Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bolehkah Menggugat Pendidikan Gratis?

12 Desember 2022   15:40 Diperbarui: 12 Desember 2022   15:47 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan saja, biaya pendaftaran ke sekolah baru ditanggung oleh pemerintah. Ini telah meninabobokan orang tua pada upaya membawa anak ke sekolah. Bahwa ini memudahkan, tetapi mengapa pintu sekolah-sekolah favorit sesak pendaftar? Di sana mereka harus membayar biaya pendaftaran, sumbangan pembangunan dan lain-lain pada saat masuk ke sana, tetapi justru sesak pintunya. Lihatlah sekolah-sekolah yang digratiskan pembiayaan pada saat mendaftar, bahwa ada di sana siswa (orang tua siswa) yang mendaftar tetapi mereka tidak perlu berdesakan, tokh akan diterima karena faktor pembagian jatah domisili.

Ketika pendidikan gratis diberlakukan, bertempiksoraklah masyarakat pendidikan, khususnya para orang tua. Mereka tidak lagi akan "berkeringat" mengurus SPP atau tagihannya. Mereka akan fokus pada hal lain yang mungkin akan dibebankan sewaktu-waktu saja. Maka ringanlah para orang tua siswa, sehingga tanggung jawab mereka tersisa pada tanggung jawab moril belaka.  Kini, tinggallah tanggung jawab moril dan materil lebih besar ada pada pemerintah di semua jenjang, sekolah/guru dan siswa.

 

Kenangan pada Sumbagan Penyelenggaraan Pendidikan

Pada masa lalu sekolah negeri dan swasta memberlakukan penerimaan dana masyarakat yang disebut Sumbangan Penyelenggaran Pendidikan (SPP). Penetapan SPP pada sekolah negeri oleh pemerintah (di daerah), sedangkan pada sekolah swasta oleh Yayasan penyelenggara Pendidikan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat sekitar sekolah. SPP telah memberi dampak paling kurang pada sekolah (guru), siswa dan orang tua.

Pertama, Sekolah akan bekerja secermat mungkin untuk menggunakan dana masyarakat. Pada kesempatan pembagian laporan hasil belajar sekolah menyampaikan laporan pemanfaatannya melalui suatu badan yang disebut Perhimpunan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) yang berganti baju organisasi menjadi Komite Sekolah. Sayang sekali, komite sekolah dikebiri untuk tidak mengadakan pungutan, kecuali penggalangan. Sekolah di pedesaan manakah yang pengurus komitenya mampu mengadakan penggalangan dana masyarakat untuk membantu anggaran standar minimal yang diberikan pemerintah?

Kedua, Orang tua sekalipun "berkeluh-kesah" pada pembiayaan ini, namun memiliki tanggung jawab moral dan materil. Maka, anak-anak yang dibiayai dengan SPP akan dipacu oleh orang tuanya untuk memanfaatkan waktu belajar reguler di sekolah sebaik mungkin. Hal yang mirip terjadi di rumah. Pada posisi ini orang tua turut bekerja bersama guru, bahkan pendekatan dan kedekatan dengan sekolah justru akrab. Orang tua siswa sering ke sekolah untuk menanyakan perkembangan pelajaran anak, termasuk melalui media komunikasi yang disebut Buku Konsultasi Orang tua  Siswa - Guru.


Ketiga, Siswa berada di antara orang tua dan sekolah. Dua badan/organ ini bagai "menjepit" siswa untuk bekerja keras dalam hal ini belajar karena telah dibiayai oleh orang tua, dan sekolah memegang kendali pengelolaan keuangan dari orang tua. Sekolah ikut bertanggung jawab kepada orang tua oleh karena dana yang disertakan melalui anak.

Jadi dengan pendekatan SPP ada tanggung jawab materil dan moril baik pada orang tua maupun sekolah, sementara pada anak (siswa) tanggung jawab moril dan spirit/motif. 

Penutup

Penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya tidak ada yang murah. Jika digratiskan betapa orang tua siswa akan berpangku tangan dan menonton guru dan siswa mendapatkan tekanan dari aspek administrasi/birokrasi dan politik? Guru antara mengajar dan mengurus beberapa dimensi administrasi termasuk keuangan BOS; siswa dimintakan belajar keras karena telah dibiayai oleh negara. 

Padahal, lebih banyak siswa justru tidak mengetahui apa saja isi dana BOS untuk mereka, kecuali mereka mendapatkan penjelasan itu dari gurunya. Di sisi lain, orang tua yang telah mengetahui dari mulut para politisi bahwa penyelenggaraan pendidikan gratis atas pembiayaan dari dana BOS, mereka tidak dengan mudah diajak untuk memberikan sumbangan, walaupun itu dapat dilakukan karena ada aspek legal standing yang dapat dipertangggungjawabkan.

Bahwa menggratiskan tidak harus dipolitisasi sehingga tidak ditangkap atau mendapat persepsi bahwa semuanya gratis. Orang tua gratis tanpa beban tanggung jawab materil. Hal politisasi anggaran dan pembiayaan operasional penyelenggaraan pendidikan berdampak pada keengganan masyarakat di sekitar sekolah untuk membantu pembiayaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun