Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa IPTEK Tidak Begitu Maju dalam Masyarakat yang Religius

8 Oktober 2016   17:05 Diperbarui: 8 Oktober 2016   17:57 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari alittlebitleft.wordpress.com

Kebaikan didasarkan pada sudut pandang tertentu berdasarkan cara menafsirkan. Apa yang dianggap agamawan sebagai sesuatu yang baik, bagi para ilmuwan belum tentu demikian. Mereka akan bertanya, apa hak agama untuk mendikte dunia ilmu sehingga hanya mengijinkan bidang tertentu dan bidang lain tidak.

Sementara kunci kemajuan ilmu adalah dengan bertanya, agama umumnya melarang untuk mempertanyakan agama. Seorang filosof yang menulis buku Bertuhan tanpa Agama mengatakan bahwa kejahatan terbesar agama adalah menuntut lebih banyak kepercayaan daripada bukti. Bahasa religiusnya: bukankah otak manusia terbatas? tidak mungkin kita mengerti segalanya. Atau dalam bahasa lain: berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya. 

Sekali lagi, haram hukumnya untuk bertanya. Katakanlah, baik dalam dunia Islam maupun dunia Kristen umumnya meyakini bahwa ada sesuatu yang disebut sebagai mukjijat. Misalnya saja, Nabi Muhammad melakukan Isra Miraj atau Yesus juga naik ke surga, saya bisa meyakinkan bahwa kita tidak boleh mempertanyakan, bagaimana mungkin? apa buktinya? dll. 

Terlebih lagi kalau kemudian dibuat semacam penelitian untuk mengujinya dan juga mengulangnya. Jelas tak akan bisa. Ini keajaiban, ini mukjijat dan dipersilahkan saja untuk percaya. Jangan bertanya bagaimana mungkinnya, tapi bertanyalah bagaimana menjelaskannya. Itu saja. Menguji sesuatu yang sudah didogmakan dan juga menjadikannya sebuah teori, jelas tidak diperbolehkan. lalu lebih baik umat atau jamaah atau jemaat yang baik adalah umat yang taat dan patuh daripada nanti kamu tersesat karena pemikiranmu dan masuk neraka.

Prinsip kepatuhan, prinsip kesalehan, prinsip kebaikan, prinsip kesopanan semacam inilah yang membuat ilmuwan ilmuwan pada masyarakat religius terbatasi untuk bisa secara bebas mengembangkan riset dan bertanya lebih lanjut terutama hal hal yang dianggap tabu. Maklum bila kemudian dunia ilmu dan juga dunia teknologi tidak terlalu maju pada masyarakat masyarakat yang religius. 

Bukankah prinsip kesopanan dan juga kepatuhan menjadi ukuran bagaimana seseorang dikatakan baik dalam masyarakat yang religius? Sementara dalam dunia ilmu, dalam masyarakat akademis, pertanyaan pertanyaan nakal kadang diperlukan untuk membangkitkan imajinasi dan juga inovasi. Itulah sebabnya, anak anak yang genius sering sering dianggap sebagai anak yang tidak waras, anak yang gila, dll.

Ya... mungkin saja ada yang akan bilang... Habibie itu juga religius, juga jenius..... kenapa ga dipertimbangkan bahwa tesis ini belum tentu benar. Ya mungkin habibie relijius dan juga jenius tapi bayangkan kalau beliaunya tidak pernah mengecap pendidikan di tempat yang mengedepankan akal budi (Baca: Jerman)... katakanlah dia selamanya belajar di Indonesia.... atau belajar di Hadramaut.... dan yang jelas lagi saya sulit membayangkan beliau membuat penelitian cairan apa yang ada pada wanita ketika terangsang... bisa dipastikan hilang kesan relijiusnya....

Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa ilmu lahir dari kritik terhadap agama.... Bagaimana dengan di Indonesia? bahkan politikpun debatnya agama....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun