Mohon tunggu...
Herry Nuryadi
Herry Nuryadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia. Berusaha berpikir sebagai manusia, dan hanya ingin bicara tentang kemanusiaan....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Bayang-bayang Megawati

15 Agustus 2014   23:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_319385" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Tribunews"][/caption]

Jika kita merunut kembali perjalanan bersejarah Jokowi dalam pencalonannya sebagai presiden hingga beliau bersama Jusuf Kalla, yang sementara ini, menurut saya memang ada baiknya jika kita menunggu keputusan final dari Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21/22 Agustus 2014 nanti, berhasil memenangkan pertarungan melawan pasangan Prabowo-Hatta, ada sepenggal momen yang bagi saya adalah sangat menentukan bagi kemenangan Jokowi-JK, yaitu seperti yang tergambarkan dalam acara “Mata Najwa” 1). Dimana dalam episode tersebut, ada satu pendapat yang sangat penting untuk digaris-bawahi sebagai representasi pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia tentang sosok Jokowi, yaitu pendapat seorang Anies Baswedan bahwa Jokowi adalah representasi dari “kebaruan” yang bisa diasumsikan sebagai figur yang terlepas sama sekali dari hubungan dengan segala “kekelaman” politik masa lalu. Dan karena “kebaruan” itulah, diharapkan Jokowi akan menjadi “Agen of Change” (Agen Perubahan) yang tidak akan terjebak dalam lingkaran setan “Politik Balas Budi”.

Asumsi tersebut di ataslah, yang akhirnya membuat saya, dan saya yakin juga banyak rekan-rekan Kompasianer lainnya yang sepaham, serta sebagian besar rakyat Indonesia, menemukan harapan baru yang layak untuk diperjuangkan sekeras-kerasnya. Karena asumsi tersebut jugalah yang memicu pilpres tahun ini menjadi ajang pertarungan yang paling “berdarah” sepanjang sejarah pilpres dalam era reformasi. Karena hanya dalam prosesi pilpres kali inilah, kubu yang berusaha mempertahankan status quo dan kubu yang memimpikan perubahan dan “kebaruan” secara frontal berhadap-hadapan dengan segala harapan dan ketakutan masing-masing. Di satu pihak, ketakutan akan kehilangan kemapanan dan kenyamanan yang selama ini mereka nikmati baik secara personal maupun komunal, membuat kubu ini melakukan segala cara untuk memenangkan pertarungan meskipun harus menabrak seluruh batasan etika dan moral, sedangkan di lain pihak, ketakutan akan hilangnya kesempatan akan "Kebaruan dan Perubahan", membuat kubu ini juga melakukan segala cara untuk memenangkan pertarungan. Hanya saja, di kubu pengusung jargon “Kebaruan dan Perubahan” punya sedikit keunggulan, dimana kubu ini mampu mentransformasikan mimpi “Kebaruan dan Perubahan” ke dalam hati rakyat yang mulai menyadari bahwa mereka selama ini hanya menjadi obyek pelengkap penderita dari konsep kebijakan pembangunan kubu status quo. Maka tidaklah terlalu salah, jika pilpres kali ini ada yang menggambarkan tidak beda layaknya “Bharatayuda”.

“Kebaruan dan Perubahan”, menjadi dua kata kunci pemompa semangat. Bagaikan mantra yang mampu memikat dan menyihir banyak kalangan masyarakat untuk aktif berperan serta dalam mensukseskan pilpres, dalam artian memenangkan pasangan Jokowi-JK yang dianggap sebagai perwujudan dari mantra tersebut. Bahkan banyak “pertapa politik” (golput) dengan penuh semangat “turun gunung” dan merapatkan barisan di belakang pasangan Jokowi-JK karena terpikat keampuhan mantra “Kebaruan dan Perubahan” yang diusung pasangan ini. Dan barisan inilah bagaikan gelombang dahsyat yang mampu meruntuhkan benteng status quo yang sebenarnya telah dirancang secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif.

Tapi ada hal yang harus selalu diingat oleh kubu Jokowi-JK. Bahwa dukungan masyarakat saat ini, terutama dari kalangan intelektual dan kalangan “melek politik” bukanlah tanpa reserve. Selama Jokowi-JK dan inner circle-nya masih konsisten merapalkan mantra “Kebaruan dan Perubahan”, maka kami akan tetap merapatkan barisan dibelakang mereka. Akan tetapi jika mereka ternyata kemudian menjadi golongan status quo baru, maka kami tidak akan ragu untuk keluar barisan dan berhadapan dengan mereka. Karena pada dasarnya, kami bukanlah pengagum figur, melainkan pengagum gagasan. Kami bukanlah kaum fanatik partai, karena kami punya pengalaman buruk terhadap sepak terjang partai yang selama ini sering mengkhianati amanat penderitaan rakyat.

Memang, meskipun di awal artikel ini saya menyarankan untuk menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan kubu Prabowo-Hatta, tapi bagi saya pribadi, pilpres sudah saya anggap selesai, karena dari prosesi sidang gugatan ternyata banyak materi gugatan yang terpatahkan sehingga sangat kecil kemungkinan hasil keputusan KPU akan dianulir oleh MK. Untuk itu, saya lebih memfokuskan pada apa tindakan politik Jokowi-JK yang pertama harus dilakukan di awal pemerintahannya.

Tadi pagi, ketika membuka inbox email, saya agak terkejut dengan masuknya email dari change.org yang akhirnya dengan antusias ikut saya tandatangani.

[caption id="attachment_319384" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Pribadi"]

14080943062052536062
14080943062052536062
[/caption]

Tidak dapat dipungkiri, dengan sistem demokrasi yang terbangun di republik ini, dimana sistem tersebut dibangun oleh kubu status quo, maka sangat kentara sekali kecenderungannya yang anti “Kebaruan dan Perubahan” karena hampir seluruh mekanisme demokrasi harus melalui sistem kepartaian yang sebagian besar adalah pendukung status quo (atau setidaknya sudah tercemari racun status quo). Sehingga mau tidak mau, apapun yang bersifat “segar dan baru”, jika ingin berkompetisi dalam mekanisme demokrasi di republik ini, harus masuk terlebih dulu dalam wadah yang didalamnya sudah “bersemayam dengan nyaman” penghuni lama yang secara kualitas sudah basi, bahkan sudah busuk dan bau. Dan kontaminasi-pun tidak dapat dihindari.

Dan gejala kontaminasi itu kelihatannya mulai menimpa Jokowi. Paskah pengumuman KPU tanggal 22 Juli, Kubu Jokowi membentuk tim transisi yang tugasnya menyelaraskan kebijakan dan program peninggalan kabinet SBY dengan kebijakan baru yang akan disusun kabinet Jokowi. Dan dalam perkembangannya, isu, rumor, dan pemberitaan semakin santer berhembus tentang kuatnya pengaruh Megawati terhadap tim transisi yang terbentuk 2) membuat banyak kalangan (termasuk saya) mulai kuatir terhadap jargon “Kebaruan dan Perubahan” yang selama ini menjadi keunggulan Jokowi. Kekuatiran akan kontaminasi dapatlah dimaklumi, Di tengah tingginya ekspektasi masyarakat terhadap Jokowi, indikasi campurtangan “kekuatan lama” yang direpresentasikan oleh Megawati beserta “inner circle”nya akan membuat aroma “Kebaruan dan Perubahan” yag selama ini melekat pada figur Jokowi akan memudar. 3) Bahkan bukan tidak mungkin, suatu saat akan muncul anggapan bahwa pemerintahan Jokowi tidak lebih dari “Rejim Status Quo Gaya Baru”.

Untuk itu, langkah politik yang harus secepatnya diambil Jokowi adalah meyakinkan konstituennya bahwa beliau masih tetap “seperti yang dulu”.  Jokowi harus tetap menyadari bahwa tidak sedikit dari pemilihnya adalah kalangan mantan “pertapa politik” yang akhirnya mau “turun gunung” hanya karena terpikat dengan mantra “Kebaruan dan Perubahan” yang dirapalkan oleh Jokowi. Bukan hanya sekedar karena figur Jokowi, Jusuf kalla, Surya Paloh, atau Muhaimin Iskandar, apalagi figur Megawati.

Di kalangan konstituen Jokowi, banyak yang beranggapan (termasuk saya) bahwa Megawati dan “inner circle”nya bisa menjadi “kartu mati” bagi kredibilitas pemerintahan Jokowi. Kesalahan dan dosa masa lalu kubu Megawati, seperti kasus BLBI dan korupsi, akan menyandera pemerintahan Jokowi. Citra Jokowi yang seakan terjebak dalam bayang-bayang Megawati harus segera dieliminir, jika tidak, bukanlah hal yang tidak mungkin kami akan keluar barisan dan secara frontal menghadang untuk menagih suara dan harapan yang telah kami titipkan.

Meskipun begitu, khususnya saya, hingga saat ini masih tetap percaya, bahwa Jokowi-JK tidak akan gegabah mengorbankan harapan bangsa ini hanya untuk melindungi kepentingan beberapa gelintir orang yang sebenarnya memang tidak layak untuk dilindungi. Karena secara empiris, Jokowi pernah mengalami ujian sejenis saat memimpin DKI, dan berhasil melewatinya dengan baik.

Oh ya, ada satu pesan saya kepada Jokowi: Kalo lo asyik, gue juga asyik. Ok bro?......

Salam Kompasianer....

Catatan kaki:

1) https://www.youtube.com/watch?v=POqC7XnhbEM

2) Lihat Majalah “Tempo” Tgl. 11-17 Agustus 2014, halaman 33-37.

3) http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140811_polemik_hendropriyono.shtml

https://www.change.org/id/petisi/tolak-am-hendropriyono-di-pemerintahan-jokowi-do2-dan-pak-jk?alert_id=NMGGtYmvaM_SE90PSInTg%2B60LzFrB%2BsEMP5lxMJwdFAALaty6Xq6AzmrONEGbMm6czfvhZM%2FZJX&utm_campaign=118025&utm_medium=email&utm_source=action_alert


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun