Baru saja penulis bangun dari peraduan sekitar jam empat pagi tadi. Lampu-lampu depan baru saja penulis matikan. ketika tiba-tiba terdengar suara tetangga depan rumah memanggil-manggil nama penulis. Ada rasa kaget ada juga rasa kuatir. Ada apa gerangan ? Apakah ada keluarganya yang sakit ? Ataukah ada kejadian yang menggetarkan dan membuat penghuni perumahan terkejut karena didatangi polisi dan densus 88 seperti yang terjadi setahun lalu tepat di samping rumah penulis ?
Masih dalam keadaan belum stabil, penulis berupaya menemui tetangga depan rumah yang sudah mau berangkat ke masjid beserta isterinya. Tetangga depan menunjuk air yang melimpas ke jalan raya dari kran air yang terbuka. Sambil mengucapkan terima kasih kepada tetangga depan rumah, penulis coba urut dari mana air itu keluar dan melimpas. Karena ini ini sumbernya dari air artesis, yang biasa penulis gunakan hanya untuk menyiram tanaman dan mencuci mobil atau sepeda motor.
Memang di rumah, penulis sengaja memisahkan dua kran yang berbeda. Satu kran yang berasal dari sumber air PDAM untuk kebutuhan sehari-hari dan satu kran lagi dari sumber air artesis. Nah ini yang melimpas adalah yang dari sumber air artesis. Masih dibayangi rasa heran, mengapa ini bisa terjadi dan pikiran berapa bakal tagihan air artesis bulan depan. Otak penulis mulai berhitung dan membayangkan, karena ini saling berhubungan. Layaknya suami isteri. Sejak kapan air membanjiri jalan di depan rumah. Kalau sejak sore, bisa dibayangkan berapa kubik air terbuang sia-sia bukan ?
Seperti syair sebuah lagu lawas ciptaan almarhum Gesang. Air mengalir sampai jauh dan akhirnya ke laut. Dan sepanjang perjalanan air, kita tidak tahu apa yang dialami oleh air. Tidak tahu juga kejadian apa yang ada di hadapannya. Apakah bertemu dengan hewan pemangsa, ataukah bertemu dengan bebatuan yang keras, ataukah bertemu dengan timbunan sampah yang dibuang sembarangan oleh mahluk yang disebut manusia ? Ataukah juga bertemu dengan tangan-tangan kreatif yang bisa memanfaatkan air menjadi sesuatu yang berguna untuk hajat hidup orang banyak ?
Dan itu seperti berkat yang bisa kita terima dari Yang Maha Kuasa, dengan melalui berapa cara sehingga kita hidup berkelimpahan. Tidak mencoba berhitung berapa besar pendapatan. Tetapi sejauh manakah berkat yang sudah di tangan bisa dialirkan juga dengan rasa suka cita untuk membantu sesama. Karena ini ada kaitannya dengan hati nurani yang melimpah.
Mungkin tanpa kita sadari, seringkali di sekitar lingkungan kita, entah lingkungan tetangga ataupun lingkungan pekerjaan. Ada orang-orang yang kaya bertambah kaya, tentu saja dengan konotasi yang positip. Bukan kaya karena korupsi. Sebaliknya kalau di perhatikan ada juga beberapa orang yang bisa jadi hidupnya tetap miskin bahkan makin miskin. Apakah itu ada hubungannya dengan Sang Khalik sebagai penguasa langit ?
Tidak berlebihan sebagai seorang pensiunan pegawai negeri, penulis tetap mencoba berbagi berkat dengan apa yang wajib penulis berikan kepada Tuhan Semesta Alam dan berbagi dengan sesama, sekalipun dengan prosentase yang tidak terlalu banyak. Dan rasanya penulis senantiasa berkecukupan dan bisa dikatakan hidup pas-pasan. Pas mau piknik, pas juga Tuhan sediakan dana. Pas mau makan enak sekali waktu, pas ada dana tersedia. Pas mau nengok anak-anak yang tinggal di luar kota, pas juga Tuhan yang sediakan dananya.
Tetapi di sisi kehidupan yang lain, ada beberapa kawan penulis yang setiap hari mengeluh dan mengeluh tentang uang dan biaya hidup. Boro-boro berbagi berkat buat sesama, berbagi berkat buat Sang Khalik yang sudah melimpahkan berkatnyapun, masih dihitung-hitung dengan teliti dan cermat bak seorang akuntan. Bisa diibaratkan, seperti air yang mengalir dari sumber-NYA hanya berkutat di sebatas ember yang ada di rumahnya untuk keperluan diri sendiri. Bahkan untuk berbagi air dengan tanaman ataupun rumput sajapun tidak dilakukannya. Alhasil yang diperolehnya selalu kurang dan kurang.