Pada saat menjelang bulan Ramadhan, trotoar yang ada di depan pasar tradisional Kranggan, sebelah barat Tugu Pal Putih, tepatnya di sisi utara Jalan Diponegoro, Yogyakarta, selalu disesaki penjual bunga tabur (kembang setaman) hingga tumpah ke sepanjang trotoar di sisi barat. Beberapa penjual yang datang musiman  berasal dari berbagai wilayah seputar Yogyakarta.
Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Bagi orang Jawa, sepuluh hari menjelang Ramadhan, ada tradisi/ritual turun-temurun yang harus dijalankan, yaitu tradisi ruwahan/nyadran atau nyekar ke makam leluhur.
Dari deretan penjual bunga tabur di depan pasar Kranggan, ada sosok perempuan tengah baya, Rodiyah yang selalu sigap melayani pembeli.
"Saya sengaja menjual bunga tabur untuk nguri-nguri tradisi," papar Rodiyah.
Perempuan ini datang dari wilayah Getas, Cebongan, Sleman, berjarak sepuluh kilometer dari pasar Kranggan. Ia melanjutkan usaha ibunya.
"Kalau menjelang puasa, pasti jualan bunganya ramai seperti ini, Mas. Harga menjadi selangit. Ini segini saja harganya satu juta," jelas Rodiyah (18/3/2023) sambil menunjuk poncotan bunga mawar di sampingnya.
Kata ruwah konon bisa dimaknai sebagai ngluru arwah atau menelusuri/mencari arwah untuk menghormati para leluhur dengan berziarah, tabur bunga, sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, tradisi ruwahan/nyadran dimulai dengan berkumpul bersama di rumah tetua atau di seputar makam menyelenggarakan selamatan/kenduri dengan pembacaan Alquran, zikir, dan doa, diakhiri makan bersama. Kemudian bersama-sama membersihkan makam leluhur, dilanjutkan ziarah (nyekar).
Banyaknya masyarakat yang tetap nguri-nguri tradisi ruwahan, menyebabkan keperluan terhadap bunga tabur meningkat tajam, harganya juga melangit.
"Alhamdulillah Mas, ruwahan bisa menambah penghasilan saya menghadapi bulan Ramadhan. Tradisi mampu memberi saya tambahan rezeki untuk bertahan hidup," ucap Rodiyah penuh rasa syukur.