يَا أَيُّهَا النَّاسُ طُوْبَی لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ وَ طُوْبَی لِمْنْ لَزِمَ بَيْتَهُ وَ أَکَلَ قُوْتَهُ وَ اشْتَغَلَ بِطَاعَةِ رَبِّهِ وَ بَکَی عَلَی خَطِيْئَتِهِ فَکَانَ مِنْ نَفْسِهِ فِيْ شُغْلٍ وَ النَّاسُ مِنْهُ فِيْ رَاحَةٍ
"Wahai manusia, beruntunglah orang yang sibuk mengurusi aibnya sendiri ketimbang mengurus aib orang orang lain, dan beruntunglah orang yang berdiam di rumahnya, mengosumsi makanannya, sibuk menuruti Tuhannya, dan menangisi kesalahannya, maka dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan masyarakat tidak terganggu dengan keberadaannya."
Pembicaraan di atas mengarah pada pengembangan dan penghitungan jiwa dan tidak ada hubungannya dengan urgensi atau tidaknya kehidupan madani. Ibarat di atas mengatakan, sehubungan dengan orang-orang lain, manusia harus senantiasa intropeksi diri dan memperhatikan kekurangan dirinya. Hal itu bukan berarti dia sama sekali tidak boleh ada jalinan dengan yang lain. Ada tiga macam reaksi seseorang dalam jalinannya bersama orang lain:
Pertama, mengisolir diri dari mereka, dan ini tidak bisa dimengerti dari teks tersebut di atas. Secara spesial dan tanpa pengecualian tersendiri, hal itu tidak terkandung dalam kapasitas kalimat di atas, karena kata-kata itu keluar dari mulut seorang yang betul-betul sosial selama hidupnya dan tidak pernah enggan untuk berbaur dan bermasyarakat.
Kedua, seutuhnya bersama mereka sehingga bangun dan tidurnya atas nama mereka; dia selalu sensitif terhadap kondisi dan urusan mereka dari yang paling kecil sampai yang terbesar. Tipe orang seperti ini kerjanya hanya mengusung semua urusan orang lain dan mengobralnya secara bebas. Umumnya orang semacam ini mengganggu ketenangan masyarakat. Ucapan dan tindakannya sering kali menyakitkan orang lain. Kebersamaan ini bisa disebut dengan kebersamaan atas dasar cinta yang menyebabkan terusiknya orang yang dicintai!
Ketiga, kebersamaan rasional dengan mereka; tubuh kita berbaur, tapi lidah dan pikiran kita sangat berhati-hati dalam menyikapi mereka; kita bersama mereka, tapi kita juga sibuk membenahi diri dan lebih mendahulukan kenyamanan orang lain dari pada diri kita sendiri.
Ceramah Amirul Mukminin as tersebut mengajarkan jenis hubungan seperti ini, persis riwayat yang berbunyi:
کُنْ فِي النَّاسِ وَلاَ تَکُنْ مَعَهُمْ
"Hiduplah bersama orang lain, tetapi jangan sampai kamu ikut-ikutan dia."
Oleh karena itu, keterpisahan fisis dari orang lain yang kadang disebut dengan ruhbâniayh adalah tercela sebagaimana diriwayatkan, "Tidak ada ruhbâniyah di dalam Islam, dan jelas berbeda dengan maksud dari ceramah di atas.
Kesimpulannya, ceramah ke-23 dan 127 Nahjul Balaghah mendukung berat kehidupan sosial, dan pada dasarnya kecenderungan hidup bermasyarakat itu bermula dari faktor kekuatan nalar manusia yang mendorongnya pada kehidupan sosial yang lebih bermanfaat dan menghindari kehidupan terkucil yang penuh bahaya.
- Hermawan Soediro -