Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Sastra Jawa Modern: Dunia Malu-malu Kucing

20 Januari 2023   15:21 Diperbarui: 20 Januari 2023   22:28 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Gagaran Lampah/Foto: Hermard

Budaya Kritik: dari Serat Wicara Keras sampai Tapa Pepe
Keluhan berkepanjangan mengenai keberadaan kritik sastra Jawa modern sampai hari ini masih terdengar lantang, meskipun masyarakat Jawa sesungguhnya sudah mengenal budaya kritik lewat kehadiran Serat Wicara Keras karya Jasadipura II, ditulis pada tahun 1789 dan selesai pada tahun 1816 di Surakarta. Karya ini berisi kritik terhadap Pakubuwana IV yang berpihak kepada Belanda karena ingin merebut kembali daerah Yogyakarta. 

Serat Wicara Keras sebenarnya merupakan ekspresi kemarahan, namun dilakukan dengan halus menggunakan bahasa dan pilihan kata (diksi) yang indah, memanfaatkan tembang macapat sebagai bentuk pengungkapannya.  Pilihan cara pengungkapan kritik secara tidak langsung merupakan salah satu penyebab naskah Serat  Wicara Keras sangat populer pada zamannya. Keunikan lain naskah ini karena pada setiap bagian  (pupuh) mempunyai pokok pemikiran berbeda-beda, selain itu di dalamnya tersusun aturan-aturan mengenai tembang macapat. 

Kritik lewat karya sastra Jawa tradisional juga disampaikan Ranggawarsita (pujangga terakhir dari kasunanan/kerajaan Surakarta) lewat Serat Kalatidha, memuat gambaran pada masa pemerintahan Pakubuwana IX yang dinilai penuh ketidakadilan. Kritik tersebut dilontarkan lewat salah satu ungkapan amenangi jaman edan, yen ora edan ora keduman. 

Memasuki zaman gila, jika tidak (ikut) gila tidak akan mendapatkan apa-apa. 

Serat Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860, konon syair ini diciptakan Ranggawarsita karena merasa kecewa pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Penyebabnya adalah ketidakadilan, krisis terjadi disegala bidang dan ia menyebutnya sebagai (zaman) gila/edan. Serat Kalatidha merupakan sebuah syair, terdiri atas 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita.

Kala berarti 'zaman' dan tidha berarti 'ragu', jadi kalatidha berarti 'zaman penuh keraguan'.

Meskipun  demikian, ada yang berpendapat bahwa pengertian kalatidha adalah zaman edan. Asumsi ini dengan mengambil makna dari bait ke tujuh Serat Kalatidha: Amenangi jaman edan/Melu ngedan nora tahan/Yen tan melu anglakoni boya keduman/Begja-begjaning kang edan/Luwih begja kang eling klawan waspada, artinya 'Berada pada zaman edan/Kalau ikut edan tidak akan tahan/Tapi kalau tidak ngikuti edan tidak kebagian/Sebahagia-bahagianya orang yang edan/Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada'.

Bentuk kritik lainnya yang sempat muncul dalam tradisi kehidupan masyarakat Jawa berupa praktik aksi protes dengan berjemur  (pepe).  Pada era kerajaan Surakarta, kegiatan protes dilakukan secara perorangan maupun berkelompok. Tempat menggelar aksi tapa-pepe di alun-alun keraton. Protes masyarakat ini tidak dianggap sebagai "pembangkangan" terhadap raja karena berlangsung dalam konteks posisi raja sebagai "pengemban keadilan"--perwujudan konsep manunggaling penguasa dan kawula, sehingga aksi tapa pepe  diakui sebagai hak rakyat dalam mengajukan pendapat, mengkritisi kebijakan raja.
 
Kritik Sastra Jawa Modern di Bawah Bayang-bayang Pemikiran Para Ahli
Tulisan berkaitan dengan kritik sastra  Jawa modern sudah dibahas dalam beberapa buku terbitan, antara lain Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (J.J. Rass, 1985), Problematik Sastra Jawa: Sejumlah Esai Sastra Jawa Modern (Suripan Sadi Hutomo dan Setyo Yuwono Sudikan, 1988), Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (Poer Adhie Prawoto, 1991), Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern (Poer Adhie Prawoto, 1991), Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi, Isi, dan Struktur (Sapardi Djoko Damono, 1993), Novel Berbahasa Jawa (George Quiin, 1995),  Sistem Kritik Sastra Jawa Modern: 1966---1980 (Sri Widati, 1998), Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (Edi Sedyawati dkk., 2001), Sastra Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (Tirto Suwondo, 2011), dan Gagaran Lampah: Antologi Esai Sastra Jawa (dieditori Sugito HS dan Sukandar, 2016). 

Cover  Novel Berbahasa Jawa/Foto: Hermard
Cover  Novel Berbahasa Jawa/Foto: Hermard
Beberapa buku tersebut memiliki benang merah berkaitan dengan situasi kritik sastra Jawa modern yang malu-malu kucing, terperangkap dalam budaya ewuh pekewuh, meskipun ia sangat diperlukan dalam pengembangan produktivitas dan kualitas karya sastra Jawa modern. Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan sastra Jawa, kritik sering menciptakan ketegangan antarindividu, kritikus sering dinilai nunggak krama atau tidak sopan. 

Sejak awal kehadirannya, kritik sastra Jawa sudah terjebak di antara dua kutub ungkapan  ngono ya ngono ning aja ngono dan wong Jawa nggone semu. 

Jadi, salah satu ukuran kultural yang penting bagi orang Jawa ketika menentukan sesuatu (karya) itu baik atau buruk adalah tetap dengan santun, mengedepankan nilai rasa dan berperilaku alus sebab secara geneologis pada dasarnya masyarakat Jawa lebih mengutamakan kerukunan dengan cara menghindari konflik.

Cover Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern/Foto: Hermard
Cover Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern/Foto: Hermard
Dalam Sarasehan Sastra Jawa di Surakarta pada tahun 1983, Muryalelana menyampaikan bahwa kritik sastra Jawa sangat diperlukan untuk kepentingan sastrawan maupun pembaca, namun dalam kenyataannya tidak banyak orang berminat masuk ke dunia kritik karena adanya keengganan melakukan kritik.  

Susilomurti lewat tulisan "Situasi Sastra Jawa Dewasa Ini" dalam Sarasehan Pengarang Sastra Jawa pada tahun 1986 memaparkan kegelisahannya  bahwa faktor yang sungguh terasa pincang dalam perkembangan sastra Jawa adalah dengan tidak hadirnya kritikus sastra  Jawa modern yang diharapkan mampu menjadi penyuluh dan jembatan antara pengarang dan pembaca, belum ada satu pun kritikus sastra Jawa yang muncul dan memberi penilaian tegas serta menemukan garis-garis lurus kesusastraan Jawa modern. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun