Hidup ini adalah keterlemparan. Begitu kata seorang filosof Jerman kawakan bernama Martin Haidegger. Bukankah memang dalam arti tertentu, kita tiba-tiba saja ada? Saya ada sebagai orang Jawa, orang Indonesia, laki-laki tulen dan ganteng katanya ibu saya. Anda hidup dengan suku tertentu, jenis kelamin tertentu, orang tua tertentu yang semuanya tidak bisa anda sendiri desain dan pesan. Ah Tuhan... kalau bisa sih, mbok ya saya dilahirkan dalam keluarga yang kaya, terdidik, taat beragama, dan baik-baik saja. Itu kalau bisa. Nyatanya tidak. Kita sungguh-sungguh dadu yang dilemparkan dengan bermilyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun yang jadinya adalah kita yang unik ini dan hanya satu-satunya. Kita hidup tak ada duanya.
Bahwa agama bisa memilih, iya. Tapi kita dibesarkan di mana biasanya dan ini sebagian besar menentukan keberagamaan kita. Apakah lebih baik dilahirkan  misalnya sebagai orang Arab yang keluarganya Islam atau lahir sebagai orang Israel yang keluarganya Yahudi. Apakah lebih malang lahir sebagai orang Badui yang keluarganya menghidupi aliran kepercayaannya sendiri daripada lahir sebagai orang Manado yang keluarganya biasanya beragama Kristen? Maka, menemukan dirinya dalam keterlemparan semacam itu menjadikan kita berhak untuk protes kepada pencipta kita, bukan?
Lebih pahit lagi manakala kemudian stigma dilekatkan pada keberagamaan kita. Seolah-olah kalau Islam itu teroris. Seolah-olah kalau Yahudi itu zionis. seolah-olah kalau Kristen itu imperialis, beragama penjajah. Seolah-olah kalau agamanya di luar agama-agama besar itu berarti tidak beradab. Seolah-olah kalau lahir di lingkungan keluarga yang atheis lalu dirinya sendiri secara otomatis menjadi tak bermoral.
Inilah yang biasanya dikenal dengan tanggung jawab kolektif yang dilekatkan padanya stereotipe tertentu. Padahal tanggung jawab kolektif semacam ini tidak bisa diterima begitu saja. Generalisasi kolektif mengingkari keunikan individu yang semestinya kita hargai martabatnya. Betapa sering kita mendengar bahwa seakan-akan orang dengan suku tertentu atau dengan agama tertentu harus menanggung dosa orang yang seagama dengan dia atau sesuku dengan dia. Misalnya, kebencian suatu kelompok kepada kaum Yahudi lalu menganggap seolah-olah semua orang Yahudi pantas dibencinya. Padahal banyak orang Yahudi yang baik, yang memperjuangkan kemanusiaan. Atau karena ada orang yang mengatasnamakan agama Islam dan membuat bom bunuh diri lalu menghadirkan sebentuk islamphobia di masyarakat. Kita di Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda lalu mengatakan bahwa semua orang yang beragama Kristen itu bermental penjajah.
Sayangnya kita sudah sangat terbiasa menggunakan standar ganda semacam ini. Apalagi kalau penghakiman kolektif ini diperkuat alias diteguhkan dengan doktrin-doktrin yang kita yakini lalu seakan-akan penghakiman general dan kolektif ini adalah sebuah mutlak kebenaran. Di sanalah kita mudah terprovokasi dengan issu-issu yang sesungguhnya bagian dari keterlemparan kita sebagai manusia. Misalnya saja, kita diminta untuk waspada terhadap orang dari kelompok tertentu yang murni didasarkan pada agama atau suku. Justru kepada seruan semacam ini kita harus berhati-hati dan berani kritis.
Meskipun benar bahwa dalam banyak hal segala sesuatunya adalah tak sama sampai ada lagunya ... semua tak sama... tak pernah sama... apa yang kau sentuh... apa yang kau kecup.... (PADI) namun sesungguhnya ketidaksamaan itu hanya ilusi.
Sejak kecil memang kita terbiasa untuk keberadaan dunia ini dengan terpisah-pisah dalam katagori tertentu. Di situ lalu muncullah sebuah pemahaman dan ini sangat khas dalam tradisi keilmuan aristotelian. Kepada kita lalu ditunjukkan untuk bisa mengenali diri sendiri. Diriku adalah aku. Aku berbeda dengan kamu. Yang sama dengan keakuanku adalah kami. Kami berhadapan dengan kalian. Kalau mau sama dengan kami, kami dan kalian menjadi kita. Di sinilah kemudian dibangun sebuah identitas.
Kelompokku berbeda dengan kelompokmu. Ini bangsaku, itu bangsamu. Ini agamaku, itu agamamu. Semua perbedaan-perbedaan ini lalu dijadikan pembenaran untuk bersikap tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Ketika ketidakadilan terjadi, maka konflik sudah berada di depan mata.
Kita juga diajarkan untuk melihat dunia dalam kerangka benar salah dan baik buruk. Jika saya benar, maka kamu salah. Jika ini tindakan baik, maka tindakan lawannya buruk. Di samping itu, kita juga diajarkan untuk membela yang benar, dan melawan yang jahat. Yang jahat harus dihancurkan, dan yang benar serta baik harus dipertahankan, begitu katanya. (A.A. Wattimena).
Marilah sekarang kita pikirkan lebih dalam. Apapun agamanya, apapun sukunya, apapun jenis kelaminnya sesungguhnya setiap manusia selain sama-sama tersusun dengan komponen yang sama dan menghidupi bumi yang sama, sesungguhnya juga dalam taraf kesadaran adalah sama. Mereka punya harapan dan ketakutan yang sama meskipun dalam bahasa yang berbeda. Secerdas apapun anda, sereligius apapun anda, di manapun anda, kedua hal ini senantiasa menjadi penanda alam kesadaran anda sebagai manusia.Dan memang, kita adalah bagian dari alam. Kita tidak menginginkan adanya bencana, apalagi bencana kemanusiaan. Pembedaan manusia yang dilepaskan dari kemanusiaan dengan cara pandang kita sendiri adalah sebuah pintu yang membuka bencana tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI