Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Hati Lelaki Sunyi

19 November 2022   11:43 Diperbarui: 19 November 2022   11:44 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Suara Hati Lelaki Sunyi
Herry Mardianto

Setelah menua, aku baru menyadari dan menyesali perjalanan hidupku yang lurus-lurus saja. Mengapa aku begitu taat  menjalani hidup ini, tidak pernah berbelok sekali pun, sedikit pun. Padahal setiap jalan pasti punya belokan, setidaknya ada kelokannya. Mengapa sebagai laki-laki aku tak berani berubah pikiran  untuk sesekali menjelma menjadi seekor kucing? Ya, sebaik-baiknya kucing, ia tetap rakus. Meskipun di rumah diberi makan daging enak, empuk,  lezat, tetap saja ia mengembara, berpetualang, mengembat ikan asin di  rumah tetangga. Kucing saja dapat merasakan daging empuk lezat dan ikan asin semaunya, sedangkan aku? Selama menjelajahi lorong-lorong kehidupan, aku hanya setia pada senyuman Irma yang sudah aku nikahi dua puluh  tahun lebih. Aku tidak tahu  persis, apakah aku benar-benar tidak merasa bosan dengan cara tersenyumnya yang begitu-begitu saja dan belakangan ini bahkan terkesan dibuat-buat, direkayasa agar aku tetap memujanya. Ah, mengapa aku tak pandai memberi warna atau  sensansi dalam alur kehidupan yang penuh kilau dan lika-liku ini? Toh sesekali melakukan kesalahan dengan memanfaatkan kesempatan demi membahagiakan diri sendiri tidak ada salahnya?
"Sekarang kamu baru menyesal? Setelah Rosi menceritakan dengan fasih dan bangga betapa suami sahnya kawin lagi untuk ketiga kalinya?" tanya suara hatiku.
Kemarin siang, Rosi datang ke rumah menemui istriku. Mereka bercerita seru di beranda dan aku mendengarkan dari kamar depan sambil memperhatikan mereka berdua lewat jendela kamar berukuran cukup lebar. Aku seakan menyaksikan acara talkshow lewat layar televisi.
"Bukankah Mas Har sudah memasuki usia kepala lima Ros?" tanya Irma, istriku.
"Zaman sekarang Ir, perempuan mana yang bisa menolak gula-gula manis berupa mobil, rumah, dan uang jajan? Soal wajah dan umur tak penting! Lagian dari dulu Mas Har memang mata keranjang. Senang menghambur-hamburkan uang. Berulangkali  kukatakan  padamu jika laki-laki itu tak lebih dari buaya darat, kalau bisa semua perempuan diembat!"
"Emang perempuan mana yang digandeng suamimu?"
"Katanya mereka bertemu di tempat karoke di Jakarta  Selatan saat Mas Har menggarap proyek properti di daerah Pondok Indah. Winda merupakan lady escort primadona di situ. Muda, cantik, mulus, dan tubuhnya padat berliku. Mereka menikah setahun lalu, bahkan sekarang sudah punya anak, tinggal di Kalimantan."
"Terus?"
"Permintaanku  punya rumah di Yogya dipenuhi Mas Har. Aku dibelikan rumah di kompleks elite Lotus Residence. Anak-anak dibelikan laptop untuk keperluan sekolah."
"Kau tidak cemburu?"
"Ha...ha...cemburu? Itu kuno kali! Toh di sini aku bebas jalan dengan siapa pun yang kusuka. Selama Mas Har dapat memenuhi kebutuhanku dan anak-anaknya, aku tak masalah dia mau menikah sampai seratus kali pun.  Mereka lalu berbisik, sebentar kemudian  tertawa lepas bersamaan.
Aku mencuri pandang ke arah Rosi, wajahnya mirip artis terkenal, lekuk tubuhnya adalah segumpal kerinduan paling sempurna bagi lelaki manapun, meskipun umurnya sudah masuk kepala tiga. Suaminya sungguh lelaki  paling beruntung.
"Beraninya cuma membayangkan. Aku bertaruh   seandainya saat ini Rosi  mengedipkan mata kepadamu, pasti kau tak berani membalasnya," suara hatiku mengejek sinis.
"Tapi dia teman baik istriku...."
"Bukankah sejak lama bayangan  Rosi diam-diam menyelinap di kepalamu?"
"Kata siapa?" jawabku sekenanya, "Aku tak akan sanggup memenuhi keperluannya."
"Dasar laki-laki pengecut! Dulu saat masih kuliah di Sastra UGM dan Sisca minta tolong diantar ke Kaliurang, kau juga tak mempunyai nyali."
Kali ini aku hanya membisu. Di dalam mobil malam itu hanya ada kami berdua. Sisca, adik kelasku, tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahuku. Harum tubuhnya menyeruak membuat aku berdebar. Aku menjadi gelagapan, hanya membiarkan apa yang dilakukan Sisca tanpa berani membalas,  takut konsentrasiku buyar  dan mobil mengalami kecelakaan.
"Jelas kau tak punya nyali. Pengecut.  Punya imajinasi, tapi cuma sekuku!" ejek suara hatiku.
"Saat itu aku belum punya keberanian," kilahku.
"Alasan! Bagaimana kau bisa punya keberanian kalau tidak pernah memulai? Kau ingat perempuan bernama Tari? Ibu muda dengan seorang anak? Lupa? Atau pura-pura lupa?"
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan Tari. Saat bercerai dengan suaminya yang seniman kondang, aku adalah tempat tambatan hatinya. Setia menemaninya. Beberapa bulan kemudian tanpa tedeng aling-aling ia memujiku. "Mas Tarno  hebat, bisa mengerti hati perempuan, pintar, humoris, dan menyenangkan...." Tari tersenyum manis sambil meraih pundakku ketika kami menyusuri Malioboro. Aku hanya bisa tersenyum dan menghela napas panjang saat tubuhnya menggelendot manja.
"Ternyata kau memang laki-laki dingin.  Tak punya sensasi terhadap perempuan," suara hatiku berkoar lagi.
"Tapi aku sudah menikah dengan Irma."
"Apakah pernikahan harus membuat hasrat laki-laki untuk bersenang-senang menjadi mandul? Bukankah Tari sejak awal tahu persis kau sudah beristri, punya anak, punya banyak duit?"
"Aku takut merusak pertemanan..."
"Mbelgedes! Dasar laki-laki  kaca mata kuda! Kesempatan bersenang-senang bersama Tari hanya meninggalkan sayatan luka mendalam bagi perempuan kesepian itu."
"Aku meninggalkan luka? Mana mungkin aku setega itu...."
"Kau saja yang tak peka terhadap perasaan perempuan!"
"Maksudmu?"
"Coba saja kau mengingat kejadian saat Tari mengundangmu ke rumahnya...."
Tari memang mengundangku makan siang. "Sesekali aku ingin membalas kebaikan Mas Tarno. Aku masakan tumis kerang hijau spesial kesukaan Mas. Datang ya besok siang ke rumah. Jangan lupa bawa kamera, aku ingin dipotret fotografer jagoan...."
Begitulah permintaan Tari di ujung pertemuan kami  di kafe "Kopi Aja Lali". Esok harinya aku bertandang ke rumah Tari.
"Kok sepi?"
"Iya, tunggu sebentar Mas, aku ganti pakaian dulu. Kan enggak enak difoto dasteran. Duduklah...." Tari bergegas masuk kamar. Tak berapa lama kenudian ia muncul dengan make up tipis, mengenakan blus putih dan rok jins span mini. Siang itu aku tak sempat  menghitung berapa kali Tari berganti pakaian.  Tari minta difoto di ruang tamu, ruang tengah, taman belakang. Hal yang ada dalam ingatanku adalah saat makan siang perempuan itu selalu tersenyum renyah. Dan saat melihat hasil jepretan dari layar kamera, tubuhnya begitu dekat, sehingga aku berdebar. Beberapa kali tubuhnya merapat ketubuhku. Aku tak bisa berkutik karena tak tahu harus berbuat apa.
"Kamu memang goblok, segoblok-gobloknya lelaki. Sukanya menyiksa perempuan, lelaki yang tak bisa membaca isyarat. Lelaki kampungan! Lelaki egois!" suara hati mencerca seenaknya.
"Aku sudah menuruti permintaannya. Aku memotret Tari berkali-kali..."
"Tapi kau tak memahami isyarat yang diberikan wanita dewasa.  Engkau sangat keterlaluan! Kau tak mengerti kalau malamnya wanita itu menangis kecewa."
"Menangis?"
"Ia merasa dicampakan lelaki berhati batu. Tak punya perasaan. Tak ada artinya ia mempercantik diri. Lihatlah kembai dengan serius foto-foto Tari hasil jepretanmu!"
Sejujurnya aku terkejut  saat mengedit foto-foto Tari di layar laptop.  Beberapa ekspresinya memperlihatkan hasrat terpendam.
"Kau sungguh keterlaluan, menyia-nyiakan kesempatan yang terbentang di depan mata."
"Kalau sedang memotret aku selalu serius, tak peduli dengan apa pun. Aku ingin menghasilkan foto-foto terbaik."
"Dasar laki-laki bebal! Engkau buta tak memanfaatkan kesempatan!"
"Brak!" kututup pintu hatiku dengan keras. Aku berpikir, jangan-jangan suara hatiku telah berubah wujud menjadi setan keparat yang ingin menjerumuskanku ke jurang penuh dosa.
Malamnya, saat lolongan anjing terdengar di kejauhan, aku mememandang keluar jendela. Di beranda yang temaram, bayangan Sisca, Rosi, dan Tari hadir bersamaan. Ketiganya mengedipkan mata sambil tersenyum nakal.
"Sontoloyo!" gumamku sambil  mencari suara hati yang terperangkap sunyi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun