Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis sebagai Ajang Refleksi, Memperkaya Makna Hidupku

25 Oktober 2016   08:51 Diperbarui: 25 Oktober 2016   14:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari http://www.azquotes.com/

Meskipun ada yang mengatakan, niatnya baik kok. Saya korupsi untuk membahagiakan istri saya, menyumbang tempat ibadah, dll.. Hal-hal yang lain juga harus dilihat secara jernih. Katakanlah kita sudah melihat dan mengakui korupsi itu jahat. Lalu ada hal lain bahwa saya ingin membangun tempat ibadah kan tujuannya mulia. Lalu, dapatkah saya masih mengatakan mulia kalau untuk tujuan itu saya tempuh dengan cara yang salah?

Berikutnya adalah berkaitan dengan ketajaman hati dan budi. Ketajaman hati dan budi membuat saya menyadari sesuatu yang kadang-kadang berada di luar kesadaran saya. Katakanlah masih tentang mencontek. Sering kita berpikir mencontek itu ga apa-apa, ga merugikan orang lain. Kalaupun toh saya rugi karena saya membohongi diri saya dengan tidak belajar dan ingin nilai yang bagus, yang jelas ini tidak merugikan orang lain.

Maka, dalam hal ketajaman perlu bertanya, benarkah tidak merugikan orang lain? Sederhana saja, dengan mencontek saya yang tidak belajar nilainya bisa lebih bagus daripada yang belajar. Pertanyaannya adil tidak bagi yang belajar? Merugikan tidak? dll. Ketajaman hati dan budi ini penting manakala kita mendapati dan sering sering kita sendiri pelakunya sebuah tindakan yang tidak bermoral.

Kepenuhan Hidup VS Pengosongan Hidup

Memang ada perbedaan mendasar berkaitan dengan spiritualitas Barat dan spiritualitas Timur. Di Barat, prinsip spiritualitasnya adalah kepenuhan hidup. Hidup menjadi bermakna manakala apa yang belum saya miliki menjadi terpenuhi dan menjadi milik saya. Dan sebagai kepenuhan hidup, tentu ada yang berpikir positif dan negatif. Hanya saja, dalam kaitannya dengan spiritualitas hal tersebut dimaknai secara positif. Kata-kata 'be your self' misalnya berakar dari spiritualitas pemenuhan hidup ini.

Misalnya saja seseorang yang punya prinsip hidup kejujuran harus melihat apakah prinsip hidupnya berkaitan dengan kejujuran itu sudah terpenuhi, tidak dinodai dengan adanya kebohongan dan pengkhianatan. Atau katakanlah dia ingin mewujudkan cita-citanya, maka di sinilah prinsip pemenuhan hidupnya dijalankan. Itulah sebabnya, umumnya orang Barat cenderung lebih rasional dan bebas menentukan dirinya menjadi apa. Maka, dalam hal ini refleksi kehidupan tetap diperlukan. Untuk memeriksa apakah ada langkah-langkah yang bertentangan satu dengan yang lain. Menarik bahwa dalam pemikiran yang semacam itu, yang cenderung menekankan peran individu, namun masih bisa berpikir secara sangat idealis. Maka debat ideologi adalah hal yang wajar di sana.

Kebijaksanaan kebijaksanaan hidup dengan model pemenuhan diri ini kemudian bisa menjadi kalimat-kalimat motivasi yang bagus. Pemenuhan hidup bukan sekadar pemenuhan keinginan. Pemenuhan hidup, misalnya bahwa saya ingin sukses jangan hanya dimaknai sebagai sebuah keinginan untuk kaya. Kekayaan yang tanpa proses bukanlah sebentuk pemenuhan hidup. Pemenuhan hidup bagaimana proses itu dilewati tahap demi tahap. Apa yang sebelumnya tidak ada, menjadi ada.

Apa yang sebelumnya sekadar menjadi potensi saya menjadi actus, menjadi sesuatu yang terwujud. Spiritualitas pemenuhan terwujud dengan proses dan inilah makna positifnya. Ketika seseorang memenuhi apa yang dia impikan tapi bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dia pegang sebagai idealisme, jelas hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip spiritualitasnya. Spiritnya, rohnya, semangatnya ada dalam perjuangannya. Ada dalam prosesnya.

Maka, hasrat dalam hal ini harus dimaknai secara positif. Benarlah ungkapan yang mengatakan bahwa seseorang baru bisa dikatakan hidup kalau ada hasrat di dalamnya. Katakanlah hasrat itu bisa disebut sebagai nafsu, sebagai sebuah keinginan ataupun sebagai sebuah harapan maka itulah yang menjadikan manusia itu hidup. Manusia tanpa keinginan dalam spiritualitas Barat adalah manusia yang menjalani hidupnya dengan mati layaknya zombie. Keinginan itu wujudnya beragam, motivasi hidup, cita-cita, pengharapan, dll. Tanpa itu semua, hidup menjadi tidak berarti. Dalam bahasa filsafatnya Karl Marx, manusia teralinasi, terasing dari hidupnya. Anda tentu bisa membayangkan, bagaimana rasanya sekolah tanpa cita-cita.

Gambar dari http://izquotes.com/
Gambar dari http://izquotes.com/
Berbeda dengan di Barat, spiritualitas Timur adalah pengosongan diri. Saya selalu ingat, mantra ajaibnya Bhiksu Tong dalam serial Sun Go Kong yang begini "isi adalah kosong, kosong adalah isi...." Dulu saya hanya melihat ini semacam permainan kata yang kadang-kadang saya jadikan lelucon. Tapi setelah saya pikirkan lebih lanjut, dan kemudian saya maknai ternyata ungkapan tersebut cukup mendalam. Katakanlah kita sedang mengisi air dengan gelas.

Ketika gelas tersebut sudah ada airnya, tentu hanya kekosongan yang didapat kalau kita menginginkan air yang baru. Untuk mendapatkan air baru, itulah kemudian diperlukan adanya gelas yang kosong. Maka, sederhananya, gelas yang sudah terisi akan mendapatkan kekosongan air baru dan gelas yang kosong airnya akan mendapatkan air yang baru. Inilah spiritualitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun