Disinggung mengenai alasan menerbitkan Risalah Sunyi, antologi puisi bersama, dengan biaya pribadi, Yuliani menyatakan  bahwa ini merupakan keinginannya  dalam mensyukuri ulang tahunnya. Bentuk perwujudan punya buku rembugan bareng para sahabat, tidak peduli ia penyair atau bukan.
"Hal yang terpikirkan, temanya  menulis tentang bulan kelahiran masing masing. Dengan harapan ketika buku ini menjadi nyata, bisa menjadi kado bersama. Mencerminkan persahabatan yang memiliki vibes positif. Bersama berkarya, bersama menjaga keberadaan puisi," ujar Yuliani tersenyum bangga.
Antologi Risalah Sunyi dihadirkan tidak bermaksud meligitimasi seseorang menjadi penyair. Yuliani menghimpun teman-teman dekatnya (entah penyair atau bukan) lewat penerbitan buku puisi. Nama-nama penyair tersohor yang terlibat, antara lain Mustofa W Hasyim, Bambang Widiatmoko, Afnan Malay, Dedet Setiadi, Kurnia Effendi, Umi Kulsum, Isbedy Stiawan ZS, Simon HT, Sutirman Eka Ardhana, Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan Wanto Tirta.
Puisi-puisi bertema bulan kelahiran, memiliki berbagai persoalan yang melingkupi penulisnya. Puisi-puisi dalam Risalah Sunyi merupakan ruang kritik, pengakuan, dan penemuan kembali makna manusia di tengah dunia yang kian kompleks.Â
Setidaknya, puisi ciptaan  Latief Noor Rochmans, Joshua Igho, Indro Suprobo, dan Sonia Prabowo merupakan cerminan kegelisahan manusia menghadapi waktu, eksistensi, dan perubahan.
Puisi "Etalase Kelahiran"  (Latief Noor Rochmans) memgedepankan kritik terhadap determinisme sosial melalui citraan  buku takdir dan etalase bulan kelahiran- menandai manusia sebagai objek dalam sistem kehidupan.Â
Kritik terhadap struktur sosial yang acapkali mengekang pilihan individu: kelahiran bukanlah awal kebebasan, tapi justru individu terjebak dalam sistem sosial terhadap kelas, agama, budaya, bahkan negara.
Puisi "Membongkar Tembok" Â (Indro Suprobo), memaknai kelahiran bukan hanya secara fisik, melainkan juga spiritual dan intelektual: panggilan guna membuka pikiran dari belenggu ideologi, otoritas, atau tradisi. Dalam konteks ini, sosok YB Mangunwijaya tampil sebagai figur pencerah, mendorong pembebasan batin dan sosial.
"Bongkarlah tembok-tembok yang angkuh dan jangkung /Supaya kau tidak seperti katak dalam tempurung"
Matamu tajam menghardik dalam balutan kaos oblong dan sarung /Rambut putih terburai dilukis waktu yang semakin menghujung
Itu ingatan selalu hadir di kesendirian hari kelahiran /Menyeru-nyeru, menggoncang pikiran sebagai didikan
Penulis lain, Joshua Igho, melalui "Kepada Chairil", memunculkan suasana  satir terhadap dunia sastra dan sejarah yang mengkultuskan Chairil Anwar. Ungkapan sajak-sajak kalah meradang dan sapi-sapi yang akan terhibur oleh puisi Chairil mengandung ironi: sastra yang dulu revolusioner kini seakan hanya menjadi tontonan semata.