Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kompromi dengan Minat Anak

29 Mei 2018   23:25 Diperbarui: 30 Mei 2018   00:06 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya jamak ya para bapak yg punya anak perempuan pengen agar anaknya bisa bermain piano. Demikian juga aku. Sadar punya 2 anak perempuan dan pengen mereka pintar bermain piano maka aku prioritaskan tabunganku untuk membeli piano sejak mereka masih balita. Bahkan sempat membawa anak yg sulung ke tempat kursus piano di Kota  Solo (saat berdomisili) yg nama tempat kursusnya merupakan franchising sekolah musik dari Jakarta padahal saat itu belum punya piano. Karena harga piano yg sangat mahal, aku berpikir lebih baik kursus piano dahulu aja dan bila anak berbakat, baru membeli piano.

Ketika mendaftar, guru piano melihat jari tangan anak sulungku yg masih kecil, ringkih dan lemah. Secara halus sang guru menolak untuk mengajar dan menganjurkan mendaftar tahun berikutnya setelah jari tangannya dipandang lebih besar dan kuat.

Prasyarat ini penting agar jarinya lebih lentur dan punya jangkauan yg lebih lebar untuk membuat kunci nada dan lebih keras menekan tuts sehingga menghasilkan bunyi nada yg lebih keras dan jelas. Kalau dipaksakan khawatir akan merusak tumbuh kembang jari tangan anak.

Ketika anak kedua lahir yg juga seorang perempuan, membuat alasan untuk membeli piano semakin kuat dan tentunya mewajibkan anak pertama yg sudah mulai mencukupi syarat untuk kursus dan kelak anak kedua juga harus ikutan seperti kakaknya.

Entah kenapa dan mungkin sama pendapatnya dengan kalian para bapak, kalau punya anak perempuan pada umumnya pengen mereka bisa bermain piano. Seorang anak perempuan menurutku akan kelihatan lebih anggun dan cantik kalau dia bisa bermain piano. Bahkan citra perempuan akan lebih berkelas bila dapat memainkan alat musik yg berasal dari barat ini.

Tanpa melihat apakah anakku berbakat atau mempunyai minat yg kuat untuk bermain piano, anak pertamapun kuwajibkan kursus dan setelah tabungan mencukupi aku beli sebuah piano bekas di toko musik yg saat itu harganya 2 kali harga sepeda motor bebek. Sangat mahal harganya bagiku walaupun ibunya anak-anak masih bekerja.

Kupandangi piano tsb cukup lama setelah teronggok di ruang tengah rumah. Isi rumah memang terkesan menjadi lebih mewah dan berkelas dengan keberadaan piano itu.

Perlakuan terhadap piano pun cukup istimewa. Setiap kali sidik jari dan tapak tangan menempel di dinding piano segera dibersihkan dengan lap khusus dan saat tidak dimainkan harus disarungi dengan kain yg indah berumbai.

Saat udara dingin terutama dimusim hujan, saklar piano harus dicolok ke listrik agar memberikan kehangatan bagi papan piano sehingga kondisinya selalu stabil dan tetap menghasilkan suara yg merdu.

Secara berkala, kami harus menghubungi teknisi untuk menservice dan menyetem dawai piano agar tetap dapat mengeluarkan bunyi sesuai dengan nada semestinya. So classy...

Kadang aku bertanya dalam hati. Membeli piano yg mahal ini apakah karena obsesiku sebagai orang tua yg pengen lihat anaknya pintar bermain piano atau memang keinginan anakku yg walaupun tidak menggebu tapi dengan dukungan ortunya yg optimal akan dapat tergali bakat bermusiknya khususnya bermain piano.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun