Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ini Cara Mengatasi Persoalan Hidup Versi Saya Sendiri

20 Agustus 2020   17:17 Diperbarui: 20 Agustus 2020   17:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini kita memang sudah sangat akrab dengan kesulitan atau persoalan hidup. Terutama paling populer adalah karena pandemi corona atau Covid-19. Beragam rupa bentuk kesulitan pun muncul, seperti tiba-tiba kehilangan pekerjaan, penghasilan berkurang, rezeki menjauh entah ke mana, hingga problem kesehatan. Semua itu dialami sebagian besar orang, termasuk saya.

Menjadi bagian dalam kelompok orang yang mengalami kesulitan, tentu saja saya tak tinggal diam. Kesulitan atau persoalan hidup harus direspons, diatasi. Saya tak boleh bengong saja, menunggu nasib, bahkan jangan sampai terlalu lama meratapi kesedihan karena kesulitan. Untuk itulah, saya tergerak hati untuk menuliskan cara merespons persoalan atau kesulitan hidup itu, di sini.

Hal pertama yang saya lakukan adalah panik! Jika kesulitan datang dengan tingkatan yang supersulit, tentu respons pertama yang sangat mudah adalah panik, kalut, sulit mengendalikan diri, bingung. Tak heran ketika banyak orang berucap, "Duh, gimana nih. Tak ada lagi deh yang bisa dikerjakan."

Itu sangat wajar, manusiawi. Namun, ubah segera kepanikan itu dengan ketenangan, lalu lakukan proses mencari. Waktu itu saya kehilangan pekerjaan karena kantor tempat saya bekerja ditutup oleh yang punya. Menganggur dong. Betul. Awalnya panik mau kerja apa, lalu saya mencoba mengisi waktu menunggu hadirnya pekerjaan baru, dengan cara menulis.

Itu yang memang saya bisa. Menulis. Saya menulis banyak naskah di waktu-waktu awal menganggur lalu mencari penerbit yang mau menerbitkan karya-karya saya. Proses mencari dilakukan! Beberapa waktu kemudian, entah kebetulan atau tidak, ada penerbit yang sedang membutuhkan jenis naskah seperti yang saya tulis. Klop! Singkat cerita, diterimalah banyak naskah saya di penerbit tersebut hingga sekarang. Royalti buku akhirnya bisa menjadi solusi untuk membiayai kehidupan sehari-hari.

Tak hanya itu, istri saya yang semula fokus sebagai ibu rumah tangga, lalu memberanikan diri mengawali berjualan pempek. Pahit getir memang harus dirasakan untuk memulai usaha, apalagi hal tersebut belum pernah dilakukan. Namun, tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Laku juga kok jualan pempeknya. Maka bergabunglah penghasilan saya dari royalti buku dengan keuntungan dari berjualan pempek. Hmmm... pernah beberapa kali saya mengantar pempek pesanan teman-teman redaksi di beberapa penerbit yang kantornya di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah. Namun, saat itu saya belum menulis di Kompasiana, jadi pempek bikinan istri tidak mampir di kantor redaksi Kompasiana. Hehe...

Diawali dari kepanikan lalu mendapatkan jalan untuk memperoleh rezeki. Memang tidaklah besar jumlah rezekinya tapi itu sudah sangat membantu dan kami bisa bernapas lega. Hidup pun mengalir kembali!

Langkah kedua, sebenarnya juga bisa bersamaan dengan cara pertama, yakni gali potensi yang ada di dalam diri kita sendiri. Saya berbakat menulis dan saya memahami itu dengan sangat baik. Jadi, ketika kehilangan pekerjaan sebagai orang kantoran, maka saya memanfaatkan potensi saya tersebut. Saya menulis, saya mencari penerbit, saya menghubungi beberapa relasi minta sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan peluang saya untuk menerbitkan naskah yang saya tulis.

Istri saya pun waktu itu melakukan hal yang sama. Ia menggali potensinya dalam hal memasak. Karena asli Palembang dan lidahnya sudah sangat mengenal rasa pempek yang enak, maka dimanfaatkanlah potensi atau kemampuan bikin pempek. Awalnya malu karena belum pernah berjualan, namun keberanian untuk malu itulah yang menggerakkan istri saya untuk berusaha meretas jalan sulit.

Sampai sekarang, banyak orang mengakui bahwa rasa pempek istri saya enak. Dari teman-teman saya yang pesan pempek, juga mahasiswa yang waktu itu mampir di warung kami hingga ibu-ibu, anak-anak, dan orang dewasa lainnya, mereka mengakui betapa enaknya pempek bikinan istri. Ini mengingatkan saya bahwa pengorbanan tak akan sia-sia jika kita tulus melakukan usaha, meski pada awalnya diawali dengan kepepet, terpaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun