Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Antara Aku, Ayah, dan Mak Ali

4 Maret 2023   19:46 Diperbarui: 4 Maret 2023   19:51 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memandang ke laut/Foto: Hermard

Saat sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, apakah Anda bisa mengingat siapa nama-nama teman/guru saat  SD, peristiwa-peristiwa apa saja yang kita lalui saat kanak-kanak, siapa teman-teman sebaya kita? Ingatan kita sangat terbatas. Mungkin tak lebih dari lima nama atau peristiwa yang dapat kita ingat dengan baik.

Peristiwa dalam Ingatan

Orang boleh saja berpikiran bahwa aku adalah sosok yang agak aneh, terkadang terlalu ngayawara atau mengada-ada. Pendapat ini tentu harus aku terima dengan lapang dada karena sejak kanak-kanak aku memang sudah dianggap sebagai "orang gila" yang selalu berteriak- teriak sendiri membaca sajak atau puisi. 

Anak-anak membaca puisi/Foto: Hermard
Anak-anak membaca puisi/Foto: Hermard
Saat itu aku duduk di bangku sekolah dasar SD Negeri 5, Kuala Tungkal, Jambi, salah satu wilayah orang Bajau, nelayan, di Sumatera.
Saat mulai duduk di kelas IV, aku mengenal dengan baik puisi "Aku", "Diponegoro", "Kerawang-Bekasi", "Gadis Peminta-minta", dan beberapa puisi lainnya. 

Puisi
Puisi "Aku" awalnya berjudul "Semangat"/Foto: Hermard
Meskipun aku berada di lingkungan masyarakat yang gemar mendengarkan sandiwara radio lewat siaran  dari Malaysia atau Singapura, tetapi membaca puisi adalah sesuatu yang tidak lazim. Mereka lebih dekat dengan tradisi mengaji (tadarus) dan mendengarkan musik gambus. Tidak ada celah atau ruang yang nyaman buat puisi.

Penduduk Kuala Tungkal pada tahun 1970-an awal didominasi oleh orang Tambi/Keling (India) yang umumnya berprofesi sebagai pedagang kain, di samping orang Tionghoa yang memajang pakaian jadi, tas, jam, perhiasan emas, peralatan dapur, dan beberapa di antara mereka membuka rumah makan. 

Sedangkan penduduk asli berprofesi sebagai petani dan nelayan. Mereka membuka ladang perkebunan atau mencari ikan di lautan lepas bersama suku Bajau  berasal dari Bugis.

Perahu tengah bersandar/Foto: Hermard
Perahu tengah bersandar/Foto: Hermard
Hiburan yang mengasyikan hanya ada tiga macam, yaitu mendengarkan sandiwara radio, menonton film india lewat layar televisi hitam putih, atau menonton Mak Ali naik motor gede di jalan berbalut aspal.

Di kampungku, pesawat televisi hanya ada satu-satunya, yaitu milik Kepala Pabean/Doane (Bea dan Cukai) yang ditaruh di ruang tamu rumahnya. Tidak setiap malam kami dapat menyaksikan acara telivisi (film action/koboi, drama India, olah raga) karena listrik dinyalakan secara bergiliran.

Tidak seperti teman-teman sebaya lainnya, aku dibebaskan nonton kapan pun aku mau. Alasannya berkaitan dengan ayahku (kepala kantor salah satu instansi pemerintah) yang kerap diundang ke rumah Kepala Bea dan Cukai saat salah seorang keluarganya kemasukan roh halus.

Ayahku dikenal sebagai "orang pintar" yang pandai mengusir roh jahat, sebuah "kelebihan" yang nyaris menular kepadaku karena aku sempat membaca berbagai mantra (rapal) yang ditulis ayahku dalam buku bergaris bersampul kertas kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun