Jakarta -- Perjanjian kemitraan transportasi online kini menjadi cerminan nyata pergeseran hubungan kerja dari manusiawi menjadi algoritmik, di mana driver (mitra) dinilai dan dikontrol ketat oleh bahasa bilangan---rating, skor performa, dan produktivitas. Kondisi ini menciptakan bahaya baru: dehumanisasi dan ketidakadilan, di mana manusia kehilangan makna karena angka mengambil alih hukum.
Pengamat Regulasi Digital, Sagu Agustinus S.H., menegaskan bahwa Indonesia perlu membangun Hukum Digital Berkeadilan Berdasarkan Pancasila untuk menghadapi ancaman ini.
Ancaman di Balik Efisiensi Digital
Efisiensi teknologi dalam kemitraan transportasi online ternyata membawa dominasi sistem. Mitra dapat dihukum dan akunnya "dinonaktifkan" oleh algoritma tanpa adanya ruang pembelaan manusiawi yang memadai. Menurut Sagu Agustinus, bahasa bilangan yang seharusnya alat bantu efisiensi, kini telah menjadi alat kontrol dan dominasi yang menilai manusia semata sebagai data produktivitas.
Pancasila: Filsafat Hukum Digital Indonesia
Untuk menanggulangi bahaya ini, Pancasila diusulkan sebagai "firewall etis" dan filsafat utama hukum digital:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Menolak sistem digital yang hanya menilai manusia sebagai angka produktivitas.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan: Menjadi dasar bagi demokrasi algoritmik, memastikan keputusan teknologi dapat diawasi secara kolektif.
Keadilan Sosial: Memastikan manfaat digitalisasi dinikmati oleh mitra dan masyarakat luas, bukan hanya korporasi.
Tiga Langkah Reformasi Hukum Konkret