Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Ukier Plawang, Nasi Goreng Kecombrang, dan Pelukan Alam

6 Oktober 2025   17:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   21:51 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu siang (4/10/2025), setelah berhasil berburu bibit pohon mangga Kiojay- varietas mangga asal Thailand, dan jambu Kesuma Merah varietas jambu air unggul yang dikembangkan di Binjai, Sumut, Mas Prapto beserta Mbak Yuni mengajak menikmati nasi goreng kecombrang di Ukier Plawang Restaurant.

Jarak dari Embun Pagi (penjual bibit pohon buah) di Sanggrahan, Sleman ke Ukier Plawang, Jalan Pakem-Turi, Girikerto, Sleman, sejauh sebelas kilometer, kami tempuh dalam waktu tidak kurang dua puluh menit. Jika dari pusat kota Yogyakarta, Ukier Plawang berjarak sembilan belas kilometer ke arah gunung Merapi.

Loro Blonyo Selamat Datang/Foto: Hermard
Loro Blonyo Selamat Datang/Foto: Hermard
Begitu masuk dari pintu utama, tamu seketika merasakan aura suasana etnik Jawa. Ada sepasang patung loro blonyo dan seperangkat gamelan.

Dalam budaya Jawa, loro blonyo dimaknai sebagai keselarasan hidup, kesatuan lahir batin, kesetiaan, keharmonisan, rezeki, keindahan, dan kesederhanaan. Sedangkan gamelan memiliki makna filosofis sebagai harmonisasi, kesadaran dan kejelasan dalam mengambil keputusan mencapai tujuan hidup.

Melintasi ruangan itu diharapkan para tamu merasa bahagia, memiliki kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan: nrima ing pandum, seneng ati sugih kersa- ikhlas/legawa, kaya hati dalam kebahagiaan.

Sayangnya saat kami datang, tidak ada penabuh gamelan dan waranggana (sinden), sehingga tidak dapat menikmati alunan tembang Jawa secara live. Padahal sudah terlintas dalam pikiran laras tembang "Rujak Jeruk" dan "Caping Gunung": Dek jaman berjuang/Njur kelingan anak lanang/Mbiyen tak openi/Neng saiki ono ngendi...

Melintas di antara Dhandanggula dan Gambirsawit/Foto: Hermard
Melintas di antara Dhandanggula dan Gambirsawit/Foto: Hermard
"Pak, kita langsung ke belakang saja. Pilih meja di tepi kali," saran Mbak Yuni yang lebih dari tiga kali ke sini.

Meskipun dari depan bangunan joglo sudah menjanjikan kenyamanan, tetapi saat masuk jauh kedalam, melewati dua bangunan berseberangan dengan gebyog penuh ukiran, di atas pintu bangunan sebelah kanan tertulis Dhandanggula dan di sisi kiri Gambirsawit, terlihat pemandangan outdoor begitu luas menakjubkan.

Alam membentang/Foto: Hermard
Alam membentang/Foto: Hermard
Kami terus menuruni beberapa anak tangga. Melewati bangunan joglo terpisah di sisi kiri. Persis di depan kami terlihat deretan bangku dengan meja kecil kayu memanjang langsung menghadap ke kali. 

Di seberang kali terdapat beberapa gazebo dan deretan meja kursi dinaungi payung-payung berukuran besar. Untuk mencapai tempat itu, kami harus melewati jembatan kecil dan menuruni beberapa anak tangga lagi.

Melintasi kali Sempor/Foto: Hermard
Melintasi kali Sempor/Foto: Hermard
Mas Prapto memilih meja berjarak hanya beberapa jengkal dari bibir sungai Sempor. Suasana romantis terasa seperti puisi kedamaian alam yang memeluk kami: di antara keteduhan pepohonan, sepoi semilir angin mengabarkan kerinduan, gemericik air sungai tak berkesudahan, dan bebatuan di bening air kali mengingatkan kenangan masa lalu.

Menikmati suasana/Foto: Hermard
Menikmati suasana/Foto: Hermard
"Sudah dipilih pesanan menunya Pak, Bu?" tanya waitress yang mendatangi kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun