Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vaksin Palsu dan Gunung Es Tidak Jalannya Hak Informasi untuk Pasien

23 Juli 2016   20:08 Diperbarui: 23 Juli 2016   20:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari globalgenes.org

Kesadaran manusia atas hak asasi manusia dan semakin luasnya tingkat pendidikan sudah mengubah paradigma kedokteran. Yang semula dalam dunia kedokteran sifatnya cenderung paternalistik, dalam arti pasien dianggap sebagai anak dan dokter merupakan orang tua yang harus dipatuhi sepenuhnya oleh sang anak. Sekarang kalau anda pergi ke rumah sakit, maka akan disodori berkas untuk ditandatangani.

Idealnya, berkas yang akan ditandatangani tersebut sudah dijelaskan apa maksudnya kepada pasien. Sayang sekali hal tersebut tidak terjadi. Tanda tangan hanya menjadi bagian dari formalitas dunia medis. Alasannya klasik, waktu dokter kan terbatas. Jadilah sesungguhnya, meskipun ada berkas informed consent namun dalam prakteknya di Indonesia tetap saja paternalistik. Pasien dibiarkan tidak tahu apa-apa. Sehingga, sepenuhnya tindakan medis sangat tergantung pada dokter. Dalam kasus semacam ini sesungguhnya untung-untungan. Kalau dokternya baik, ya tindakan medisnya akan baik. Masalahnya adalah kalau yang terjadi adalah sebaliknya? Bahkan dokter yang baikpun bisa saja lalai. Saya yakin, dokter tidak akan berniat jahat, namun bisa saja melanggar kode etik kedokteran.

Meskipun dalam dunia kedokteran dikenal adanya prinsip confidentiality atau kepercayaan penuh pada sang dokter namun juga harus tetap memberikan informasi yang diperlukan kepada pasien. Dengan bahasa yang kurang lebih nyambung dengan pola pikir pasien, pihak rumah sakit semestinya bisa memberikan informasi yang dibutuhkan pasien. Misalnya saja berkaitan dengan penyakitnya (kalau ini biasanya ada informasi) kemudian tindakan medis yang bisa dilakukan beserta dengan alternatifnya (kalau yang ini biasanya separuh-separuh), obat-obatan yang bisa dipilih dijadikan alternatif, ini mulai jarang. 

Dan yang terakhir perlu disampaikan adalah dampak alias efek dari tindakan medis yang akan diambil. Persis yang terakhir ini yang nyaris tidak pernah disampaikan kepada pasien. Budaya yang sudah terlanjur tertanam dalam masyarakat kita adalah 'terserah dokterlah, yang penting saya sembuh.'

Padahal, persis dengan mengetahui apa yang diderita, pengobatan apa yang bisa diambil, terapi bagaimana yang mungkin ditempuh, dll bisa sangat berguna untuk pasien itu sendiri. Juga meringankan beban dokter kan? Orang tidak sedikit-sedikit ke dokter. Mentalitas terserah dokter yang penting saya sembuh merupakan bentuk mentalitas dunia medis yang sudah lama ditinggalkan. Di Indonesia, meskipun sudah menyadari pentingnya informed consent yang sekaligus menjadi berkas persetujuan tindakan medis terhadap seseorang, namun prakteknya masih sangat jauh.

 Dalam beberapa kasus malpraktek, dokter dan pihak rumah sakit berlindung pada berkas informed consent yang sudah ditandatangani pasien atau keluarganya. Padahal, kalau ditanyakan apakah informed consent tersebut sudah dijelaskan dan memang pasien sepakat, jawabannya seringkali negatif.

Salah satu alasan mengapa informed consent tidak efektif di Indonesia adalah beban kerja seorang dokter yang kelewat tinggi dalam melayani pasien. Apakah benar demikian? tidak juga. Jumlah dokter di Indonesia sebenarnya cukup. Memang masalahnya menumpuk di kota besar. Kalau demikian kan sebenarnya juuga di kota besar keberadaan dokter lebih dari cukup? sebagai sebuah ilustrasi, saya akan menceritakan salah satu alasan kenapa sebuah kampus universitas besar swasta di yogyakarta tidak membuka fakultas kedokteran meskipun ada banyak permintaan, 

salah satu alasannya adalah rasio antara  kampus kedokteran di yogyakarta dengan tempat praktek untuk belajarnya terlalu melimpah. Dalam arti, jumlah praktekan dengan tempat prakteknya untuk belajar jauh lebih banyak jumlah mahasiswa yang sudah ada.Padahal, membuka kampus kedokteran untuk universitas sekelas dia sungguh sangat potensial. Tidak dibuka karena sudah sangat melimpah.

Jadi hal tersebut tidak bisa terlalu menjadi alasan. Alasan utamanya adalah uang karena waktu adalah uang. Merebaknya vaksin palsu saya anggap atau dalam pandangan saya setidaknya secara pribadi merupakan sebuah gunung es atas tidak jalannya sistem dan informed consent di Indonesia. Kita bisa membayangkan kalau saja pasien ataupun keluarganya mendapatkan informasi yang memadai berkaitan dengan vaksinasi, kandungan yang ada di dalamnya, dijelaskan juga bagaimana membedakan vaksin yang asli atau palsu, bahkan vaksin yang tidak bisa lagi digunakan, maka kasus di atas tidak akan terjadi atau minimal bisa ditekan. Kan kasus vaksin palsu terjadi karena orang tua pasien banyak yang tidak tahu berkaitan dengan vaksinasi semacam ini. Yang penting silahkan divaksin saja. Belum lagi, dokternya ternyata bukan dokter yang baik, rumah sakit melakukan pembiaran. Lengkap sudah.

Sekedar catatan saja, vaksin dan juga obat-obatan lainnya, selain kalau palsu jelas tidak akan bermanfaat juga dipengaruhi oleh cara penyimpanannya. Jenis vaksin dan obat yang satu berbeda-beda caranya menyimpan. Maka, kalau di kota besar saja masih terjadi malpraktik yang demikian, kita bisa bertanya bagaimana dengan yang di daerah? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun