhan ternyata tidak berkaitan dengan apa yang “diberikan” atau “tidak diberikan” Tuhan kepada kita, tetapi lebih mengacu pada kesempatan setiap manusia dalam mencapai “kebahagiaan” masing-masing. Tuhan memberi kesempatan yang persis sama kepada setiap manusia, apapun keadaannya, untuk mencapai “kebahagiaan” masing-masing. Saya, yang katanya manusia “normal”, mempersepsikan “kebahagiaan” dengan penuh syarat dan sarana, karena kerumitan cara berpikir saya sendiri. Sedangkan Puput, bisa mencapai “kebahagiaan”nya hampir tanpa syarat dan sarana. Jongkok berjam-jam di semak-semak untuk bermain daun dan tampak “damai” dan “bahagia”, disaat anak sebayanya yang normal merasa “tidak bahagia” karena keinginannya untuk dapat mainan atau hp yang paling baru ternyata tidak dituruti orang tuanya.

Hal di atas adalah salah satu contoh kecil dari banyak pelajaran hidup yang di ajarkan oleh anak saya yang autis kepada saya yang “normal”. Kepasrahan total saya terhadap segala apa yang telah digariskan Tuhan membuat saya tidak pernah takut lagi akan masa depan saya dan anak saya. Terimakasih ya Allah, telah melimpahkan kasih dan sayangmu kepada Puput, sehingga terlindungi dari segala “racun” dunia manusia “normal” yang tak akan pernah dimengertinya. Terimakasih ya Allah, telah menganugerahi kami seorang guru pelajaran hidup yang membuat kami jadi mantap menapaki kehidupan yang akan tetap terus menjadi misteriMu.

Salam Kompasiana.......

Bogor – Sleman, akhir Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun