/1/
Fenomena  menarik dalam perkembangan karya sastra Indonesia adalah munculnya beberapa karya sastra yang berusaha mengedepankan subkultur berbagai budaya daerah sebagai elemen pembentuk cerita. Novel Sitti Nurbaya (1922) dan Azab dan Sengsara (1921) berupaya mengangkat subkultur ranah Minangkabau.
Novel Orang Buangan (Harijadi S. Hartowardoyo, 1971) dan novelet Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam, 1975) memperkenalkan budaya Jawa, Pulau (Aspar, 1976) menampilkan subkultur Bugis atau Makasar, Upacara (Korie Layun Rampan, 1978) menampilkan latar subkultur masyarakat Kalimantan, dan Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya, 1971) mengedepankan subkultur Bali.Â
Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya mempertimbangkan eksistensi sastra sebagai medium komunikasi budaya. Di samping karya sastra harus dipelajari dalam konteks  seluas- luasnya. Karya  sastra merupakan hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.Â
Sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial.Â
Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi-intuisi yang hidup dalam masyarakat dihayati oleh sastrawan dan diendapkan dalam dirinya, kemudian diungkapkan kembali lewat karya sastra yang memiliki spesifikasi estetik imajinatif. Â
Dengan adanya tiga peranan tersebut, pengarang dalam mewujudkan karya sastra dipengaruhi oleh lingkungan dan interes pribadinya  (merupakan bagian dari suatu elemen dalam struktur masyarakat yang lebih luas).Â
Sastra bukan sekadar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya; sastra merupakan rekaman atas tata cara zamannya  suatu perwujudan macam pikiran tertentu.Â
Lebih tegas, Grabstein (dalam Damono) menyimpulkan bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan yang menghasilkannya.
/2/
Hal menarik dalam perkembangan karya sastra (khususnya prosa) Indonesia pada tahun 1980-an ditandai dengan terbitnya beberapa karya sastra yang berusaha mengangkat latar Jawa lewat fakta sastra sebagai elemen pembentuk cerita.Â