Mohon tunggu...
Hermanto Hermanto
Hermanto Hermanto Mohon Tunggu... -

Hanya sebutir pasir ...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Diagnosa yang Melenceng

13 November 2009   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:21 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa tahun lalu saya mengalami gangguan pada mata. Saya merasa melihat adanya bintik2 kecil dan samar menempel di permukaan mata, sehingga mengganggu penglihatan. Maka saya pun mendatangi dokter spesialis yang terkenal, sebutlah dokter A.

Ketika tiba giliran saya masuk ke ruang periksa, tanpa tanya apa-apa, dokter melakukan pengecekan penglihatan, dan langsung mencobakan beberapa kaca mata pada saya. Saya sempat berpikir, mengapa dokter ini tidak menanyakan keluhan saya terlebih dahulu ya? Setelah dicobakan demikian, barulah saya menghadap dia. Saya menceritakan keluhan saya, dan dia memeriksa saya sekilas. Kesimpulannya tidak ada apa-apa yang ditemukan. Saya hanya butuh kacamata saja. Akhirnya memang saya disuruh membeli kacamata.

Namun saya merasa sangat tidak puas, karena tidak menemukan penjelasan yang memadai tentang bintik2 yang saya rasakan itu. Dokter hanya mengatakan tidak menemukan apa-apa, kecuali minus sedikit. Maka saya pun mencari second opinion kepada dokter terkenal lainnya, sebut saja dokter B.

Pasiennya sangat banyak, sehingga dokter ini terkesan terburu-buru, meski selalu mempertahankan senyum. Setelah mendengarkan keluhan saya, dia memeriksa, dan hasilnya adalah: bintik2 itu hanyalah sugesti saya saja. Tidak ada masalah dengan penglihatan saya. Saya tidak bisa ngotot lagi jika sudah divonis begitu, apalagi dia begitu terburu-buru dan tidak ada waktu untuk diajak berdiskusi.

Ada seorang teman merekomendasikan dokter terkenal lainnya, sebut saja dokter C. Dokter ini sepi. Dan mau mendengarkan. Dan peralatannya juga lumayan. Dia menetesi mata saya dengan suatu cairan supaya bagian dari mata saya membesar dan bisa dilihat. Ibu saya dapat ikut melihatnya pula melalui layar televisi. Saya merasa penanganan dokter ini lebih baik, mau mendengarkan, mau mencari tahu. Kesimpulannya adalah: mata saya mengalami proses degeneratif. Penyebabnya tidak bisa diketahui. Ya memang sudah begitu. Lantas solusinya apa? Harus di laser / dikikis bagian yang memiliki bintik2 itu. Saya lega karena akhirnya ada dokter yang mengakui adanya bintik2 tersebut, dan pelayanannya yang baik. Namun solusinya bagi saya agak mengerikan, apalagi dikatakan bahwa penyakit saya ini cukup mendesak untuk mendapat penanganan, tidak boleh berlama-lama. Saya hendak menyetujuinya, namun orang tua saya mencegahnya. Menurut mereka, mata bukan barang main-main, jika salah, bisa menyesal seumur hidup. Maka setelah mempertimbangkan biaya dan lain-lain, saya dikirim ke Singapur untuk diperiksa di sana.

Dokter di Singapura ini sangat berbeda penanganannya. Ruangnya terasa nyaman, peralatannya canggih, asistennya sopan2 dan terkesan profesional. Dokter meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan saya. Seakan memang waktu tsb sudah diperuntukkan bagi saya. Setelah itu ia mulai melakukan pemeriksaan dengan banyak peralatan, bahkan sampai saya merasa apakah perlu diperiksa sebanyak itu. Kemudian mereka menunjukkan pada saya hasil tesnya semua. Semuanya normal. Kesimpulannya? Dokter tersebut dengan hati-hati mengatakan bahwa ia 90% yakin mata saya terserang toksoplasma. Kemudian ia menceritakan dari mana asal kesimpulannya itu. Dia menunjukkan sebuah textbook tebal dan membukakan halaman yang berkaitan dengan itu. Melihat foto2 di text book itu, saya merasa yakin memang sangat mirip dengan yang saya alami. Namun untuk memastikan lebih jauh lagi, dokter mata itu meminta saya menjalani tes darah, untuk melihat apakah ada infeksi toksoplasma dalam darah saya. Saya patuhi, meski biayanya terasa berat. Dan hasilnya? Memang saya terkena tokso!

Kembali ke dokter mata itu, kini ia yakin 100% bahwa saya terkena tokso. Dan ia meyakinkan saya untuk tidak kuatir. Dia meyakinkan saya bahwa dia mampu mengobatinya. Dia menceritakan pada saya natur dari penyakit ini, yakni bahwa bila daya tahan tubuh saya kuat, tokso ini akan melemah; bila daya tahan tubuh saya lemah, tokso ini akan menguat. Namun kecil kemungkinan tokso ini menyerang otak saya, seperti yang saya kuatirkan. Pengobatan yang saya terima adalah minum antibiotik Clyndamicyn selama 3 bulan penuh. Dijelaskan pula apa efek yang akan saya rasakan jika meminum obat tsb.

Tidak sampai 3 bulan, gangguan itu sudah jauh berkurang. Dan sekarang, setelah beberapa tahun, saya sudah tidak pernah diganggu oleh hal itu sama sekali.

Yang membuat saya kecewa adalah diagnosa dari dokter2 di sini. Mengapa mereka bisa melenceng sejauh itu? Ada dokter yang menyepelekan, dan itu benar2 membuat hati saya panas. Mereka hanya memberikan kacamata atau menganggap pasiennya sugesti saja. Padahal itu adalah dokter2 terkenal dan laris. Namun dokter yang baik pun diagnosanya bisa sama sekali tidak nyerempet. Saya membayangkan bagaimana kalau pada waktu itu mata saya jadi di laser. Dan penyakitnya tetap tidak hilang.

Kejadian2 seperti ini banyak saya dengar, tidak melulu pada dokter mata. Beberapa bahkan berakibat pada terlambatnya penanganan yang tepat hingga merengut nyawa. Saya kehilangan dua teman saya, yang ketika dibawa ke Singapur, dikatakan sudah mengalami salah penanganan dan terlambat. Masyarakat kelihatannya harus belajar untuk tidak mempercayai penuh dokter di sini, apalagi untuk kasus yang tidak biasa atau tidak sembuh-sembuh. Second opinion adalah langkah yang bijaksana. Namun saya sungguh berharap kedokteran kita bisa bebas dari motivasi mencari uang belaka dan bebas dari keterburu-terburuan baik dalam menangani pasien maupun mengambil kesimpulan. Bukankah itu tanggung jawab yang mendasar? Saya doakan kedokteran di Indonesia semakin maju.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun